Setelah film drama thriller kuliner, The Menu, satu film Asia mencoba mengeksplorasi tema yang sama melalui Hunger. Hunger adalah film drama kuliner produksi Thailand arahan Sitisiri Mongkolsiri yang dirilis platform Netflix minggu lalu. Film ini dibintangi oleh Nopachai Chaiyanam, Chutimon Chuengcharoensukying, serta Gunn Svasti Na Ayudhya. Dengan gaya estetik yang khas dan matang, Hunger mencoba sebuah tone pendekatan unik untuk genrenya yang belum pernah dilakukan film mana pun, yakni horor. Film bertema kuliner dikemas bak horor, bagaimana bisa?

Aoy (Chutimon) adalah seorang koki perempuan di rumah makan keluarganya yang ramai pembeli. Melihat talenta dan hasil masakan Aoy, ia pun diajak seorang laki-laki bernama Tone (Gunn) untuk melakukan audisi di restoran nomor satu “Hunger” yang dikepalai seorang koki legendaris Chef Paul (Chaiyanam). Melawan kandidat lainnya bukan hal sulit bagi Aoy, namun Chef Paul yang eksentrik dan dingin memberi tekanan luar biasa pada sang gadis. Aoy tidak menyerah begitu saja dan di bawah bimbingan keras sang koki master, ia pun mendapat tempat di restoran tersebut. Berjalannya waktu, Aoy pun menyadari bahwa sang koki rupanya memiliki prinsip yang berbeda dengannya.

First thing first. Kisahnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pendekatan estetiknya yang kelewat unik. Horor. Horor yang saya maksud di sini adalah bukan sosok seram atau jump scare, namun mood dan suasana filmnya. Musik yang mencekam, plus tata cahaya low key (kontras gelap terang), makin menegaskan tone horornya. Semua aspek estetik ini berpusat pada satu sosok antagonis yang karismatik, yakni sang chef legendaris yang diperankan luar biasa oleh Nopachai Chaiyanam. Chef Paul bak vampir yang ingin memangsa semua lawan bicaranya hidup-hidup. Kengerian selalu menghampiri sosoknya. Sosoknya mirip dengan Chef Slowik (Ralph Fiennes) dalam The Menu. Dalam satu momen adegan yang memorable dikemas dengan gaya amat berkelas. Ketika sang koki membuat para tamunya dengan lahap dan rakusnya menikmati masakannya, bak vampir yang menikmati mangsanya. Wow, tak pernah adegan menyantap makanan disajikan begitu istimewa sekaligus mengerikan.

Gaya estetik bak horor ini bukannya tanpa motif. Klien sang chef adalah orang-orang kaya raya dan pejabat lalim yang juga menjadi trauma masa ciliknya. Sejak kecil, ia begitu dendam dengan mereka sehingga memotivasi dirinya menjadi koki nomor satu sehingga mereka harus mengemis padanya untuk dibuatkan makanan. Bagi sang chef mereka ibarat para monster yang memangsa rakyat kecil. Siapa sangka, kisahnya mampu menyelipkan pesan sosial begitu subtil. Visualisasi yang dijelaskan di atas menjadi terasa begitu brilian bukan?

Baca Juga  Elemental

Rivalitas dengan sang murid, Aoy, juga sebenarnya juga mampu memberikan kedalaman lebih pada kisahnya. Sayangnya, konflik demi konflik menjelang akhir menjadi rumit dengan ketidakkonsistenan sikap moral dari tokoh-tokohnya. Chef Slowik dalam The Menu memiliki motif terselubung yang dijelaskan secara rinci dalam ending-nya. Ia ingin keadilan dan itu yang ia dapat, walau dengan cara tragis. Lantas tujuan Chef Paul sesungguhnya apa, jika ia sendiri menggunakan cara di luar aturan hukum? Apakah ia terjebak dalam ambisinya sendiri untuk balas dendam? Lantas untuk apa embel-embel kemiskinan dan ketimpangan sosial di bawa-bawa? Ada sesuatu yang miss di sini. Sang chef rupanya tidak secerdas yang saya bayangkan.

Sosok Aoy sendiri juga terlalu mudah diantisipi arah ending-nya. Aoy yang terlihat labil juga terjebak dalam ambisinya untuk mengalahkan sang mentor, dan ketika ia sudah berada di puncak, ia pun sadar bahwa ketenaran bukan segalanya. Ini tipikal. Dialog-dialognya pun tidak mampu memberikan jawaban memuaskan. Kadang motifnya jelas dan kadang sama sekali tak perlu. Biarkan penonton berpikir tanpa disuapi informasi. Bisa jadi ada sesuatu yang saya lewatkan sehingga semua terasa janggal. Ini membuat semua pencapaian estetiknya yang brilian menjadi terasa kurang menggigit.

Hunger adalah film drama kuliner istimewa dengan segala tone horornya, yang sayang eksekusinya terjebak dalam kerumitan pesan dan kedalaman kisahnya. Hunger punya potensi menjadi sebuah masterpiece yang tak terduga. Eksplorasi dan pencapaian estetiknya sungguh istimewa. Saya jadi teringat, dialog Po dengan ayahnya dalam Kung-Fu Panda, “tidak ada resep khusus, semua hanya ada dalam pikiranmu”. Dengan segala pencapaiannya, Hunger sebenarnya memiliki pernyataan yang sederhana yang sama sekali tidak ada hubungan dengan komentar sosial apa pun. Semahal-mahalnya dan seenak-enaknya makanan di luar sana, tidak ada yang mampu mengalahkan makanan di rumah. Bukan karena makanannya, namun bersama siapa kita makan dan di tempat biasanya kita bersama. Siapa sekarang yang lapar?

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
85 %
Artikel SebelumnyaAir
Artikel BerikutnyaSewu Dino
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.