havoc

Havoc adalah film aksi kriminal arahan Gareth Evans yang kita kenal menggarap seri The Raid. Film poduksi patungan AS dan Inggris ini dibintangi oleh beberapa nama besar, yakni Tom Hardy, Jessie Mei Li, Justin Cornwell, Quelin Sepulveda, Luis Guzmán, Yeo Yann Yann, Timothy Olyphant, hingga Forest Whitaker. Film ini baru saja dirilis platform Netflix beberapa hari lalu. Akankah Gareth Evans kembali menyajikan aksi-aksi brutal seperti halnya seri The Raid yang membesarkan namanya?

Film berkisah tentang Patrick Walker (Hardy), seorang polisi kotor yang tinggal di sebuah kota korup dengan para gangster kriminal sebagai penguasa kota. Konflik bermula, ketika Charlie (Cornwell), putra seorang calon walikota Lawrence (Whitaker) diduga membunuh putra seorang pimpinan triad lokal dalam satu transaksi heroin. Walker yang memiliki rekam jejak kelam dengan Lawrence menyanggupi untuk mencari sang putera untuk mengakhiri persengkongkolan mereka. Beberapa pihak makin memperkeruh suasana. Kelompok triad juga memburu Charlie, sementara pihak polisi yang juga rekan Walker juga mencarinya untuk mengincar stok heroin yang ia miliki.

Bagi penggemar crime gangster, plot senada bukanlah hal baru. Plotnya selalu berpindah dari satu karakter/pihak ke lainnya secara bergantian untuk memberi informasi dan respon yang memberikan suspence nonstop, hingga berakhir pada satu klimaks yang hingar bingar. Plot yang mengalir cepat membuat penonton bisa saja melewatkan banyak informasi kecil. Namun, kompleksitas dan kedalaman cerita bukanlah yang kita cari dalam film ini, melainkan gegap gempita aksinya.

Tidak seperti The Raid yang mengandalkan koreografi aksi perkelahian, Havoc didominasi aksi tembak menembak yang membabi buta dan brutal. Sisi sadisme yang berdarah-darah tidak luput dari selipan aksinya. Aksi-aksinya jauh dari logika akal sehat yang bakal menguji ketahanan penonton menyaksikan aksi brutal yang bertubi-tubi. Peluru seolah tak ada habisnya. Satu orang  seringkali dihujani peluru belasan kali sebelum akhirnya terjatuh. Orang yang telah tertembak demikian brutal pun kadang masih bisa bergerak dan berdiri. Daya tahan hidup adalah karunia yang dimiliki manusia dalam situasi ekstrem apa pun, namun apalah arti jika otak dan nurani tidak digunakan.

Baca Juga  The Bad Guys

Gareth Evans kembali menegaskan stempelnya dalam Havoc, brutal dan tak bernalar semata hanya untuk memuaskan fans genrenya. Havoc tak ubahnya seperti seri The Raid yang melelahkan. Selipan sentuhan humanis dalam plotnya, seolah hanya selingan sambil lalu yang tidak bermakna apa-apa. Fans genre aksi sejenis tidak akan pernah mati. Selamanya akan selalu ada pembuat film yang menggarapnya. Hei, ini hanya hiburan, apa yang salah? Tidak salah. Saya serahkan ke para penontonnya sendiri yang menjawab.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaBullet Train Explosion | REVIEW
Artikel BerikutnyaFilm Klasik Italia, La Provinciale, Resmi Menutup Italian Film Festival 2025: Venice In Jakarta
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses