Entah, apakah generasi kini mengenal sosok atlit legendaris Michael Jordan? Sepatu Nike – Air Jordan, bisa jadi kini terasa lebih familiar. Air tidak bicara soal sosok sang atlit, namun justru merk sepatunya. Air adalah film drama olahraga besutan Ben Affleck, yang terakhir kali menjadi sutradara adalah film drama kriminal medioker Live By Night (2016). Film ini juga dibintangi sobatnya, Matt Damon dan sederetan bintang-bintang besar, yakni Jason Bateman, Chris Tucker, Viola Davis, Chriss Messina, Malon Wayans, dan Matthew Maher. Drama tentang persaingan koorperasi sudah jamak, namun kini menyoal satu tipe sepatu paling populer dalam sejarah manusia, beserta bintang-bintangnya, apa yang mampu ditawarkan film ini?

But a shoe it’s just a shoe

Era 1980-an, perusahaan sepatu Nike di ambang kebangkrutan karena memiliki porsi kue yang kecil ketimbang merk-merk raksasa, Adidas, Puma, serta Converse. Nike yang selama ini dikenal sebagai sepatu jogging, kini mencoba untuk meluaskan pasarnya ke olahraga basket melalui ikon pebasket NBA. Sonny Vaccaro (Damon), konsultan pemandu bakat perusahaan melakukan terobosan dengan mencoba merekrut pebasket muda berbakat, Michael Jordan. Semua orang di perusahaan menolaknya, termasuk CEO, Phil Knight (Affleck) serta kelapa marketing Rob Strasser (Bateman) karena nilai sang atlit terlalu tinggi. Namun, Sonny tetap gigih dengan keyakinannya hingga bahkan ia pergi menemui secara personal dengan ibu dari sang pebasket (Davis). Nike akhirnya mendapatkan kesempatan, namun mereka berada jauh di bawah bayang-bayang dua perusahaan raksasa, Adidas dan Converse.

Vibe 1980-an sudah bisa kita rasakan melalui opening montage-nya yang dinamis dan menghentak dengan latar musik eranya. Serangkaian gambar ikon budaya dari film, seri televisi, musik, olahraga, tokoh populer, politik, video game, fesyen, hingga break dance, mampu membangun mood eranya dengan begitu hebat. Masuk ke dalam kisahnya, vibe yang sama masih bisa kita rasakan, melalui properti dan set-nya. Lagu dan musik populer era 1980-an nyaris setiap saat muncul. Dijamin penonton yang pernah merasakan masa ini bakal merasakan sensasi nostalgia yang luar biasa.

Baca Juga  The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II

Dengan dukungan penampilan aktor dan aktris senior di atas, apalagi yang bisa kita harapkan? Terlebih naskahnya yang solid dan intens turut mendukung kisahnya tanpa membuat kita merasakan bosan sedetik pun. Ini memang memiliki kemiripan dengan persaingan perebutan hak cipta dalam Tetris yang rilis belum lama ini. Kita semua sudah tahu hasil akhirnya, popularitas sepatunya sudah menjawab segalanya. Namun, di balik semuanya, rupanya ada proses dan upaya mati-matian dari para penggagasnya. Dramatisasi jelas ada, namun ruh dan semangatnya adalah sesuatu yang bisa kita lihat dari penampilan brilian para kastingnya. Damon, Affleck dan Davis, bermain dalam level mereka, namun yang mencuri perhatian adalah penampilan Tucker, Messina, and Maher.

Air adalah kisah drama olahraga unik yang dikemas memesona melalui para pemain dengan segala vibe era 1980-an. Ya benar, semua ini adalah ujung-ujungnya duit dan persaingan koorperasi kelas kakap. Namun, pidato menggugah Sonny pada momen presentasi sungguh mengubah segalanya. Di balik profit keuntungan bilyunan dolar bagi perusahaan dan sang atlit, rupanya ada jutaan Michael Jordan kecil yang memiliki mimpi dan harapan yang sama untuk bisa menjadi seperti idola mereka. Untuk apa sebagian kekayaan dan harta melimpah sang mega bintang ini dipaparkan di belakang (credit). Sang atlit dan keluarganya telah memberikan teladan yang baik. Air adalah drama berkualitas yang rasanya bakal mampu bersaing dalam ajang festival film bergengsi tahun depan, setidaknya Golden Globe.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
85 %
Artikel SebelumnyaThe Night Agent
Artikel BerikutnyaHunger
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.