Eat Pray Love (2010)
133 min|Biography, Drama, Romance|13 Aug 2010
5.8Rating: 5.8 / 10 from 106,574 usersMetascore: 50
A married woman realizes how unhappy her marriage really is, and that her life needs to go in a different direction. After a painful divorce, she takes off on a round-the-world journey to "find herself".

Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Elizabeth Gilbert yang konon terinspirasi dari kisah perjalanan hidupnya sendiri. Alkisah Gilbert (Roberts) adalah seorang wanita karir yang gagal dalam perkawinannya dengan Steven (Crudup). Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Gilbert lalu menjalin hubungan dengan seorang pemain teater, David, namun hubungan mereka pun tak lama. Gilbert akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Italia, India, dan Indonesia untuk mencari jati dirinya yang hilang.

Plot seperti ini jelas sudah banyak kita lihat dalam film-film drama perjalanan sejenis. Lazimnya sang tokoh belajar atau diberi pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan sehingga ia akhirnya menemukan apa yang ia cari. Into the Wild garapan Sean Pean merupakan salah satu contoh sempurna film drama jenis ini melalui kedalaman temanya. Sementara dalam film ini sang tokoh berkesan “lari” dari kenyataan untuk mencari “kedamaian jiwa” atau lebih tepatnya mencari kenikmatan duniawi yang belum terpuaskan. Sang tokoh melakukan segala upaya dari makan makanan enak, meditasi, hingga seks untuk mencari “kedamaian jiwa”nya. Sama sekali tidak diperlihatkan bagaimana perjalanannya ke India misalnya, mampu merefleksikan kedamaiannya jiwanya. Ending-nya pun nyaris sama solusinya dengan film drama roman kebanyakan. Singkat kata, cerita filmnya terlalu dangkal.

Baca Juga  45 Tahun Gerakan 30 September, Menonton Lagi Film Itu

Terlepas dari kisahnya yang dangkal, Roberts telah bermain maksimal. Perannya kali ini sepertinya tidak menguras kemampuan aktingnya sama sekali. Bardem, Crudup, serta Franco pun tampil baik namun tak ada yang istimewa. Bardem sendiri tampil nyaris mirip dengan perannya dalam film roman, Vicky Christina Barcelona. Justu akting aktor kita, Hadi Subiyanto sebagai Ketut Liyer mampu tampil mencuri perhatian. Sementara aktris kawakan kita, Christine Hakim tidak banyak mendapat porsi peran yang cukup untuk menunjukkan kemampuan aktingnya. Ada rasa bangga juga akhirnya bisa melihat aktris kita bisa bermain satu adegan bersama aktor top sekelas Julia Roberts.

Satu hal yang menarik dalam film ini adalah kita seperti benar-benar dibawa traveling ke Italia, India, serta Bali. Sekuen di Italia mungkin adalah yang terbaik dengan mampu memperlihatkan eksotisme kota-kota di Italia, dari arsitektur, makanan, keramahan warga kota, hingga gaya bicara. Sekuen di Bali, sekalipun porsinya cukup banyak namun kurang menunjukkan eksotisme Pulau Dewata yang sebenarnya. Sayang sekali, tampak sineas menghindari penggunaan lokasi-lokasi yang menjadi tempat wisata utama di Bali, tentunya ini untuk kemudahan produksinya. Terlepas dari ini semua secara umum Eat, Pray, Love adalah film drama biasa yang hanya menampilkan eksotisme kota-kota yang disinggahinya. Jika Anda ingin mendapatkan sesuatu yang lebih, film ini sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaSang Pencerah, Film Terbaik Hanung?
Artikel BerikutnyaErin Brockovich, Kombinasi Sempurna “Independen dan Komersil”
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.