Dead Time (2007)
102 min|Crime, Fantasy, Horror|19 Apr 2007
7.0Rating: 7.0 / 10 from 1,121 usersMetascore: N/A
A jaded cop. A narcoleptic journalist. A nation divided. A Fantasy you'd wish never come true.

Film karya Joko Anwar ini menawarkan sesuatu yang berbeda dibandingkan film-film kita lainnya. Film ini memiliki karakter tema dan estetik bergaya film noir dan dibumbui dengan sedikit unsur horor. Cerita film diawali seorang detektif bernama Eros (Ario Bayu) dan seorang jurnalis bernama Janus (Fachri Albar) yang secara terpisah menyelidiki kematian lima laki-laki yang tewas mengenaskan. Dikisahkan Janus adalah seorang penderita narkolepsi (mendadak pingsan jika merasa tertekan) yang diambang perceraian dengan istrinya, Sari (Shanty). Suatu ketika dalam penyelidikannya Janus tanpa sengaja merekam pembicaraan misterius istri dari seorang lelaki yang tewas. Tidak seberapa lama wanita tersebut tewas mengenaskan di depan mata Janus. Setiap kali orang lain mengetahui pembicaraan tersebut, orang tersebut juga tewas mengenaskan dibunuh sosok misterius. Penyelidikan kemudian mengarah kepada seorang wanita muda bernama Ranti (Fahrani) yang memiliki hubungan dengan orang-orang yang tewas sebelumnya. Janus dan Eros lebih jauh ternyata terlibat pada pencarian sebuah harta karun terpendam yang juga melibatkan sekelompok orang-orang pemerintah.

Secara tema Kala mengusung cerita penuh misteri. Namun tidak seperti film noir lazimnya, alur ceritanya terlalu sederhana dan mudah ditebak sekalipun kesimpulan cerita disajikan pada akhir filmnya. Nuansa misteri serta intrik tidak mampu dibangun dengan rapi dan matang. Tokoh-tokohnya sejak awal cerita tidak beranjak dari orang-orang yang sama dan kemunculan tokoh-tokoh baru pun mudah untuk diduga. Informasi baru yang diharapkan mampu “membingungkan” penontonnya justru langsung terjawab begitu saja tak lama setelahnya. Misteri sekaligus kunci jawaban lebih banyak terlontar dari dialog ketimbang bahasa visual. Hal inilah yang menjadi kelemahan utama film ini. Munculnya femme fatale (Sari) juga hanya tempelan belaka tanpa intrik berkepanjangan serta motif yang jelas. Aneh, untuk apa Sari menanyakan motif lokasi tersebut jika sejak awal ia hanya menginginkan uang. Beberapa hal juga tampak belum jelas seperti bagaimana kutukan ini bermula dan darimana asalnya makhluk gaib serta data-data mengenai harta karun yang tersedia begitu lengkap di perpustakaan.

Baca Juga  Under The Tree, Tiga Kisah dalam Satu “Pohon”

Terlepas dari kelemahan dari segi cerita, pencapaian estetik film ini patut mendapatkan pujian. Karakteristik film noir begitu kental terutama terutama dari aspek tata cahaya serta pemilihan set. Penggunaan area gelap-terang (low-key lighting) tampak sangat dominan dan kombinasi dengan set bangunan kolonial semakin menambah nuansa misteri serta mistis film ini. Amat disayangkan potensi set yang sedemikian megah tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk efek bayangan. Penggunaan asap rokok digunakan cukup baik dalam banyak adegannya walau terkadang agak berlebihan. Dari sisi sinematografi, penggunaan low-angle serta high-angle yang menjadi satu ciri film noir juga seringkali digunakan dengan pas. Sayang sekali memang, pencapaian estetik yang demikian baik tidak didukung cerita yang matang. Setidaknya Kala telah memberi warna yang berbeda pada film-film produksi kita. Satu hal lagi, Kala juga sarat dengan pertanda munculnya sosok Ratu Adil di akhir jaman. Terlalu naif rasanya jika lantas sosok sang penidur adalah orang yang “suka tidur” (narkolepsi) serta sosok Ratu Adil adalah laki-laki “wanita” (homoseksual).

Artikel SebelumnyaOpera Jawa Memang Beda
Artikel BerikutnyaThe Maltese Falcon, Pelopor Film Noir
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.