Sinema maupun sineas Nouvelle Vague akhir-akhir ini kembali ramai digunjingkan; baik menyangkut aspek ekonomi-sinema yang menyaran anggaran minim dalam setiap detil produksinya juga sisi estetika yang kelak membentuk masing-masing jati diri sineasnya. Gerakan kecil yang dimotori oleh segelintir sineas muda ini memang tidak menanamkan perubahan radikal terhadap sinema Prancis khususnya; namun ia hanya menawarkan semangat dan kebaruan yang mesti dikobarkan terus menerus atas tradisi maupun sesuatu yang remeh di sekelilingnya. Bahkan, bisa jadi ini hanyalah semacam ketidakpuasan maupun keisengan sejumlah anak muda atas jagad sinema yang sudah mulai mapan.
Dari sekian karakter sinema pada era ini adalah daya tarik pendatang baru. Jika daya tarik sinema galibnya terletak pada sisi kualitas aktor-aktrisnya yang sudah mapan, sinema Nouvelle Vague kerap menampilkan mereka yang kurang tersohor namanya: Anna Karenina yang sering ditunjuk oleh Godard maupun Jean-Pierre Léaud yang menawan hati Truffaut sejak ia masih remaja sampai dirinya dewasa. Alih-alih siasat ini hanya untuk menutupi anggaran yang seadanya, eksistensi aktor maupun aktrisnya masih tetap dipertahankan sampai film-film berikutnya untuk sekedar mengeksplorasi sisi alamiah permainan mereka. Satu sisi, pesona seorang bintang terkadang mampu mengantarkan film tersebut lebih jauh ke khalayak; misalnya Godard yang pernah mengajak artis kenamaan Brigitte Bardot dalam Le Mepris.
Sinema seperti arena playgroup bagi Godard; tempat bermain juga menari di atas permukaannya yang mulai mapan: mengesampingkan skenario, menekankan improvisasi pemainnya, dialog yang muncul secara spontan maupun mengembangkan teknik lain yang sudah ada. Sinema Godardian seakan ingin melangkah jauh ke dalam sinema sendiri sembari menceraikan bagian dari strukturnya pelan-pelan; semacam suatu yang autodestruktif terhadap sinema, lewat sentuhan iseng yang akhirnya membentuk sendiri gayanya.
Tinimbang rekan sejawatnya yang lain, Truffaut, Rohmer, maupun Chabrol, Godard memang sedikit berbeda. Dua sineas awal memiliki kemampuan bercerita; namun yang belakangan sebaliknya. Chabrol dalam buku tipisnya, Comment Faire un Film, sempat melontarkan pernyataan ini yang disertai penjelasan singkat. Baginya hanya ada dua macam sineas: mereka yang serupa penyair dan mereka yang berlaku seperti pencerita. Mereka yang serupa penyair terkadang berbicara banyak hal dan merumuskan semacam ide atau pandangan dunianya (vision du monde) lewat film-filmnya. Kerap juga penyampaiannya menuduhkan ragam tafsir, pada diri Godard; dari segi suntingan meloncat, alur cerita yang lambat, sampai parafrase yang berasal dari lisan maupun tulisan orang lain.
>Membincangkan parafrase yang tersebar acak itu kemudian demikian menarik; walaupun hanya tempelan kata-kata yang sepertinya hendak membangun strukturnya sendiri. Yang disasar Godard memang bukan apa yang ia bincangkan dalam sinema; namun perhatiannya justru tertuju pada bagaimana mengatakannya lewat citra maupun suara. Lebih jauh, parafrase dalam film Godard kemudian serupa tatal yang melengkapi ruang monolog-dialog dalam film-filmnya; dari penyair, novelis, filsuf sampai sineas lain. Lewat secarik kertas yang diberikan Arthur kepada Odille dalam Bande À Part misalnya, Shakespeare menjadi sasaran keisengan Godard. Sepenggal dialog dalam karyanya tersohor, Romeo and Juliette, digubah sedemikian rupa: tou bi or not tou bi contre votre poitrine, it iz je question; yang kemudian dengan bahasa sasaran apapun tidak bisa diterjemahkan secara sahih.
Berbeda dengan Bresson ataupun Kurosawa misalnya; yang caranya bertutur meminjam pengaruh novel-novel psikologis Dostoievsky; yang mengutamakan detil dan perilaku bawah sadar pemainnya. Pun, jika disandingkan dengan rekan sejawatnya sesama sineas pada era Nouvelle Vague, Truffaut yang memiliki kemampuan bercerita, Godard adalah sineas yang fragmentatif. Dari situ ia sepertinya hendak mencari kemungkinan untuk mencari secara terus menerus bentuk maupun cara bagaimana sinema juga layaknya awal bahasa; memuntahkan apa saja yang mengerak dalam benaknya.
Keisengan Godard yang lain berwujud pergeseran identitas yang terdapat dalam jati diri narator-naratornya. Pergeseran tersebut kemudian ditemukan juga dalam Bande À Part. Alih-alih Arthur dalam film ini adalah Arthur yang spesifik; namun Arthur dalam film kemudian disandingkan dengan Arthur Rimbaud, seorang penyair abad ke-XIX, Prancis; hanya karena Arthur dalam film pandai menuliskan berbait syair. Demikian halnya penyebutan Franz dalam film hanya karena ia memiliki kesamaan wajah dengan Franz Kafka, novelis tersohor kelahiran Praha. Juga nama Odille dalam film menunjuk sebuah judul roman karya novelis dan penyar Surealis, Raymond Queneau.
Posisi narator dan sineas di sini berbeda. Narator membangun struktur fiktifnya sendiri dalam sinema. Ia bisa berupa sinonim dengan suatu hal maupun sesuatu yang anonim, tanpa sumber-asal. Juga ia berupa kata ganti yang langsung menunjuk sesuatu maupun seseorang. Transformasi narator dalam Bande À Part misalnya terlihat dari suatu yang anonim kemudian malah bersinonim dengan orang ketiga yang dikenal secara umum, baik karena kemiripan maupun kualitas pribadinya (Arthur menjadi Arthur Rimbaud-Franz menjadi Franz Kafka).
Struktur kekerabatan Eropa memang memberi perhatian khusus atas nama: depan dan belakang. Nama depan biasanya merupakan panggilan akrab; sedangkan nama belakang bersifat formal. Pergeseran identitas atau nama tersebut kemudian terlihat; antara Arthur (nama depan) menjalin relasi dengan Rimbaud (nama keluarga), demikian halnya dengan Franz dalam film. Dari pergeseran subyek ini seolah film ingin menghubungkan secara semena-mena posisi narator dalam sinema dan dunia nyata: yang selalu bersitegang di antara keduanya.
Parafrase maupun pergeseran identitas hanyalah sekian dari keisengan Godard atas hakikat sinema yang terus menerus dimaknai lewat gaya maupun cara berbahasa; walaupun kesemuanya itu hanyalah turunan dari bentuk yang sudah ada. Galibnya suatu yang baru, muncul terlalu awal. Kerap ia hadir begitu saja sewaktu seseorang membilang suatu bahaya yang duduk mencangkung di hadapannya. Ia kemudian menimbang bahaya tersebut juga malah menumbuhkan benih keisengan baru; yang berbuah suatu yang aneh, remeh juga tidak biasa. Ia yang berdiri di bawah bayang-bayang orang lain; namun secara perlahan ia ingin berziarah kepada bayang-bayangnya sendiri.
Demikian keisengan adalah bentuk lain dari sebuah kemungkinan; walaupun ia bersifat paradoks. Ia ingin melampaui labirin tersebut dengan mencari sesuatu yang lain; tidak hanya menjadi epigon dari mereka yang telah mapan; dengan hadirnya parafrase maupun menggeser posisi narator secara semena-mena. Manusia terlahirkan sewaktu injury time; semua telah terkatakan. Seiring dengan bergesernya posisi narator dalam sinema, yang tersisa hanyalah manusia dan jalan-jalan kosong; tanpa umbul-umbul, pekik yang serak dan lusuhnya kain bendera.
F. Taftazani
Sayang ya udah nggak ada lg sutradara se-spontan godard, truffaut dan anak2 new wave yg bandel2 itu..
cheers,
http://filmindonesia.blogsome.com/