i am legend
I Am Legend (2007)
101 min|Action, Drama, Horror|14 Dec 2007
7.2Rating: 7.2 / 10 from 789,288 usersMetascore: 65
Years after a plague kills most of humanity and transforms the rest into monsters, the sole survivor in New York City struggles valiantly to find a cure.

I Am legend kisahnya diangkat dari novel karya Richard Matheson yang digarap oleh sutradara Francis Lawrence. I Am legend merupakan film horor-fiksi ilmiah adaptasi ketiga setelah The Last Man on Earth (1964) dan The Omega Man (1971). Dalam dua film sebelumnya tokoh utama masing-masing diperankan oleh Vincent Prize serta Charles Heston, dan kini diperankan Will Smith. Sejauh ini I Am Legendercatat sebagai film zombi terlaris sepanjang masa dengan total pemasukan kotor lebih dari $450 juta dari rilisnya di seluruh dunia.

Cerita film dibuka dengan sebuah tayangan televisi berisi wawancara seorang ilmuwan yang meyakini berhasil menyembuhkan penyakit kanker melalui virus yang telah ia reka-genetik. Cerita mendadak melompat tiga tahun berselang, menggambarkan kota New York yang telah berubah menjadi kota mati. Virus diceritakan gagal dan menyebar melalui udara serta menginfeksi umat manusia menjadi monster ganas yang memangsa manusia lainnya. Satu-satunya orang yang tidak terinfeksi di kota ini adalah Robert Neville. Kesehariannya Neville ditemani anjingnya Sam, berkeliling kota mencari persediaan makanan, menyapu wilayah dari satu blok ke blok lain, serta mengirimkan pesan melalui radio untuk mencari orang lain yang selamat. Pada malam harinya barulah para monster keluar dari sarangnya dan Neville pun menutup rumahnya rapat-rapat. Sementara di laboratorium kecilnya, ia beruji-coba keras mencari antivirus menggunakan darah imunnya. Suatu hari Sam mengejar seekor Rusa hingga masuk ke dalam sebuah bangunan dan dari sinilah semua masalah bermula.

Baca Juga  Merah itu Cinta, Mencoba Berbeda

Kisah “zombie” sejenis sebelumnya telah banyak diproduksi, dan I Am Legend sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Alur cerita relatif lambat dan separuh durasi awal terasa sedikit membosankan karena minimnya aksi. Kisah filmnya sendiri memiliki banyak kejanggalan. Dikisahkan para monster adalah sosok yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan tentu saja juga kehilangan akal serta logika. Kejanggalan pertama, dalam film ini tidak jelas bagaimana sang monster dapat mengenali Fred, boneka (manekin) “rekan” Neville yang digunakan sebagai umpan. Apakah hanya kebetulan belaka? Kedua, bagaimana ceritanya sang monster dapat memperhitungkan jebakan untuk Neville dengan begitu sabar, detil, dan cermat. Apakah hanya secara kebetulan atau mungkin saja sang monster mempelajarinya dari Neville ketika menjebak rekannya sebelumnya? Namun jika sang monster memang secerdas itu kenapa tidak langsung saja ia mencari tempat tinggal Neville?, atau mungkin sekalian saja menantang dengan menjawab sinyal radio Neville? Sungguh tidak masuk akal!

Kekuatan film ini sedikit banyak tertolong oleh sosok Will Smith serta set-nya. Kematangan akting Smith mampu mengubah nuansa film yang kosong menjadi lebih humanis melalui rasa keterasingannya, rasa takutnya ketika ribuan monster keluar pada malam hari, kedekatannya dengan Sam, memori tentang istri dan putrinya, hingga bagaimana ia masih bisa menikmati alunan lagu Bob Marley. Sementara set kota mati bukanlah hal yang baru, seperti dapat kita jumpai pada film “zombie” lainnya, 28 Days Later yang mampu mengosongkan kota London. Film ini berhasil menggambarkan kota New York yang kosong dengan sangat meyakinkan yaitu dengan memperlihatkan beberapa landmark kota yang tampak telah lama terbengkalai. Namun amat disayangkan sosok monster hingga binatang dalam film ini seluruhnya diciptakan menggunakan rekayasa komputer. Seperti dalam film-film sejenis, sosok “zombie” diartikan sebagai simbol sifat binatang yang ada dalam diri manusia.

Viantari

PENILAIAN KAMI
overall
70 %
Artikel SebelumnyaThe Victim, Sebuah Realitas di Balik Realitas
Artikel BerikutnyaThe Exorcist, Film Horor Terbaik Sepanjang Masa?
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.