Pada pertengahan tahun ini Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) mengundang 95 negara untuk ikut berkompetisi ajang Academy Award yang ke-80 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik (Best Foreign Languange Film). Pada bulan Oktober lalu AMPAS mengumumkan ada 63 negara (film) yang telah diterima untuk bisa bersaing dalam ketegori tersebut. Negara kita diwakili oleh peraih film terbaik Festival Film Indonesia tahun lalu, yaitu Denias, Senandung di Atas Awan. Keputusan untuk memilih film ini ditetapkan oleh Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). PPFI adalah lembaga yang ditunjuk resmi oleh AMPAS untuk memilih satu film kita untuk dikirim ke ajang bergengsi tersebut. PPFI membentuk sebuah komite seleksi yang beranggotakan 18 orang, terdiri dari wartawan, produser, sineas, dan praktisi yang masing-masing telah berpengalaman di bidangnya. Beberapa anggotanya antara lain, Garin Nugroho, Leila Chudori, Shanty Harmain, Firman Bintang, dan Raam Punjabi.

Awalnya komite tersebut menyeleksi 40 film hingga akhirnya dipersempit lagi menjadi tiga film, yakni Denias, The Photograph, dan Opera Jawa. Setelah diputuskan melalui voting, Denias akhirnya menang mutlak. Sepuluh anggota komite memilih Denias, dua abstain, dan sisanya memilih dua film lainnya. Denias dianggap komite seleksi memiliki kelebihan dari dua film lainnya karena mengandung muatan lokal yang kuat (budaya Papua), tata fotografi serta dramaturgi yang menarik. Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana Denias bisa lebih unggul dari kedua kompetitornya yang jauh lebih superior. Kita ambil contoh Opera Jawa. Tidak perlu kita bicara masalah tema (muatan lokal) atau estetik. Opera Jawa jelas telah mendapatkan banyak pujian dari kritikus asing karena pencapaian estetiknya yang unik. Film ini juga telah mendapatkan nominasi film terbaik di salah satu ajang festival film terbesar di Asia. Apa kriteria ini saja belum cukup.

Baca Juga  Aach... Aku Jatuh Cinta

Ikut serta dalam ajang sekelas Academy Awards bukan hal main-main. Orang-orang yang terlibat dalam ajang ini adalah para pelaku industri film dunia yang sungguh-sungguh mengerti tentang film. Kami pikir sudah sewajarnya jika kita menggunakan tolak ukur mereka dan bukan tolak ukur kita jika ingin berprestasi di ajang tersebut. Muatan budaya dalam ajang Oscar sudah tidak menjadi tolak ukur lagi. Muatan sosial serta politis yang kuat jauh lebih berpeluang untuk mendapatkan nominasi. Opera Jawa memiliki tema yang universal namun film ini dikemas dengan cara yang istimewa. Hal ini juga telah diakui beberapa kritikus asing. Tanpa mengesampingkan Denias (serta The Photograph), setidaknya Opera Jawa kami anggap lebih berpeluang mendapatkan nominasi Oscar.

Lebih jauh kami mengamati siapa saja pesaing Denias dalam ajang bergengsi ini. Dari 63 judul film yang akan bersaing di ajang tersebut tercatat lima karya sineas besar yang juga masuk dalam daftar. Kelima sineas besar tersebut pernah mendapatkan piala Oscar sebelumnya. Empat diantaranya bahkan telah meraih piala Oscar untuk Best Foreign Language. Keempat sineas besar tersebut adalah Giuseppe Tornatore (Italia), Denys Arcand (Canada), Jiri Menzel (Republik Ceska), serta Nikita Mikhalkov (Rusia). Satu orang lagi adalah sineas kawakan, Andrzej Wajda (Polandia) dengan filmnya berjudul Katyn yang konon telah ditunggu banyak pengamat film. Juga terdapat tiga sineas selain mereka berlima yang film-film mereka pernah dinominasikan dalam kategori yang sama. Nama besar memang bukan jaminan sebuah film dianggap berkualitas. Lantas bagaimana menurut anda peluang Denias?

Artikel SebelumnyaAdaptasi Novel ke Film
Artikel BerikutnyaFilm Bagus
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.