Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Elizabeth Gilbert yang konon terinspirasi dari kisah perjalanan hidupnya sendiri. Alkisah Gilbert (Roberts) adalah seorang wanita karir yang gagal dalam perkawinannya dengan Steven (Crudup). Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Gilbert lalu menjalin hubungan dengan seorang pemain teater, David, namun hubungan mereka pun tak lama. Gilbert akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Italia, India, dan Indonesia untuk mencari jati dirinya yang hilang.
Plot seperti ini jelas sudah banyak kita lihat dalam film-film drama perjalanan sejenis. Lazimnya sang tokoh belajar atau diberi pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan sehingga ia akhirnya menemukan apa yang ia cari. Into the Wild garapan Sean Pean merupakan salah satu contoh sempurna film drama jenis ini melalui kedalaman temanya. Sementara dalam film ini sang tokoh berkesan “lari” dari kenyataan untuk mencari “kedamaian jiwa” atau lebih tepatnya mencari kenikmatan duniawi yang belum terpuaskan. Sang tokoh melakukan segala upaya dari makan makanan enak, meditasi, hingga seks untuk mencari “kedamaian jiwa”nya. Sama sekali tidak diperlihatkan bagaimana perjalanannya ke India misalnya, mampu merefleksikan kedamaiannya jiwanya. Ending-nya pun nyaris sama solusinya dengan film drama roman kebanyakan. Singkat kata, cerita filmnya terlalu dangkal.
Terlepas dari kisahnya yang dangkal, Roberts telah bermain maksimal. Perannya kali ini sepertinya tidak menguras kemampuan aktingnya sama sekali. Bardem, Crudup, serta Franco pun tampil baik namun tak ada yang istimewa. Bardem sendiri tampil nyaris mirip dengan perannya dalam film roman, Vicky Christina Barcelona. Justu akting aktor kita, Hadi Subiyanto sebagai Ketut Liyer mampu tampil mencuri perhatian. Sementara aktris kawakan kita, Christine Hakim tidak banyak mendapat porsi peran yang cukup untuk menunjukkan kemampuan aktingnya. Ada rasa bangga juga akhirnya bisa melihat aktris kita bisa bermain satu adegan bersama aktor top sekelas Julia Roberts.
Satu hal yang menarik dalam film ini adalah kita seperti benar-benar dibawa traveling ke Italia, India, serta Bali. Sekuen di Italia mungkin adalah yang terbaik dengan mampu memperlihatkan eksotisme kota-kota di Italia, dari arsitektur, makanan, keramahan warga kota, hingga gaya bicara. Sekuen di Bali, sekalipun porsinya cukup banyak namun kurang menunjukkan eksotisme Pulau Dewata yang sebenarnya. Sayang sekali, tampak sineas menghindari penggunaan lokasi-lokasi yang menjadi tempat wisata utama di Bali, tentunya ini untuk kemudahan produksinya. Terlepas dari ini semua secara umum Eat, Pray, Love adalah film drama biasa yang hanya menampilkan eksotisme kota-kota yang disinggahinya. Jika Anda ingin mendapatkan sesuatu yang lebih, film ini sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru.
WATCH TRAILER