Komponen Cadangan (Komcad) adalah salah satu nama yang akhir-akhir ini santer terdengar dari lembaga penjaga keamanan negara dengan para tentaranya. Begitu pula dengan divisi siber mereka. Adagium pun mengemas keduanya dengan berbagai tambahan lain melalui arahan Rizal Mantovani. Ia juga yang mengerjakan skenarionya bersama Titien Wattimena, berdasarkan ide dari NR Liana dengan Irving Artemas sebagai konseptor dan salah seorang produsernya. Drama aksi kriminal produksi Brainstorminc Entertainment ini diperani oleh Angga Asyafriena, Jihane Almira, Pangeran Lantang, Hans de Kraker, Rifnu Wikana, Mike Lucock, dan Rizky Hanggono. Melalui semangat mengampanyekan cinta tanah air dan bela negara, apakah hasilnya sepadan?
Arga (Angga), Alenda (Jihane), dan Bian (Lantang) ialah tiga sahabat dengan keahlian masing-masing yang seiring berjalannya waktu malah terlibat cinta segitiga. Konflik Alenda dan Bian dengan Arga lantas menjauhkan hubungan mereka, bersamaan dengan kedatangan masalah yang lebih serius dan mengancam keselamatan negara, karena ulah Maldred (Hans). Bos besar organisasi berbahaya yang bertekad membalas dendam atas kematian putranya. Di sinilah Arga dan Alenda unjuk gigi dengan keahlian masing-masing. Arga sebagai salah satu personel Komcad, dan Alenda dengan kemampuannya dalam melakukan peretasan.
Rasanya percuma saja memiliki ekspektasi tinggi terhadap Adagium, karena rupanya ada terlalu banyak kelemahan di dalamnya. Paling fatal adalah dari naskahnya. Benar. Satu perkara yang acapkali menjadi kekurangan film-film lokal kita, karena disebabkan oleh beragam faktor. Bukan hanya tentang pembuatan dialog, penyebab masalahnya bahkan datang dari orang-orang di belakang layarnya. Produser merangkap penulis. Sineas kurang referensi, tetapi berkali-kali menempati posisi-posisi krusial antara produser, penulis, atau sutradara. Film-film pesanan yang hanya mementingkan promosi dari instansi tertentu pun termasuk salah satunya. Meski tidak semuanya berakhir mengecewakan sebagaimana Adagium. Serigala Langit adalah satu contoh yang cukup menarik dan seru, walau terdapat unsur promosi Angkatan Udara.
Tampaknya pula, keikutsertaan Rizal dan Titien dalam penggarapan skenario Adagium tidak memberi banyak pengaruh. Kendati pengalaman mereka jelas-jelas melebihi si empunya ide dan Irving yang mengatur konsep filmnya. Seluruh pertanyaan mengenai kegagalan Adagium pun terjawab. Bisa mengatur konsep cerita, berarti memiliki suara terbanyak dalam mengerjakan skenario. Karir Rizal yang tak banyak melahirkan karya-karya bagus pun tidak mampu menyelamatkan Adagium, dan hanya berujung mengarahkan film seperlunya. Padahal film bertema kriminalitas maupun ancaman terhadap negara bisa menjadi salah satu ide yang seru, bila dikerjakan dengan benar.
Sayangnya, plot Adagium malah terkatung-katung tidak jelas. Apa yang sebetulnya ingin diceritakannya? Kisah bela negara yang tak harus dengan angkat senjata? Kehebatan seorang peretas yang kemudian dipekerjakan oleh tentara nasional? Ancaman siber terhadap keselamatan kepala negara yang berhasil digagalkan? Promosi pentingnya Komcad? Masalah pinjaman ilegal atau perundungan? Upaya mempertahankan budaya lokal? Atau malah kisah cinta segitiga antara tiga orang sahabat yang sudah teramat sangat klise dalam setiap film roman remaja kita? Adagium merangkul terlalu banyak komponen untuk diceritakan hanya dalam satu layar, sehingga keseruan utamanya malah kabur. Bahkan sekitar 30-45 menit pertamanya saja tidak menarik.
Persoalan lainnya adalah ihwal efek visual untuk menampilkan berbagai bahasa komputer dan beragam grafik yang mengikutinya. Meski tampak rumit dan secara awam mengagumkan, tetapi siapa yang tahu kematangan riset di balik semua itu. Terutama cara para ahli komputernya dalam memainkan peran mereka di depan layar masing-masing. Bahkan cara mereka dalam mengoperasikan keyboard komputer pun menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak terbiasa mengetik cepat dengan itu. Benar. Sekadar terlihat dan terdengar seolah-olah mereka sedang mengetikkan banyak kode dengan bahasa komputer. Kita boleh percaya bila itu datang dari Mencuri Raden Saleh melalui peran Ucup (Angga Yunanda). Namun belum tentu dalam Adagium.
Sukar juga untuk menikmati cerita maupun berempati pada tokoh-tokoh sentralnya, karena Adagium terlalu berlebihan menampilkan kehebatan tentara nasional negara di dalamnya. Rasanya malah seperti mencekoki penonton agar lebih nasionalis lagi dan berperan untuk membela negara lewat bidang keahlian masing-masing. Faktor-faktor yang kemudian menghasilkan banyak pesan verbal yang disampaikan secara hiperbolis lewat setiap dialog. Begitupun dalam menampilkan sejumlah visual untuk setiap adegan dengan motif mengesankan penonton. Supaya penonton bisa mendapat impresi terkagum-kagum, adegan-adegan itu muncul dengan musik atau efek suara menggelegar. Ada pula yang ditambah cahaya cerah atau sorotan sinar menyilaukan. Benar-benar serangkaian panjang eksekusi yang konyol –kalau saja bisa memakai istilah yang lebih buruk lagi.
Adagium berupaya mengampanyekan semangat bela negara dan cinta tanah air, tetapi terlalu ambisius dan muluk-muluk bahkan sejak dari konsepnya. Tanpa pengembangan yang baik, semenarik apapun ide dan temanya tidak akan mampu menghasilkan karya yang baik pula. Minimal, jauh-jauh dari ketimpangan peran antara tiga pihak paling krusialnya, yaitu produser, penulis, dan sutradara. Belum lagi persoalan akting dari tiga serangkai tokoh sentral Adagium yang masihlah baru, maupun pembuatan dimensi karakter untuk mereka. Inilah akibatnya bila film-film potensial mendapat campur tangan berlebihan dari orang-orang awam. Jangankan memberi apresiasi tinggi, menikmatinya sekadar untuk hiburan saja enggan.
Menurut saya justru penting memperlihatkan kehebatan tentara kita karena film adalah sebuah bentuk Propaganda, seperti hal nya Amerika dengan film2 hollywood nya yang sering terlalu lebay menunjukkan kekuatan army forced nya. Indonesia belum ada film seperti ini yang related dengan kehidupan sekarang dgn show their army force tapi tetap bisa dinikmati dalam sebuah FILM. Anak2 muda merasa related dan penting di jaman now yang anak muda nya mulai pudar rasa nasionalisme nya seperti di Ingatkan kembali, bahwa ini lho Tentara kita tuh Hebat! dan itu saya yakin ga gampang untuk membuat cerita dan pesan Nasionalisme bagaimana supaya bisa tersampaikan dan diterima anak muda dalam sebuah film 2 jam lamanya yg bisa membuat mereka bisa stay sampe film selesai.
Anda mengkritis teknis seperti riset dulu utk computer/grafis dan lainnya itu terdengar sangat cupu, namanya juga FIKSI dan ini FILM hahaha đŸ˜€ dan ini saya lihat lebih ke film komersil bukan film festival.
Saya lihat secara detail memang belum sempurna ya, tapi overall itu sudah sangat baik dan secara kualitas diatas film2 Indonesia pada umumnya.
Sisi drama memang agak slow ya diawal tapi itu seperti mengisahkan/bridging ke konflik2 berikutnya. kita seperti dibuat penasaran dan menunggu2 what’s next.
Overall menurut saya warga sipil pecinta film, ADAGIUM rating 9/10
Tidak membosankan dan pantas lebih diapresiasi sebagai warga Indonesia yang bangga dengan army force nya / TNI