11428217_10153146184218557_140846125654395967_o
Jogja City XXI

     Hingga akhir tahun 2014, jaringan 21 menambah satu bioskop lagi di Jogja, yakni Jogja City XXI yang berlokasi di mall baru, Jogja City Mall (JCM). Bioskop ini memiliki 6 teater standar dan 1 teater premiere. Teater premiere layaknya teater VIP dibanderol lebih mahal memberikan kenyamanan lebih dalam pelayanannya, menggunakan kursi sofa yang besar dan mewah serta jumlah tempat duduk hanya kapasitas sekitar 20-an orang dalam satu teater. Studio 21 juga direnovasi besar-besaran berganti nama menjadi Ambarrukmo XXI, dengan fasilitas 5 studio standar dan 1 studio premiere. Sementara Empire XXI sendiri juga berbenah dengan mengganti tata suara salah satu teater dengan sistem suara mutakhir, Dolby Atmos, yang memiliki ketajaman dan kedalaman suara yang lebih dari sebelumnya. Tak lama, Ambarrukmo XXI pun juga menggunakan tata suara Dolby Atmos di satu studio mereka. Hingga kini, tercatat studio 1 Ambarrukmo XXI adalah yang studio yang memiliki kualitas tata suara terbaik di Jogja.

     Pembangunan kembali Lippo Plaza (bekas Saphire Square) juga semakin menambah semarak bioskop di Jogja karena jaringan bioskop Cinemaxx akhirnya masuk yang baru dibuka pada pertengahan tahun 2015. Berbekal 4 studio reguler dan 2 studio gold (seperti teater premiere XXI) serta harga tiket yang lebih murah, Cinemaxx siap bersaing dengan kompetitor mereka. Sekali pun masih baru, sayangnya kualitas gambar dan audio di jaringan bioskop ini masih di bawah standar bioskop XXI. Sementara jaringan bioskop CGV Cinemas juga dibuka pada akhir tahun 2015, bersamaan dengan dibukanya pusat perbelanjaan J-Walk di wilayah Babarsari. Tidak seperti dua jaringan bioskop lainnya, CGV lebih menyasar pada generasi milenial yang tampak dari desain interiornya yang memang cocok untuk anak muda. Beberapa tahun kemudian, mereka menambah jaringan bioskop di Hartono Mall dan Transmart Maguwo. Bahkan, beberapa studio di Hartono Mall dilengkapi dengan fitur dan sistem baru yang menjadi andalan mereka, seperti 4DX, Sphere-X, sweetbox, hingga ranjang tidur! Sayangnya, kualitas tata suara bioskop jaringan CGV pun masih dibawah standar bioskop XXI. Lokasi jaringan bioskop XXI, CGV Cinemas, serta Cinemaxx yang relatif berdekatan di wilyah utara Jogja, jelas memberikan persaingan bisnis yang luar biasa di antara mereka.

Baca Juga  Kekuatan Perempuan dalam Mulan

     Melihat kondisi bioskop di Jogja saat ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya jelas sangat menguntungkan para pecinta film di kota ini. Pilihan bioskop kini lebih banyak dan penonton tidak perlu mengantri ratusan meter hingga keluar studio untuk menonton film-film box-office seperti dulu. Sekarang, tiket pun bisa dipesan sebelumnya hanya dengan memencet tombol handphone dari rumah, seperti sistem MTIX di jaringan XXI. Persaingan harga tiket, sistem yang lebih canggih, serta pelayanan yang lebih baik, pasti akan terus ditawarkan ke penonton. Entah kapan bioskop IMAX bisa masuk ke kota ini. Jumlah layar bioskop yang lebih banyak akan semakin bagus juga buat industri film kita. Mereka pun terbuka dengan pemutaran di luar regulernya untuk memutar film-film festival dan independen, bahkan seringkali menjadi bagian dari venue festival film Internasional, seperti JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) yang tiap akhir tahun diselenggarakan di kota ini. Para pembuat film lokal harus semakin berbenah dan memperbaiki diri karena persaingan ke depan bakal semakin ketat. Semoga kelak film-film kita bisa bersaing dengan film-film barat yang hingga kini masih mendominasi pasar domestik.

Artikel pertama kali ditulis di Buletin Montase edisi 10 dengan judul, “Bioskop Jogja, dari Empire 21 hingga Empire XXI”. Penulis adalah penikmat film di Jogja sejak awal 1990-an hingga kini. 

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaInfinity War Pecahkan Rekor Box-Office Opening Weekend Sepanjang Masa!
Artikel BerikutnyaBatman Ninja
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.