Seorang wanita muda berjalan kaki menuju rumah pedesaan yang sudah miring dan bernostalgia dengan masa kecilnya saat rumah tersebut masih berdiri kokoh. Ia kembali mengingat keramaian rumah sederhana tersebut kala keluarganya masih utuh bersama sang ayah. Umur sang ayah ternyata tak sepanjang nasehat-nasehatnya, dan keseharian bertumpu pada sang ibu. Lika liku sang ibu, Hartini, sebagai tulang punggung keluarga dengan bekerja memecah batu, semata agar ingin anak-anaknya, Banyu, Gendis, dan Satrio sukses, terlebih mereka tergolong pintar, berprestasi, dan punya cita-cita tinggi.
Realistis dan sederhana. Ibu Maafkan Aku mampu menorehkan kesan demikian, sebab film ini mengemas kisah pergulatan seorang ibu dalam sebuah keluarga yang tidak dibuat-buat. Kita semua bisa merasakan sisi realistik tersebut. Keunggulan film ini terletak pada dramatisasi yang tidak berlebihan, sepertinya sang sineas memang menitikberatkan cerita pada nilai-nilai moral tersebut. Sempat dinominasikan sebagai aktris utama terbaik pada ajang FFI 2016, akting Christine Hakim menjadi pelengkap nyata sosok seorang ibu. Hanya saja, film drama keluarga dalam perfilman Indonesia sudah jamak, sehingga terkadang kita sudah bisa menebak jalan ceritanya. Film juga diakhiri menggantung tanpa kelanjutan tokoh Gendis yang bernostalgia seperti pada pembukaan film. Tidak diketahui sudut pandang penceritaan yang jelas, apakah dari tokoh Gendis, Ibu, atau tokoh Pakde.
Selain kesan sederhana, secara teknis, film “Ibu Maafkan Aku” terbilang mapan. Baik dari segi sinematografi, ilustrasi musik, hingga pemilihan pemain. Aktris senior Christine Hakim yang telah melegenda, mampu membangun chemistry dengan aktor-aktor muda yang belum terlalu dikenal publik dan mampu mengangkat kemampuan akting mereka. Sayangnya kelemahan film justru ada pada sisi artistik yang tidak mendetil. Pada adegan tokoh Gendis dan Banyu di sekolah, teman-teman sekolahnya ada yang mengenakan sepatu Nike yang sedang tren tahun 2015-2016 padahal kisah tersebut kira-kira terjadi pada tahun 1998-1999. Saat adegan Banyu tengah Jatilan dan ditonton penduduk desa, baju para penduduk juga tidak relevan dengan penunjuk waktunya. Penunjuk waktu yang dimaksud adalah foto Presiden Indonesia yang berganti-ganti, antara akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Kemudian baju atau wardrobe para pemain terlihat mencolok di antara para figuran dan berkesan seperti baru saja dibeli kemarin sore. Tetapi di luar kelemahan artistiknya, film ini sudah cukup mapan untuk menyampaikan cerita.
WATCH TRAILER