Belum kelar seri Teluh Darah, satu lagi film horor arahan Kimo Stamboel dirilis bertitel Sewu Dino. Seperti halnya KKN di Desa Penari, film ini didasarkan kisah cerita viral di akun twitter milik SimpleMan. Film ini dimainkan oleh bintang utama seri Teluh Darah, yakni Mikha Tambayong, bersama Karina Suwandi, Givina Lukita Dewi, Rio Dewanto, Pritt Timothy, serta Agla Artalidia. Bermodal sang sineas saja, sudah cukup untuk memberi penanda bagus karyanya. Penonton bioskop yang full house ketika saya menonton juga menjawabnya dengan tegas. Jutaan penonton sudah menanti di depan mata.

Sri Rahayu (Tambayong) adalah seorang gadis muda desa yang butuh pekerjaan lebih untuk membiayai pengobatan ayahnya. Satu lowongan pekerjaan dengan gaji sangat besar ia coba dan sebuah kejadian tak diduga membuat ia pun diterima. Sejak awal memang sudah terasa adanya keanehan tentang majikan perempuan barunya ini, Mbah Karsa Atmodjo (Suwandi), dan tak lama terjawab sudah mengapa gaji pekerjaan ini begitu tinggi. Sri bersama dua rekannya Dini (Artalidia) dan Erna (Lukita Dewi) dibawa ke sebuah lokasi terpencil di tengah hutan, dan di sana terdapat sebuah rumah/gubuk kecil di mana mereka harus memandikan sebuah tubuh seorang gadis bernama Della yang kerasukan setan. Sampai kapan? Hanya 4 hari saja, menjelang sewu dino (1000 hari).

Premis yang demikian menjanjikan ini memang mengeksplorasi satu kisah yang terbilang segar, hanya saja kutukan film-film horor kita belum sepenuhnya lepas. Sebelum lebih jauh membahas plot, satu alasan mengapa saya menonton film ini adalah Kimo Stamboel. Sejauh ini, sang sineas telah memproduksi film-film horor berkualitas, hingga produksi seri terakhirnya, Teluh Darah. Kini, Kimo kembali bermain-main dengan ilmu hitam dan sosok entitas gaib yang brutal. Rating filmnya (13+) membuat saya ragu karena kita tahu karena Kimo tidak pernah tanggung dalam mengemas aksi brutalnya. Faktor lebaran mungkin? Bukannya tidak ada aksi brutal, hanya kini tergolong terlalu soft dibandingkan film-film sang sineas sebelumnya. Walau ini cukup untuk memenuhi tuntutan ceritanya.

Ruang terbatas yang menjadi ciri khas sang sineas, kini malah dipersempit hanya dalam satu bangunan gubuk kecil berisi beberapa ruangan saja. Ruang tengah, ruang tidur para penunggu, dan tentu ruang tubuh gadis yang kerasukan. Bukannya ini justru lebih intens? Ya benar, tidak ada ruang untuk berlarian ke sana ke mari seperti dalam Ivanna atau DreadOut. Fokus hanya ada dalam satu ruangan saja, yakni ruang di mana tubuh Della ditutup oleh kain dan keranda bambu. Tidak ada listrik pula di sana dan hanya mengandalkan lilin dan lampu petromax. Untuk urusan suasana atau atmosfer horornya, Sewu Dino terbilang sangat baik. Pun mengeksplorasi jump scare hanya dibatasi ruang demikian sempit jelas bukan hal mudah, dan sang sineas tercatat mengeksekusinya dengan baik.

Baca Juga  Tersanjung: The Movie

Sisi teknis yang sangat baik, dengan premis begitu menjanjikan, kembali terusik dengan beberapa sisi cerita yang belum terjelaskan dengan memadai. Tentu banyak hal tidak bisa diungkap di sini karena faktor spoiler.

Satu hal saja, jika situasi ini begitu AMAT GENTING bagi keluarga Atmodjo, mengapa harus dilakukan di tengah hutan yang jauh dari mana-mana? Lalu mengapa mengambil resiko dengan menggunakan orang-orang baru yang dijamin tidak akan satu pun orang waras yang berminat dengan pekerjaan ini? Belum lagi, banyak kejutan-kejutan di segmen akhir, yang justru menimbulkan pertanyaan baru? Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dua pihak ini saling berseteru hingga demikian hebat? Balas dendam, materi, iri hati, atau apa? Lalu di mana posisi sang iblis (yang merasuki Della) di antara dua pihak ini? Apa untungnya bagi sang iblis? Lalu, pertanyaan pamungkas, mengapa harus 1000 hari (notabene titel filmnya)? Apa yang sebenarnya ditunggu hingga waktu selama itu? Berapa banyak korban selama 996 hari sebelumnya? Masih banyak belasan pertanyaan lagi mengganjal lainnya. Hmm.. Sewu Dino 2, everyone?

Dari sisi estetik, Sewu Dino adalah film horor berkelas dengan sineas berkelas melalui segala atributnya yang sayangnya tidak sepadan dengan motif kisahnya yang lemah. Satu poin plus lagi bagi sang sineas selain Teluh Darah, Sewu Dino adalah film arahannya yang nyaris lepas dari sisi penceritaan gaya barat yang kerap diusungnya. Bermain dengan elemen mistik dan nilai lokal jelas bukan perkara mudah. Dialog dalam naskahnya mestinya juga mengakomodir kemampuan para pemain yang logatnya tidak terlalu fasih berbahasa Jawa Timuran. Mengapa harus tanggung dan tidak menggunakan bahasa Jawa seluruhnya? Aneh terdengar di telinga jika terdengar separuh-separuh seperti itu, seperti halnya film-film horor lokal kita lainnya akhir-akhir ini. Naskah rupanya masih menjadi kutukan terbesar film-film horor kita. Masih kita tunggu film horor berkualitas kita, baik estetik maupun naskahnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaHunger
Artikel BerikutnyaBuya Hamka
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.