Penantian panjang akhirnya tuntas sudah, sekuel Avatar (2009), Avatar: The Way of Water rilis minggu ini secara global. Ekspektasi besar tentu ada pada semua orang, terlebih produksinya yang memakan waktu begitu lama dengan segala rumor yang menyertainya. James Cameron masih menulis naskah, mengarahkan, serta memproduseri filmnya. Sebagian kasting regulernya masih sama, yakni Sam Worthington, Zoe Saldaña, Stephen Lang, Sigourney Weaver, dengan menampilkan pula Kate Winslet dan Cliff Curtis. Tercatat bujet produksinya adalah salah satu yang termahal sepanjang sejarah medium film, yakni USD 300-400 juta. Sebelum rilis pun, Avatar 2 telah menjadi nominasi film terbaik di ajang Golden Globe 2023 untuk kategori drama, termasuk sang sineas.
“I see you”
Setelah peristiwa perang besar belasan tahun lalu, Jack Sully (Worthington) kini hidup bahagia bersama Neytiri (Zaldana) dan putra-putrinya di Pandora. Bahkan mereka mengadopsi putri Dr. Grace yang bernama Kiri (Weaver). Tidak hingga, suku langit (manusia bumi) akhirnya kembali dengan lebih siap untuk menghadapi suku Na’vi. Bahkan kini, musuh bebuyutan Sully, Kolonel Miles (Lang) bersama pasukannya, hidup kembali dalam wujud Avatar. Misi utama Miles hanya satu, yakni memburu Sully dan membunuhnya. Suku langit kini tidak lagi mengincar mineral berharga dan menambangnya, namun mengambil-alih penuh Pandora untuk menjadi habitat manusia karena Bumi tengah sekarat. Untuk menghindari para pemburunya, Sully lebih memilih untuk membawa pergi keluarganya dan bersembunyi di kediaman suku air nun jauh di sana.
Jika ekspektasi terbesarmu adalah sisi visual, maka segalanya terbayar sudah 100%, walau saya hanya menonton versi 2D-nya. Seperti seri pertamanya, sekuelnya kini menampilkan gambar yang sangat memukau dengan pencapaian lebih dari sebelumnya. Satu poin besar yang menjadi pembeda adalah kini lokasi berpindah dari hutan lebat Pandora ke panorama bawah laut dengan segala keindahan yang memanjakan mata. Satu lagi adalah adegan malam yang disajikan beberapa kali dengan tata cahaya yang begitu natural. Visualnya kini lebih memiliki kedalaman dan kaya warna dalam semua adegannya. Segalanya memenuhi ekspektasi tergila kita dan ini memang tak sulit diprediksi dengan bujet dan lamanya proses produksi.
Lantas kisahnya? Segala ekspektasi alur kisahnya ternyata tidak jauh seperti yang saya pikirkan. Bahkan film ini, tergolong mudah diantisipasi kisahnya, berbeda dengan seri pertamanya. Kecewa? Tentu saja. Kisahnya memiliki lingkup lebih sempit dan bahkan terasa sedikit repetitif, hanya kini Sully (dan keluarganya) harus beradaptasi dengan gaya hidup suku air. Segala kisah mitologi lokal tentang sang terpilih (Turuk Makto) kini seolah hilang dan seakan bakal tergantikan oleh putra putri mereka, Lo’ak dan Kiri. Ini pun segera teralihkan dengan plot aksi penyelamatan yang hebat (visual). Dengan durasi 192 menit, rupanya tak cukup waktu lagi untuk mengeksplorasi kisah dengan filosofi “keseimbangan alam”, mistik, arwah leluhur, dan lain-lainnya.
Dalam banyak hal, naskahnya juga terasa amat janggal. Jika sejak awal, misi manusia Bumi untuk menginvasi Pandora sudah tampak dilakukan demikian masif dan penuh persiapan. Mengapa itu tidak dilakukan lebih dini? Mereka pasti tidak bodoh untuk mengulangi kesalahan yang sama, bukan? Setelah sekian lama (satu tahun), apa pentingnya (Miles) mengincar Sully, jika mereka sudah mampu membangun fasilitas dan memiliki senjata perang demikian komplit, dan bahkan masih sempat-sempatnya melakukan penelitian tentang “minyak paus” (tulkun) untuk obat awet muda yang bernilai USD 8 juta per “botol”. Suku lokal akan tetap tidak beranjak kemana pun jika mereka tidak diusik. Lantas apa maunya manusia? Segalanya menjadi terlihat personal dan hanya perkara balas dendam dan uang.
Untuk ekspektasi visual, Avatar: The Way of Water tidak diragukan lagi, namun sayangnya, kali ini tidak untuk kisahnya. Dengan segala usahanya, Cameron membayar semua dengan pencapaian visualnya yang tak tertandingi. Bisa jadi versi 3D dan IMAX bakal jauh lebih mengagumkan lagi. Energinya yang terfokus dan terkuras ke sisi teknis barangkali membuatnya luput mematangkan naskahnya. Plotnya terlalu mudah diprediksi dari segala sisi bahkan hingga “twist”-nya. Tak ada lagi kejutan berarti. Tak ada lagi misteri. Tak ada humor. Segalanya hanya aksi tanpa ada kedalaman. Segalanya hanya semata visual. Serasa menonton serial OTT mahal yang kisahnya bakal terus bergulir. Sekuelnya bakal sulit untuk menuai sukses komersial selangit film pertamanya.