Rasanya terharu juga, ada film buatan sineas Indonesia dibuka dengan logo studio Hollywood 20th Century Fox berikut iringan musik orkestranya yang khas. Film itu, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, hasil produksi PH (production house) lokal Lifelike Pictures dan  Fox International Productions, divisi produksi internasional 20th Century Fox. Film Wiro Sableng adalah film Indonesia pertama yang produksinya didukung studio besar Hollywood.

Pertanyaannya kemudian, apa dengan begitu kita jadi tak enak hati mengkritiknya?

Ini pertanyaan penting. Sebab, bila menelusuri jagat maya beberapa hari terakhir bakal ketemu puja-puji soal film Wiro Sableng yang makna di balik pujian itu mungkin sekali bukan pujian. Pendek kata, mengkritik secara halus. Misalnya, bila Anda ketik frasa Wiro Sableng akan ketemu pujian begini: “Filmnya menghibur banget”, “Nggak perlu mikir”, “Hiburan ringan”, “Bagus, tapi tidak istimewa”, “Karya anak bangsa di panggung internasional”, atau “Harus ditonton demi mendukung film Indonesia”.

Dari frasa-frasa di atas, kita bisa bertanya balik: Jadi filmnya sekadar menghibur? Dan, apa karya anak bangsa yang berlaga di panggung internasional harus kita tonton tanpa berhak mengkritiknya?

Sebelum yang lain-lain harus dipahami dahulu, kritikus film—entah publik Twitter atau yang menulis di media—bukanlah bagian dari mata rantai produksi film. Kritikus bukanlah publisis film atau staf humas dari rumah produksi yang membuat film. Ia tak digaji rumah produksi, melainkan oleh media tempatnya bekerja atau sama sekali tak punya media alias menulis sekadar melepas unek-unek usai menonton film.

Namun, bagaimana bila yang lahir adalah kritik pujian bersayap macam ”Bagus, sih. Tapi…” atau ”Production value-nya kelas Hollywood”? Kenapa bisa lahir pujian macam begitu?

Film Kita Industri Rumahan

Hal ini sebetulnya berakar pada ekosistem perfilman kita. Sejak kelahirannya, film Indonesia tak pernah lepas sebagai industri rumahan. Sejak tahun 1920-an, saat warga keturunan Tionghoa membuat film di bumi Nusantara, perusahaan film dibangun sebagaimana usaha bengkel, pabrik kecap, atau pabrik tauco (Misbach Yusa Biran: 2008). Studionya asal ruang kosong untuk pembuatan set. Kru dan pemain disetarakan dengan pegawai bengkel. Banyak yang menumpang tinggal di sekitar studio dengan membuat rumah siput yang menempel di tembok.

Sistem begitu terbawa terus sampai sekarang. Bukan rumah siput menempel ke studio, tapi film kita masih dibuat selayaknya industri rumahan. Itu pula mungkin sebabnya, perusahaan pembuat film kita sebut rumah produksi (production house) dan bukan studio film atau film company (perusahaan film).

Baca Juga  My Father's Dragon dan Sekelumit Tentang Animasi Irlandia

Karena sifatnya yang rumahan itu kultur ”rumah” ikut terbawa. Pembuat film kita adalah sebuah komunitas layaknya keluarga. Semua saling kenal, berteman. Bahkan geng-gengan. Aroma pertemanan ini yang sering pula terbawa ke soal karya sineas. Di depan publik, entah ke wartawan atau lewat media sosial, mereka saling dukung film buatan sesama sineas—apalagi yang satu geng. Tapi coba bicara off the record atau bila kenal baik mereka, bakal keluar juga ledekan dan cacian untuk karya sejawat.

Untuk negeri yang industri filmnya sedang tumbuh, pertemanan antar sineas sebuah keniscayaan. Sebagaimana di profesi lain, solidaritas korps jamak adanya. Sineas memang dituntut bersatu, saling membesarkan hati, dan sebisa mungkin tak menjadi musuh sesama sineas karena di lingkungan yang sempit, semua berpotensi bertemu dalam sebuah produksi.

Maka, mulai sekarang, jangan telan bulat-bulat rekomendasi sesama sineas. Bisa saja itu bantuan pemasaran untuk seorang teman dari teman yang lain.

Maha Benar Netizen?

Yang jadi soal berikut, bagaimana bila rasa tak enak hati mengkritik itu timbul dari media atau netizen yang tak kenal sineasnya secara pribadi. Sahkah rasa tak enak hati itu timbul demi alasan patriotis seperti ”demi kemajuan film Indonesia”?

Kritikus yang baik harus bertanggung jawab atas amanat yang diembannya dengan tetap bersikap independen. Artinya, dalam urusan kritik film, berlaku dalil: maha benar netizen dengan segala komentarnya.

Boleh saja punya rasa nasionalisme selangit dan niat baik mendukung perfilman nasional. Mendiang Pauline Kael yang menulis kritik film untuk majalah New Yorker dan hingga kini dianggap sebagai salah satu kritikus terbaik Amerika pernah menulis, kritikus yang baik membantu orang memahami sebuah karya lebih dari saat orang itu melihatnya sendiri; dan kritikus yang hebat yakni jika ia, dengan pemahaman dan perasaannya atas sebuah karya, dengan hasratnya, bisa menarik orang untuk lebih menelusuri sebuah karya yang menunggu untuk disingkap.

Untuk punya sikap begitu yang pertama harus dimiliki adalah sifat jujur. Katakan buruk bila memang buruk menurut Anda, dan katakan baik memang baik menurut Anda. Di sini yang lebih berlaku adalah dalil: Sampaikan kebenaran, walaupun itu pahit. ***

Artikel SebelumnyaThe Nun
Artikel BerikutnyaValak Hantui Bioskop di Seluruh Dunia
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.