The Exorcist (1973)
122 min|Horror|26 Dec 1973
8.1Rating: 8.1 / 10 from 458,951 usersMetascore: 81
When a young girl is possessed by a mysterious entity, her mother seeks the help of two Catholic priests to save her life.

The Exorcist (1974) arahan sineas William Friedkin merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya William Peter Blatty. Film ini tercatat merupakan film horor pertama yang sukses secara komersil maupun kritik. Pada masanya film ini sempat menjadi film terlaris sepanjang masa dan merupakan film horor pertama yang mampu meraih nominasi Oscar untuk film terbaik. Film ini sukses meraih dua Oscar dari sepuluh yang dinominasikan, yakni untuk naskah adaptasi serta suara terbaik. Film ini juga mengundang kontroversi karena beberapa aksi vulgar serta sumpah serapah yang diucapkan seorang gadis cilik.

Filmnya sendiri berkisah tentang seorang gadis cilik yang kerasukan iblis yang konon diinsipirasi dari kisah nyata. Alkisah Chris (Ellen Burstyn) adalah seorang aktris dan ibu muda yang baru saja bercerai dan tinggal bersama putrinya, Regan (Linda Blair) yang berusia 12 tahun. Suatu ketika sang putri mengalami perubahan sifat menjadi lebih agresif. Awalnya Regan diduga mengalami gangguan psikis akibat perceraian orang tuanya, namun kondisinya justru semakin memburuk. Wajah dan suara Regan berubah, kekuatannya berlipat, seolah ada makhluk lain yang merasukinya. Pihak dokter akhirnya menyerah dan Chris meminta bantuan seorang pendeta muda, Damien Karras (Jason Miller). Sang pendeta yang tengah dilanda krisis kepercayaan akibat ibunya yang sekarat juga tidak mampu berbuat banyak. Ia akhirnya ditemani pendeta senior berpengalaman, Lankester Merrin (Max Von Sydow) untuk mengusir iblis di tubuh Regan.

The Exorcist seperti lazimnya film horor menggunakan plot kebaikan versus kejahatan. Namun tidak seperti pada umumnya, film ini memiliki tempo cerita yang lambat. Lebih dari separuh cerita dituturkan secara paralel antara kisah Chris/Regan dengan Damien. Cerita juga lebih mengedepankan logika ketimbang hal-hal mistik. Gangguan “kejiwaan” yang dialami Regan mengalami tahapan-tahapan uji-coba medis yang lama, sebelum akhirnya ia divonis “kesurupun”. Film telah berjalan hampir ¾ durasi total ketika Damien pertama kali bertemu Regan. Tidak ada unsur ketegangan yang berarti karena kita tahu persis jika sang iblis selalu berada dalam kamar. Istimewanya justru horor tidak tercipta dari sosok fisik iblis, namun lebih menganggu kita secara psikologis. Ucapan serta tindak-tanduk sang iblis mampu memperdaya kita dengan mengaburkan makna kejahatan dan kebaikan.

Baca Juga  Menunggu Ayat-Ayat Cinta

Tidak seperti film horor pada umumnya, film ini tidak didominasi tata cahaya yang gelap. Iblis rupanya bekerja tidak mengenal waktu. Ketika “Regan” menyerang ibunya dengan kekuatan supernaturalnya, terjadi di siang bolong, dan hanya pada adegan klimaks terjadi di waktu malam. Film menampilkan efek-efek visual yang begitu meyakinkan seperti kepala Regan yang berputar 360°, tubuh sang iblis yang melayang, tempat tidur yang bergoyang-goyang, hingga perabot rumah yang bergerak. Agar set tampak meyakinkan konon sineas mengambil gambar di ruang pendingin pada adegan klimaks agar hembusan nafas terlihat oleh kamera. Sosok iblis makin sempurna dengan tata rias wajah yang begitu meyakinkan serta suara “serak” sang iblis yang khas. Dua aktor debutan, Blair dan Miller bermain sangat baik hingga keduanya diganjar nominasi Oscar. Film ditutup dengan akhir ”manis” yang merupakan solusi dari dilema Damien, ketika sang iblis masuk ke tubuhnya, dan ia lalu mengorbankan dirinya. Pada eranya film ini memang istimewa, namun sekarang, kami serahkan Anda yang menilai.

Artikel SebelumnyaI Am Legend, Legenda yang Tidak Akan Melegenda
Artikel BerikutnyaFilm Horor dari Masa ke Masa
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.