Akhirnya pecinta film tanah air dapat bernapas lega karena 12th Jakarta International Film Festival (JIFFest) tetap dilaksanakan. Perhelatan JIFFest ke-12 ini memang terhadang masalah finansial, panitia kesulitan mengumpulkan dana dan sempat menggalang dana dari masyarakat lewat gerakan SaveJIFFest. Sempat terdengar isu jika dana yang terkumpul tetap tidak mencukupi maka pelaksanaan JIFFest akan diundur sampai tahun depan. Terimakasih untuk Nokia sebagai sponsor utama, paling tidak denyut nadi JIFFest dapat diselamatkan kali ini.
JIFFest digelar dari tanggal 25 November – 5 Desember 2010 dan memutar 91 film dari 33 negara. Venue acara dibagi dalam tiga tempat, Blitz Megaplex Pacific Place, Kineforum, dan Binus International University. Pendiri JIFFest, Shanty Harmayn dalam konfrensi pers Save Our JIFFest memang sempat menyatakan kemegahan JIFFest mungkin akan dikurangi sehubungan dengan minimnya dana. Jumlah film dan event memang dikurangi, tetapi kualitasnya tetap dipertahankan.
Film yang mendapat kehormatan untuk membuka layar JIFFest kali ini adalah Waiting For Superman, sebuah film dokumenter asal negeri Paman Sam yang memperlihatkan perjuangan anak-anak untuk mendapat pendidikan. Film ini dinilai cukup mewakili pelaksanaan JIFFest yang menghadapi ancaman serius akibat kurangnya dana. ‘Meskipun selalu dihadang hambatan, kami percaya bahwa festival ini harus terus diadakan untuk membuat kota Jakarta menjadi kota yang nyaman dan penuh dengan keragaman budaya’, ungkap co-director JIFFest Lalu Roisamri.
Beberapa film yang merajai Cannes 2010 turut diputar disini, diantaranya Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (Thailand) yang memenangkan Palme D’or, Biutiful (Spanyol/Meksiko) dimana Javier Berdem dinobatkan sebagai aktor terbaik, dan film dokumenter Armadillo (Denmark) yang meraih Critics Week Grand Prix. Film fantasi Scott Pilgrim vs The World diharapkan dapat mengulang kesuksesan (500) Days Of Summer yang diputar di JIFFest 2009.
Setiap tahun JIFFest menggelar Indonesian Feature Film Competition untuk memilih film Indonesia terbaik, sutradara terbaik dan film terfavorit. Adapun delapan film yang akan berkompetisi adalah 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (Benni Setiawan), Alangkah Lucunya Negeri Ini (Deddy Mizwar), Emak Ingin Naik Haji (Aditya Gumay), Minggu Pagi di Victoria Park (Lola Amaria), Rumah Dara (Mo Brothers), Sang Pemimpi (Riri Riza), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo), dan Tanah Air Beta (Ari Sihasale).
Mengambil tema “And JIFFest For All”, kali ini JIFFest terlihat begitu muram. Jika tahun lalu lagu Sweet Disposition yang dijadikan theme official trailer JIFFest ke-11 berhasil menghentak semangat penonton dalam euforia JIFFest, maka tahun ini official trailer JIFFest yang hanya ditemani ilustrasi musik terasa begitu suram dan sedih. JIFFest bahkan tidak memanfaatkan Twitter secara maksimal sebagai media promosi dan perbincangan dengan followersnya. Sangat disayangkan, apalagi jika mengingat INAFFF yang berhasil menciptakan euforia tersendiri sehingga followersnya begitu bersemangat untuk menyambut festival film fantasi ini.
Pelaksanaan JIFFest 2010 memang terlihat sangat terseok. Blitz Megaplex Pacific Place sebagai main venue hanya membuka dua layar saja untuk public screening dan studio yang digunakan pun tidak terlalu besar. Kineforum sebagai tempat alternatif pemutaran film hanya memiliki satu studio dengan kapasitas 45 kursi saja dan Binus International University hanya difungsikan untuk kegiatan workshop dan seminar. Semua tiket pemutaran film di Blitz dijual seharga Rp. 25. 000 dan cukup donasi Rp. 10.000 untuk screening di Kineforum. Khusus untuk film Indonesia yang masuk dalam Indonesian Feature Film Competition diputar secara free screening.
Saat pelaksanaannya, beberapa rundown acara terlihat berantakan. Contohnya saat pemutaran The Blue Mansion yang dihadiri oleh sutradaranya Glen Goei. Karena panitia yang kurang sigap, akhirnya penonton banyak yang meninggalkan studio sebelum sesi tanya-jawab dimulai. Pintu studio seringkali belum dibuka walau beberapa menit lagi film segera dimulai. Setelah masuk dalam studio pun penonton masih harus menunggu film diputar dengan rangkaian iklan promosi dan official trailer JIFFest 2010, kemudian ‘bleb’ lampu menyala kembali karena panitia belum memberikan sambutannya, setelah itu lampu diredupkan kembali dan akhirnya film diputar. Minimal dibutuhkan waktu 15 menit untuk semua ‘pernak-pernik’ ini sebelum penonton dapat menikmati film yang diputar. Tentu pentonton tidak keberatan dengan semua itu asalkan film tetap diputar sesuai dengan jadwal yang tertera.
Kendala teknis juga terlihat saat pemutaran film. Premier Belkibolang harus mengalami musibah gambar macet di beberapa scene, bahkan saat pemutaran Sang Pencerah film mendadak terhenti dan lampu studio kembali dinyalakan. Lucunya, dua dari tiga film yang diputar dalam Indonesian Feature Film Competition tidak menyertakan subtitle dalam bahasa Inggris. Mengingat ini adalah festival film bertaraf internasional dan juri yang menilai pun bukanlah orang Indonesia, rasanya setiap film Indonesia yang diputar perlu menyertakan subtitle. Terlepas dari siapa yang bertanggung jawab untuk insiden-insiden tersebut, rasanya kesalahan seperti ini harusnya sudah dapat diminimalisir. Terlebih jika mengingat JIFFest sudah memasuki tahun pelaksanaannya yang ke-12.
Walau JIFFest mulai mengalami kendala dana sejak tahun 2009 dan hanya membuka empat layar di Blitz Megaplex Grand Indonesia namun kemegahan dan semangatnya masih terasa. Tahun lalu semangat JIFFest terlihat jelas oleh antusiasme pengunjung untuk menonton sebanyak-banyaknya film berkualitas yang tidak mungkin diputar di bioskop lokal, apalagi tahun kemarin beberapa film dokumenter dan film dari Asia Tenggara ikut diputar secara free screening. Euforia bercampur semangat kompetisi begitu terasa di atmosfir Blitz Megaplex Grand Indonesia.
Mungkin, daripada memilih Kineforum sebagai tempat alternatif pemutaran film, JIFFest bisa memilih beberapa kedutaan besar yang turut bekerja sama. Mereka pasti memiliki aula dengan kapasitas yang lebih besar sehingga pengunjung tidak perlu takut kehabisan tiket dan tidak sia-sia datang ke venue acara. Media promosi pun tidak perlu mengandalkan publisitas dengan biaya super mahal, twitter dapat menjadi sarana promosi yang tidak kalah hebatnya jika digunakan secara maksimal.
Publik pasti maklum jika pelaksanaan JIFFest kali ini diadakan dengan skala yang lebih kecil. Publik pun bersedia membeli tiket dengan harga normal dan mengerti jika pemutaran free screening tidak dapat diadakan sebanyak tahun sebelumnya. Hanya saja publik kecewa dengan ikut hilangnya semangat dan euforia yang selalu menyertai JIFFest. Bukankah JIFFest bisa terus ada karena publik yang selalu mendukungnya?
‘Mari kita buat festival tahun ini menjadi festival yang paling berkesan!’
Ah, rasanya harapan co-directors JIFFest Lalu Roisamri ini sulit untuk diwujudkan. JIFFest kali ini terlalu tidak berkesan untuk menjadi yang paling berkesan.
So, see you in JIFFest 2011?
Well, Semoga penyelenggara mampu lebih lagi berbenah, untuk terus memperbaiki dan menyelenggarakan event Festival film berkelas dunia.
Oleh: Rossa Indah Kurnia Matari