Film bergenre aksi petualangan yang bertema arkeologi memang jarang sekali diproduksi di Indonesia. Barakati bercerita tentang petualangan seorang arkeolog muda dari Yogyakarta, Manan (Fedi Nuril). Cerita bermula dari sebuah pertemuan Manan dengan wartawan Inggris, Gerry (Jono Armstrong). Gerry meminta Manan untuk mengartikan naskah lontar kuno yang merupakan peninggalan kerajaan Majapahit. Manan tertarik untuk membantu Gerry karena di lontar itu mengungkap akhir masa-masa Patih Gajah Mada di Majapahit yang masih misteri. Salah satu informasi yang ada mengungkap bahwa akhir hayat Gajah Mada ada di pulau Buton. Gerry ternyata telah memiliki perjanjian untuk menjual lontar yang asli dengan sekelompok organisasi yang mengatasnamakan keturunan Majapahit. Perkenalan Gerry dan Manan membuat organisasi ini terusik, hingga organisasi ini mengutus seorang utusan (Dwi Sasono) untuk mengawasi Gerry dan Manan.

Walaupun bukan sekelas Indiana Jones namun sineas mencoba untuk mengeksplor cerita dari sebuah temuan artifak sebagai penggerak cerita filmnya. Walaupun kita sebagai penonton tidak tahu benar keaslian artifak tersebut, namun film ini mencoba untuk meyakinkan penonton dengan cerita yang dibangun. Di awal latar cerita mengenai asal muasal artifak ini kurang begitu dibahas, dari mana asalnya, nerapa umurnya, dan mengapa bisa ditangan Gerry. Walaupun diceritakan sekilas namun temuan lontar asli sebagai artifak penting itu tidak dibahas secara mendalam. Riset menjadi kunci penting dalam sebuah film yang mengeksplor fakta sejarah. Ada baiknya informasi sejarah yang ada di film ini diriset lebih mendalam untuk lebih meyakinkan penonton.

Plot yang dibangun berdasar temuan informasi dari artifak-artifak yang terungkap di filmnya. Setahap demi setahap membawa sang tokoh untuk berpetualang mencari jawaban akan misteri tersebut. Plot di film ini kurang begitu fokus dan tidak digali lebih dalam lagi sehingga proporsi cerita tidak seimbang, seperti plot persoalan keluarga Manan dan organisasi yang mengintai Gerry dan Manan. Motif yang menggerakkan cerita untuk ke Pulau Buton juga agak dipaksakan serta kurang memberikan informasi yang jelas dan serba kebetulan. Semua tokoh, Manan, Gerry, dan sang utusan, pergi ke Buton dan tahu-tahu bisa bertemu di sana. Di ending cerita yang menunjukkan adanya penemuan sebuah kotak, masih meninggalkan misteri yang belum terungkap tentang mengapa Patih Gajah Mada ke Buton. Tampak sekali sang sutradara hanya ingin menginterpretasikan fakta-fakta yang selama ini beredar ke dalam naskahnya.

Baca Juga  Adagium

Setting yang sebagian besar menggunakan lokasi di pulau Buton sudah menyesuaikan dengan konteks ceritanya serta memanfaatkan lokasi-lokasi penting di pulau tersebut. Beberapa hal bersifat teknis disajikan menarik. Pada segmen opening sang sineas menampilkan satu segmen historis melalui flashback saat Patih Gajah Mada meninggalkan Kerajaan Majapahit, tentu saja dengan interpretasi sang sineas soal setting, properti, serta kostum masa tersebut. Sang sineas juga menggunakan gaya film 300 dengan teknik slowmotion dalam adegan pertarungannya. Dengan berbagai kelemahannya Barakati patut kita apresiasi karena berani menampilkan plot pencarian harta karun serta genre petualangan yang langka dalam film-film kita.

WATCH TRAILER

https://www.youtube.com/watch?v=PWGDNOgzRbA

Artikel SebelumnyaBilly Lynn’s Long Halftime Walk
Artikel BerikutnyaThe Girl with All the Gifts
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.