Sudah menjadi langganan film komedi romantis seperti Mariposa (2020) dan Dilan 1983: Wo Ai Ni (2024), Fajar Bustomi kembali dengan film terbarunya, Aku Jati, Aku Asperger, yang merupakan remake film Swedia berjudul I Rymden Finns Inga Känslor. Dibintangi oleh Jefri Nichol, Pradikta Wicaksono, Hanggini dan Carissa Perusset, film ini memiliki pengemasan estetik yang bold dan penuh warna.

Dengan genre feel-good Romance-nya, film Aku Jati, Aku Asperger menceritakan tentang Jati (Nichol), seorang individu asperger (suatu disabilitas perkembangan yang mempengaruhi cara seseorang berperilaku, memahami dunia, dan berinteraksi dengan orang lain) yang hidup dengan peraturan dan jadwal yang ketat. Jati tidak menyukai perubahan, dan sistem jadwal yang ia gunakan agar bisa tetap menjadi seorang individu yang fungsional mengekang dirinya dan orang-orang disekitarnya. Tiara (Perusset), pacar dari kakak Jati, Daru (Wicaksono), merasa terlalu terkekang dengan jadwal ketat Jati dan memutuskan untuk putus dengan Daru. Hal ini pun mengacaukan zona nyaman yang telah Jati bangun menggunakan jadwal mendetail setiap harinya. Karena itulah, Jati pun mencoba mencari pacar baru untuk kakaknya.

Film ini menghadirkan latar dan warna unik yang menarik dipandang, dengan desain artistik yang stylish. Warna primer yang bold dan framing kamera yang cantik didukung color grading yang memperkuat kontrasnya, menjadikan setiap adegan memiliki komposisi menarik. Gaya ini juga tampak di film adaptasi aslinya, yang menonjolkan warna primer dan framing estetik, serta menjadi ciri khas Bustomi, seperti terlihat dalam Mariposa (2020) yang lebih banyak menggunakan warna pastel. Gaya pengemasan ini memberikan kesan innocent dan playful yang cocok dengan rating semua umur-nya.

Terlebih lagi dengan cerita yang ringan dan refreshing, penyajian yang tidak rumit dan straightforward menunjukkan bahwa pesan dan representasi isu mendalam pun bisa disajikan dengan menyenangkan dan lucu. Film ini sudah berhasil menyajikan cerita menggemaskan dengan pengemasan yang senada dengan karakter utamanya yang melihat dunia dari lensa yang sederhana dan penuh warna.

Baca Juga  A Man Called Otto

Dari akting karakter-karakternya, penggambaran individual asperger telah cukup direpresentasikan dengan baik di film ini. Nichol tidak melebih-lebihkan portrayal kondisi sindrom asperger yang dimiliki Jati, dan tidak terlihat banyak kecanggungan dalam performanya. Apalagi semua ketertarikan dan obsesinya terhadap kereta yang ditunjukkan dengan polos dan wholesome. Semakin lama menonton film ini, semakin penonton akan lupa, atau setidaknya memahami bahwa Jati adalah seorang yang ‘berbeda’, dan itu bukanlah hal yang buruk. Belum lagi didukung penggambaran karakter-karakter lainnya yang cukup sederhana dan subtle.

Karena ini adalah film remake dan bukan cerita original, cerita ini memang sudah teruji sebagai representasi menyenangkan dari sebuah sindrom disabilitas developmental yang sering dijadikan stigma negatif di masyarakat. Hanya saja, kurangnya resiko yang diambil oleh filmmaker membuat filmnya terasa terlalu main aman. Dilema dan konflik sederhana di film ini disajikan dengan manis dan lucu, namun juga high-quality berkat skill dari segenap jajaran produksinya. Film ini adalah film feel-good yang nyaman dan menghibur untuk melepas stress dan untuk memperluas perspektif terhadap sindrom-sindrom disabilitas yang ada di luar sana.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaPerewangan
Artikel BerikutnyaTime Cut

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.