Film Ini Kisah Tiga Dara merupakan remake dari film berjudul Tiga Dara (1957) karya sutradara kondang Usmar Ismail yang belum lama ini ditayangkan di bioskop-bioskop tanah air. Sang Sineas Nia Dinata yang populer dengan film-film drama dan komedi seperti Cau Bau Kan (2002) , Arisan! (2003), Berbagi suami (2006) kali ini mencoba untuk menggarap film bergenre drama musikal. Film ini berkisah tentang tiga dara yakni Gendis (Shanty Paredes), Ella (Tara Basro), dan Bebe (Tatyana Akman). Mereka bertiga saling bersaudara dan memiliki sebuah hotel di Maumere yang juga dikelola ayah mereka. Sang Oma (Titiek Puspa) yang tinggal sendiri di Jakarta akhirnya mau ikut bersama cucu-cucunya untuk tinggal disana. Sang Oma berkeinginan supaya cucunya nomor satu Gendis memiliki pasangan. Namun tak semudah permintaan Oma karena Gendis lebih suka meniti karir ketimbang mencari pasangan. Suatu ketika Gendis tanpa sengaja bertemu dengan Yudha (Rio Dewanto) yang membuat situasi menjadi berbeda.

Walaupun plot cerita filmnya sama dengan film aslinya namun terlihat sang sineas mencoba untuk mengemasnya berbeda. Beberapa adegan yang dibangun memang sama persis dan mengingatkan kita pada adegan-adegan film aslinya. Sama halnya dengan Tiga Dara yang cukup fokus dengan plot sederhana yaitu bagaimana sang Oma berusaha untuk mencarikan pasangan untuk Gendis yang akhirnya bertemu dengan Yudha. Sebuah remake dengan plot yang nyaris sama pastilah tidak ada sesuatu yang baru namun intensitas dramatik pada tiap adegan terbangun dengan baik. Proporsi cerita tiap babaknya juga sangat pas dan menghibur. Klimak ceritanya disajikan dengan sangat manis dan menyentuh. Hanya saja ending cerita justru membuat filmnya jadi kurang fokus. Jika ending berhenti di adegan pertemuan Gendis dan Yudha di pelabuhan saja sudah lebih dari cukup, seperti halnya di film Tiga Dara (1956) yang  endingnya manis.

Baca Juga  Ketika Cinta Bertasbih

Hal yang berbeda di film remake-nya ini terletak pada setting cerita yang modern. Film ini seolah membawa cerita era 50-an ke dalam kebudayaan era kini. Dialog–dialog di film aslinya mampu dikemas dengan dialog era kini dengan cukup baik. Gaya penceritaan musikal menjadi sebuah gaya yang membangun tone filmnya berbeda pula. Dialog-dialog sederhana yang dilagukan menjadi terlihat sangat menarik. Unsur dialog berbahasa Inggris cukup mampu membawa nuansa tersendiri. Film ini memilki tone yang berbeda dengan film aslinya dimana film aslinya menekankan pada unsur komedi. Film ini lebih memiliki tone dengan nuansa romantis dan dramatis.

Unsur teknis yang lebih mapan dan dengan visualisasi yang kuat juga menjadi kekuatan filmnya. Setting yang eksotis ditunjukkan dengan nuansa hotel yang etnik, di tengah-tengah pemandangan indah yang menambah nuansa romantis filmnya. Akting pemainnya pun juga sudah cukup baik diperankan masing-masing tokohnya. Para pemainnya tak hanya dituntut bisa bernyanyi namun juga menari dengan koreografi yang tertata. Nomor lagu-lagu yang dilantunkan pada tiap adegan menjadi penggerak ceritanya. Beberapa lagu memang mengambil lagu asli di film aslinya, yang diaransemen ulang yang membuat kita serasa kembali ke nuansa film aslinya. Film musikal seperti ini memang sangat jarang diproduksi. Sejak film musikal Petualangan Serina (2000), tampaknya film ini yang baru bisa bersaing. Film ini kita patut apresiasi tinggi dan semoga banyak film-film musikal bermunculan di industri sinema kita kelak.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaThe BFG
Artikel BerikutnyaSully
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.