Ditulis oleh:

Himawan Pratista

Jemi Ilham

 

“I am big. It’s the pictures that got small”

Norma Desmond, Sunset Boulevard (Wilder, 1950).

 

Belum tiga minggu setelah rilisnya, media sosial memberitakan sukses Vina: Sebelum 7 Hari yang telah melewati 5 juta penonton (Diananto, 2024). Ini terhitung sebuah pencapaian fenomenal dan angka ini pun masih terus merayap naik hingga total mencapai 5.815.492 pada akhir rilis teaternya (Film Indonesia, 2024). Sejak sukses Pengabdi Setan (2017) hingga KKN di Desa Penari (2022), tren horor menjadi magnet terbesar penonton lokal dan kini tiada minggu tanpa rilis film horor lokal (Pratista et al., (2023). Vina, ditambah segala sensasi pemberitaan dengan beragam kontroversi membuat semakin menggila suksesnya. 

Vina digarap oleh Anggy Umbara, sineas spesialis komedi yang beberapa tahun belakangan ini sering menggarap film-film horor, sebut saja, Si Manis Jembatan Ancol, Khanzab, Siksa Neraka, hingga Munkar (IMDB, 2024). Seperti kita semua tahu, kisah Vina diambil dari kejadian nyata pada tahun 2016, ketika sepasang muda-mudi dianiaya dan dibunuh secara mengenaskan yang hingga kini kasusnya bahkan belum tuntas (Asyhad, 2024). Film ini dibintangi oleh Nayla Denny Purnama, Fahad Haydra, Gisellma Firmansy, hingga beberapa pemain senior kawakan, semisal Lidya Kandou dan Pritt Timothy. Sang sineas sendiri mengatakan bahwa genre horor adalah genre yang tepat untuk mengemas kisah film ini karena sisi supernaturalnya dan berusaha menyajikan kisahnya seakurat mungkin (Leba, 2024). 

Ringkas kisahnya terfokus pada dua tokoh muda yang menjadi sentral cerita. Vina (Purnama) dan Linda (Firmansy) suatu malam menonton satu pertunjukan seni di alun-alun Cirebon. Mereka berdua diantar pulang oleh dua rekannya, dan secara terpisah Vina diantar oleh Zaki. Rupanya naas pun menghampiri Vina dan Zaki, mereka dianiaya dan dibunuh secara brutal oleh sekelompok geng motor. 

Anehnya, polisi di tempat kejadian perkara (TKP) menganggap peristiwa tersebut adalah kecelakaan tunggal. Keluarga Vina yang berduka mendalam hanya pasrah menyerahkan penyelesaian perkara kepada pihak kepolisian. Seorang jurnalis muda bernama Dani merasa ada yang janggal dengan peristiwa tersebut dan mulai melakukan investigasi secara mandiri. Sementara Linda membaca surat yang diberikan Vina sebelum meninggal dan dari isinya mengindikasikan adanya perundungan pada sahabatnya oleh rekan-rekan satu sekolahnya. Linda pun akhirnya memberikan semua informasi yang ia tahu pada Dani. Pada satu momen, sang gadis pun kerasukan Arwah Vina dan fakta baru pun terkuak. Nama Egy (Haydra) pun mencuat.   

Film biografi atau dokudrama semacam ini lazimnya selalu ditengok dari aspek dramatisasi adegannya. Realita selalu datar dan membosankan, dan tuntutan penonton membuat para pembuat film terpaksa melakukan perubahan-perubahan yang dianggap bisa membuat kisahnya menjadi lebih intens dan menarik (Pratista, 2024). Vina pun bernasib sama, terlebih unsur horor masuk di dalamnya. Kita pun tidak tahu secara persis, apa yang sebenarnya ditambah dan dikurangi pada pengadeganannya? Apakah benar peristiwa kesurupan roh Vina sungguh-sungguh terjadi dan sang arwah bisa menggambarkan semua peristiwa dan pelakunya dengan rinci? Apakah benar arwah Vina, bak film-film Suzzanna, menganiaya sang pelaku secara brutal seperti yang ditampilkan dalam salah satu adegannya? Jika ditilik akal sehat, semua ini tentu mustahil. 

Bicara soal genre horor, seperti yang telah diakui oleh pembuatnya, Vina tidak memiliki spesifik subgenre horor lokal yang diusung, seperti kuntilanak, sundel bolong, atau legenda urban, ilmu hitam, atau lainnya. Sederhananya, Vina boleh kita katakan sebagai “arwah penasaran” dengan plot mengadopsi film-film horor barat yang memadukan sisi supernatural serta investigasi. Kisahnya yang berdasarkan kejadian nyata, menjadikan premisnya semakin tambah menarik. Perpaduan ini bukanlah satu hal yang baru, tinggal bagaimana penulis naskah dan sineas mengolah alur kisahnya. Opsi arah cerita dan pengemasan estetik yang dipilih, tentu memiliki konsekuensinya masing-masing. 

Menurut Pratista et al., (2023), film horor dibentuk oleh dua elemen pokok, yakni tipe/jenis plot dan aspek estetiknya. Tipe plot yang umum digunakan dalam film horor Indonesia adalah rumah hantu, arwah balas dendam, teror kutukan, indera keenam, aksi tukang jagal, dan anak iblis. Vina adalah film horor supernatural yang mengusung tipe plot arwah balas dendam. 

Jenis plot arwah balas dendam berhubungan dengan arwah penasaran yang membalaskan dendam kepada para pelaku yang yang telah membunuhnya dengan kejam. Plot jenis ini lazimnya memiliki protagonis utama sosok perempuan  yang melakukan aksi menuntut balas dengan cara yang sadis dan brutal.” (Pratista et al., 2023)

Dalam kisah Vina, sang korban dilecehkan dan dianiaya secara fisik serta dibunuh dengan kejam. Tidak hingga akhir, arwah Vina ganti menghukum sang dalang pelakunya juga dengan cara yang tidak kalah brutal pula. Ini tentu mengingatkan kita pada film-film horor klasik yang dibintangi mendiang Suzzanna. 

Seperti telah disinggung, Vina memiliki aspek yang menarik di luar unsur horornya, yakni sisi investigasi. Misteri kematian Vina secara perlahan diungkap melalui aksi investigasi sang jurnalis, ditambah beberapa segmen kilas-balik melalui perspektif tokoh Linda. 

Hal-hal semacam Ini mirip film-film detektif luar negeri bertema investigasi kriminal yang didasari peristiwa nyata, sebut saja Memories of Murder (2003), Zodiac (2007), Boston Strangler (2023), hingga peraih Piala Oscar, Spotlight (2015). Vina bukanlah sekelas film-film tersebut melalui sisi investigasi yang demikian mendetail dan komprehensif, melainkan hanya mengesankan sebagai subplot selingan di antara sisi supernaturalnya. 

Aspek penceritaan tak terbatas yang diusung plotnya justru menghilangkan sisi misteri kisahnya. Kisahnya selalu berpindah melalui sudut pandang banyak karakter, antara lain Dani, Linda, kakek dan nenek Vina, bahkan karakter antagonisnya, Egi. Tentu akan berbeda jika kisahnya hanya terfokus (penceritaan terbatas) pada perspektif sosok Dani dan Linda. Dani mewakili sisi investigasi dan Linda mewakili kilas-baliknya. Kejutan demi kejutan cerita tentu akan lebih dirasakan penonton. Lucunya, dalam satu momen adegan kilas balik justru menggunakan sudut pandang sosok Vina (alm), di mana ini berarti adegan tersebut diragukan keabsahannya. Naskah sepatutnya fokus pada fakta bukan asumsi, apakah demikian? 

Film horor yang diinspirasi dari kisah nyata, seperti halnya Vina, memang bukan hal baru bagi medium film. Film horor ikonik The Exorcist (1973), novelnya diinspirasi sang penulis, William Peter Blatty, dari kejadian nyata seorang bocah laki-laki yang kesurupan di Cottage City, Maryland, AS (Counter, 2023). Film horor populer The Conjuring (2013), kisahnya didasari dari satu kasus supernatural yang dihadapi pasangan Ed dan Lorraine Warren yang terjadi pada sebuah keluarga di areal pinggiran wilayah Rhode Island, AS (Lang, 2013). Dua film horor di atas, sering kali disebut pengamat sebagai film horor terbaik dan tersukses yang pernah ada (Byrell & Russell, 2024).

Masih banyak puluhan bahkan ratusan kasus adaptasi kisah nyata lainnya yang tidak cukup jika disebut pada tulisan ini. Apakah lantas dengan label “sungguh-sungguh terjadi” semua adegan-adegannya harus persis dengan aslinya? Tentu tidak. Seperti sudah kita singgung sebelumnya, dramatisasi adegan sesuai tuntutan naskahnya pasti akan dilakukan atas nama kebaikan penonton. Poin besarnya, cerita fiksi dari kisah nyata yang dibengkokkan sesungguhnya adalah sah-sah saja dalam medium film. Racikan bumbu “fiktif” ini tentu berlaku pula pada kasus Vina

Sebaliknya, beberapa film horor justru menyajikan “realitas” melalui beberapa film-film yang dikemas dengan pendekatan realisme yang kuat. Contohnya adalah The Blair Witch Project (1999), Paranormal Activity (2007), hingga Late Night with the Devil (2023). The Blair Witch Project dikemas murni dengan gaya dokumentasi yang akhirnya kelak mempopulerkan genre found footage. Paranormal Activity menampakkan kisahnya melalui footage dan rekaman dari kamera CCTV. Satu kasus yang mirip pengadeganannya dengan Vina adalah Late Night of the Devil (2023). Film ini mengisahkan satu acara televisi pada tahun 1977 di malam Halloween yang mendatangkan seorang gadis yang kesurupan sungguhan untuk menaikkan rating acara tersebut. Film-film di atas, begitu meyakinkan dalam penyajiannya sehingga memberi kesan sebagai peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Kemasan dan gaya estetiknya adalah kunci utama yang membuat kisah-kisah rekaan ini terlihat meyakinkan. Lalu bagaimana dengan Vina?

Momen terbesar kisah Vina, tertumpu pada adegan Linda kerasukan arwah Vina yang disajikan begitu mencekam dan emosional. Emosional, tetapi sekaligus menggelikan. Bagaimana tidak, beberapa dialognya terasa janggal, contohnya sang arwah yang mengeluh kesakitan, tetapi setelahnya, arwah Vina sendiri yang beraksi membabi buta menghajar habis sang dalang (Egi).  Ini adalah sebuah dramatisasi adegan yang terlalu berlebihan. 

Baca Juga  Along with the Gods Series: Bicara Soal Alam Akhirat dan Manusia

Konon pengadeganan kerasukan “spektakuler” ini didasari atas rekaman suara yang sungguhan terjadi. Entah ini sungguhan atau tidak, bukan itu masalahnya. Jika arwah Vina bisa membalaskan langsung dendamnya seperti tersaji pada penghujung cerita, mengapa ia harus bersusah payah untuk merasuki Linda dan merujuk pada pelakunya? Ini sungguh pilihan konyol, semata untuk memuaskan penonton. 

Sewaktu menonton, ada seorang penonton berujar, “habisi saja semua (para pelakunya)” dalam bahasa Jawa. Bukankah itu yang penonton inginkan? Arwah Vina bisa melakukan aksi balas dendam pada semua pelaku seperti yang “Suzzanna” lakukan dalam film-filmnya. Akan tetapi ini rupanya bukan pilihan sang penulis naskah atau sang sineas yang masih ingin “loyal” dengan kejadian aslinya. Ini tentu bertolak belakang dengan keakuratan cerita yang diniatkan sang sineas. Pengadeganan yang sifatnya delusional ini boleh disebut sebagai racikan bumbu yang kebablasan

Sisi supernatural sesungguhnya justru bisa dipakai untuk menguatkan sisi investigasinya. Dimensi horor (arwah pendendam) dan investigasi yang sifatnya ilmiah dan nyata (dokudrama), bukanlah satu kombinasi yang tepat. Satu dua kali, kita tentu pernah melihat bagaimana aksi arwah dari orang yang dibunuh, membantu penyelidik atau “orang pintar” untuk menemukan lokasi sang pembunuh, lokasi mayatnya, hingga urusan duniawi yang belum terselesaikan. 

Film-film supernatural barat, seperti Ghost (1990), The Sixth Sense (1999), The Black Phone (2021), hingga We Have a Ghost (2023), melakukannya dengan cara begitu berkelas melalui beragam genre. Sineas Vina rasanya luput untuk memilih dengan tegas antara ranah fiksi dan nyata. Seharusnya sosok Vina diperlakukan lebih layak dalam plotnya, tanpa harus mempertontonkan segala aksi kekerasan dan balas dendam yang begitu sadis dan brutal, yang justru merendahkan martabat sang korban. Akan lebih bijak jika Vina: Sebelum 7 Hari dikemas melalui plot investigasi murni yang diselingi sisi horor. Namun, pilihan abu-abu di antara fiksi dan nyata, terbukti memang menjadi formula ampuh untuk menarik penonton. 

Berpindah ke elemen estetis pembentuk horor, yakni atmosfer horor, sosok seram, serta trik horor/jump scare (Pratista et al., 2023), tak banyak yang bisa kita singgung melalui atmosfer horornya karena  gagasan konsep “kisah nyata”-nya. Momen horor ketika “arwah Vina” muncul tidak banyak didukung oleh nuansa seram yang biasa kita lihat pada formula film-film horor lainnya–semisal set rumah tua, kabut, maupun suara lolongan anjing–, selain hanya permainan gelap dan terang (low key lighting) dan musik. 

Bahkan sosok seramnya pun tak banyak berbeda dengan film-film horor lokal lain, yakni sosok perempuan berambut panjang hitam dengan wajah mengerikan. Termasuk adegan kerasukan spektakuler yang hanya menggunakan sedikit make-up luka di wajah yang pucat serta mata putih (tanpa bola mata). Jujur saja, visualisasi adegan kekerasan dan penyiksaan eksplisit terhadap Vina dan Eky jauh lebih mengerikan dari semua adegan horor di film ini.  Lalu bagaimana dengan jump scare-nya?

Jump scare adalah trik horor yang tujuannya mengejutkan penonton secara tiba-tiba, melalui kombinasi pergerakan kamera, editing cepat, serta permainan on-screen dan off-screen frame yang tidak terduga. Lazimnya jump scare diiringi kilasan musik/efek suara dengan volume tinggi untuk memberi tambahan efek kejutan (Pratista, 2023). Dalam Vina, jump scare biasa dengan pergerakan kamera sederhana pun, sudah mampu membuat seisi bioskop menjerit tidak karuan. Satu contoh adalah melalui suara bisikan/lirih di luar frame dan secara mendadak kamera bergeser ke sumber suara, diiringi suara musik menggelegar yang mengagetkan. Hal semacam itu sejatinya sebuah jump scare biasa dan penonton pun “sepertinya” terbawa suasana. 

Sang sineas telah berpengalaman membuat beberapa film horor sebelumnya, tetapi sayangnya tidak mampu membuat sesuatu yang segar seperti yang ia lakukan dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (bersama Rocky Soraya). Satu jump scare yang terasa fresh justru adalah suara gemeretak gigi, “arwah Vina” yang memakan es batu. Trik horor ini jauh lebih mengintimidasi ketimbang jump scare utamanya. Di awal cerita, Vina memang dikisahkan suka “mengunyah” es batu sehingga penonton tahu persis jika suara tersebut tentu adalah ulah sang gadis. 

Di luar segala kontroversinya, Vina: Sebelum 7 Hari berhasil memaksimalkan kekuatan sensasi sekalipun memiliki pencapaian cerita yang lemah dan teknik sederhana yang biasa kita jumpai dalam film-film horor lokal kebanyakan. Sensasi senada dan sisi cerita yang lemah juga terjadi pada kasus KKN di Desa Penari (2022) yang konon diadaptasi dari kisah nyata dan secara mengejutkan menjadi pemuncak film terlaris di Indonesia (Film Indonesia, 2022). Capaian cerita dan teknis kedua film tersebut, jauh berada di bawah film-film horor lokal berkelas kita, sebut saja Pengabdi Setan (2017), Sebelum Iblis Menjemput (2018),  Ratu Ilmu Hitam (2019), hingga Perempuan Tanah Jahanam (2019) yang mendapat apresiasi tinggi di mancanegara (Pratista et al., 2023).

Seperti sudah disinggung di atas, horor dan dokudrama bukan satu perkara mudah untuk disilangkan. Beda jika kisahnya adalah murni fiksi (rekaan). Perpaduan racikan horor dan dokudrama menghasilkan sebuah film “horor” yang tanggung, tetapi rupanya tidak untuk pemberitaan media massa. Sebuah tagline pun muncul di media, “Kisah Vina belum selesai”. Pemberitaan media menjadi asyik untuk dikuntit seolah ini menjadi episode lanjutan dari filmnya. Desakan para netizen semakin menguat dan memanas. Bahkan para petinggi negeri ini pun ikut berkomentar agar penegak hukum segera menyelesaikan kasusnya tanpa pandang bulu. Kasus ini telah dibuka kembali oleh pihak kepolisian dan masih ramai dibincangkan hingga detik ini dengan segala polemik dan rekayasanya (Liputan6, 2024). Boleh kita katakan, ini adalah satu-satunya sisi positif dari filmnya. 

Entah apa pun hasilnya, semoga polemik “Vina” bisa segera berakhir dan berharap ini adalah film yang pertama dan terakhir. Potensi dampak buruk dari adegan-adegan brutal yang memperlihatkan aksi kekerasan secara eksplisit juga ramai dibincangkan para pengamat (Leba, 2024). Hal ini adalah perkara lain yang berbeda dan bisa berbuntut panjang. Semoga para pembuat film tidak lantas latah mengikuti tren ini dengan membuat “Vina-Vina” lainnya diangkat ke layar lebar. Namun, rasa-rasanya mustahil, jika menilik tren industri sebelumnya. 

Film-film bertema senada pun bakal menghiasi bioskop kita dalam waktu dekat. Hal ini adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah produk yang sukses dan ini bakal menjadi satu hal yang memilukan. Alangkah tidak eloknya jika industri film kita dikenang dengan menjual sebuah tragedi. Kita lihat saja dan biarkan waktu yang menjawab. 

Menilik kutipan ikonik dari film klasik Sunset Boulevard, dalam pembuka artikel, “I am big. It’s the pictures that got small”, yang terlontar dari mulut sang bintang film yang kariernya meredup, Norma Desmond. Kutipan ini rasanya pas untuk menggambarkan industri film kita saat ini, yang kini melakukan apa pun demi mengatrol keuntungan. Sebuah tragedi, bencana, aib, atau apa pun yang viral kini menjadi sesuatu yang lebih berharga dari nilai-nilai sisi manusiawi. Hal ini justru mengecilkan dan merendahkan peran seni film sebagai medium yang sangat ampuh untuk mencerdaskan bangsa dalam memberikan nilai-nilai luhur dan tradisi yang sesungguhnya menjadi tujuan utama.  

 

DAFTAR PUSTAKA

 Asyhad, M. H. 2024. Kronologi Lengkap Kasus Vina Cirebon. Intisari. Retrieved from https://intisari.grid.id/read/034094474/untuk-merefresh-ingatan-beginilah-kronologi-lengkap-kasus-vina-cirebon?page=all

Birrell, M., & Russell, T. 2024. 25 Best Horror Movies Like The Conjuring. Screenrant. Retrieved from https://screenrant.com/horror-movies-like-conjuring-universe/#:~:text=Not%20only%20is%20The%20Exorcist,the%20time%20to%20view%20it

Counter, R. 2023. The Haunting Real Story That Inspired The Exorcist. Vanityfair. Retrieved from https://www.vanityfair.com/hollywood/2023/07/the-exorcist-legacy-book

Diananto, W. 2024. Vina: Sebelum 7 Hari Raih 5 Juta Penonton, Auto Masuk Daftar Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa. Liputan6. Retrieved from https://www.liputan6.com/showbiz/read/5602171/vina-sebelum-7-hari-raih-5-juta-penonton-auto-masuk-daftar-film-indonesia-terlaris-sepanjang-masa?page=3

Film Indonesia. 2022. #Penonton 2022. Film Indonesia. Retrieved from https://filmindonesia.or.id/film/penonton?tahun=2022

Film Indonesia. 2024. #Penonton 2024. Film Indonesia. Retrieved from https://filmindonesia.or.id/film/penonton?tahun=2024

IMDb. 2024. Anggy Umbara: Director, Writer, & Actor. IMDb. Retrieved from https://www.imdb.com/name/nm5322992/

 Lang, K. 2013. The Conjuring: History vs. Hollywood. History vs Hollywood. Retrieved from https://www.historyvshollywood.com/reelfaces/conjuring.php

 Leba, E. E. 2024. Film ”Vina: Sebelum 7 Hari”, Dampak Multidimensi Presentasi Korban Kekerasan. Kompas. Retrieved from https://www.kompas.id/baca/hiburan/2024/05/16/film-vina-sebelum-7-hari-dampak-multidimensi-presentasi-korban-kekerasan

Liputan6. 2024. Kasus Vina Cirebon. Retrieved from https://www.liputan6.com/tag/kasus-vina-cirebon

Pratista, H., Nugroho, A. D., Arifin, M., & Puspasari, D. 2023. Film Horor Indonesia: Bangkit dari Kubur. Yogyakarta: Montase Press. Hal. 150-153.

Pratista, H. 2023. Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary. Yogyakarta: Montase Press.

Pratista, H. 2024. Memahami Film: Pengantar Naratif. Yogyakarta: Montase Press.

Wilder, B. 1950. Sunset Boulevard| Gloria Swanson: Norma Desmond. IMDB. Retrieved from      https://www.imdb.com/title/tt0043014/characters/nm0841797

Artikel SebelumnyaBorderlands
Artikel BerikutnyaAlien: Romulus
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.