Javanese Opera (2006)
120 min|Drama, Musical|16 Jan 2008
6.2Rating: 6.2 / 10 from 443 usersMetascore: N/A
The story of the performer of Javanese Ramayana human wayang. They are the spouses who lives in a village by selling earthenware products. Conflicts arrived as the husband is going bankrupt and the wife start to looking for anothe...

Boleh jadi film Opera Jawa (2006) karya Garin Nugroho kurang sukses di negeri sendiri namun justru mampu meraih penghargaan di beberapa ajang Festival Film Internasional. Salah satu prestasi yang paling sukses adalah dalam ajang Hong Kong Film Festival, Opera Jawa mendapatkan penghargaan untuk ilustrasi musik terbaik serta nominasi untuk film terbaik. Kisah Opera Jawa mengambil inspirasi dari salah satu segmen kisah Ramayana, yakni “Penculikan Sinta”. Seperti judulnya, seluruh dialog disajikan dalam bentuk “musikal” atau lebih tepatnya tembang. Filmnya berkisah tentang Siti (Artika Sari Devi), seorang penari cantik yang dipersunting pengusaha tembikar bernama Setio (Martinus Miroto). Kehidupan perkawinan mereka berjalan langgeng namun ketika situasi dagang semakin sulit, Siti mulai merasa dijauhi suaminya. Anak pengusaha kaya, Ludiro (Eko Supriyanto) yang sejak dulu menyukai Siti mulai mencoba merayunya.

Satu hal yang menjadi nilai lebih Opera Jawa adalah perpaduan antara berbagai seni seperti, seni tari, seni pertunjukan, seni musik, seni instalasi, seni rupa, dan seni sinematografi. Film ini banyak berisi musik dan tarian tradisional maupun kontemporer. Nuansa jawa begitu kental dalam setting, ilustrasi musik, serta penggunaan bahasa Jawa dalam “dialog”nya. Falsafah Jawa sangat terasa melalui tempo filmnya yang lambat. Pada adegan ramai-ramainya (perang) justru tempo semakin melambat, digambarkan dengan alunan gamelan Jawa yang mengiringi tari Bedoyo. Seni instalasi menjadi latar abstrak yang sangat mengesankan seperti labirin kelapa, patung dan lilin merah, ratusan lilin dalam ruangan, televisi batu, bentangan kain merah, serta tenda kain pada akhir adegan. Opera Jawa penuh dengan simbol-simbol visual yang kuat namun tidak sulit untuk kita cerna, yaitu dalam adegan asmara antara Siti dan Setio di kamar tidur, pada waktu sang suami menutup wajahnya dengan kaos, Ludiro yang merayu Siti di ruang penuh “lilin” maupun di rumahnya (adegan kain merah), Ludiro yang ingin kembali ke rahim ibunya, serta adegan Setio membunuh Siti. Terakhir, para pemain juga bermain sangat baik, terutama Eko Supriyanto yang mampu menarik perhatian melalui gerak tubuhnya yang lentur.

Baca Juga  Malam Satu Suro, Suzanna dan Tradisi Horor Lokal

Beberapa hal yang menjadi kelemahan film ini justru terdapat pada keunikannya. Penggunaan beberapa seni instalasi dengan karakter yang berbeda membuat film ini seperti kehilangan totalitas. Tampak tidak ada ikatan “visual” yang kuat antar adegannya sehingga membuat satu adegan dengan adegan lain seolah terpisah. Film menjadi lebih enak dinikmati dan diikuti adegan per adegan ketimbang menyeluruh. Penggunaan dialog Jawa (krama) juga menjadi masalah tersendiri. Entah mengapa pada adegan ber”dialog” menjadi sulit untuk dinikmati, karena setiap saat mata kita harus melihat teks terjemahannya. Penggunaan tembang yang temponya lambat senantiasa membuat kita menunggu teksnya. Orang yang memahami bahasa Jawa mungkin bisa menikmati film ini lebih baik. Di luar hal-hal tersebut pencapaian artistik yang dicapai Opera Jawa patutlah kita puji. Garin terbukti telah membawa nama bangsa kita di bidang seni film menuju ke level yang lebih tinggi. Sejauh ini Opera Jawa menurut penulis adalah film terbaik produksi kita dalam satu dekade terakhir.

Artikel SebelumnyaNagabonar Versus Nagabonar Jadi 2
Artikel BerikutnyaKala, Film Noir yang Tanggung
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.