Bagi mereka yang besar di tahun 1990-an, tentunya sudah familiar dengan drama seri Keluarga Cemara. Salah satu sinetron popular kala itu yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Arswendo Atmowiloto. Setelah kurang lebih 20 tahun lamanya, akhirnya Keluarga Cemara hadir ke layar lebar. Sebagai sutradara, Yandy Laurens didapuk untuk mengarahkan para pemain, seperti Ringgo Agus Rahman (Abah), Nirina Zubir (Emak), Zara JKT48 (Euis) dan Widuri Putri (Ara). Tidak banyak yang berubah dari versi aslinya, plot cerita kurang lebih sama, beberapa hal ikonik di versi sinetronnya, seperti opak dan soundtrack lagunya masih dihadirkan dalam film ini, hanya saja yang membedakan adalah latar cerita yang lebih disesuaikan dengan masa sekarang.
Film dimulai langsung pada konflik pemicu keluarga ini, saat mengalami kebangkrutan. Abah (tanpa sepengetahuan) harus terlilit masalah hutang dengan salah seorang rentenir yang berakibat pada runtuhnya perusahaan yang dibangunnya, rumahnya disita dan semua hartanya lenyap hanya dalam waktu semalam. Keluarga ini pun harus mengungsi ke rumah warisan orang tua mereka di daerah pedalaman bogor. Hal ini, menuntut mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan yang sama sekali berbeda. Dari yang sebelumnya hidup serba tercukupi menjadi serba pas-pasan ditambah lagi dengan lingkungan masyarakat di daerah yang tentunya sangat berbeda dengan di Jakarta. Beragam masalah pun silih berganti menghampiri keluarga ini dalam petualangan mereka di kehidupan yang baru.
Haru biru. Itulah yang pertama kali terbesit jika kita ingin menerka bagaimana jalan cerita film ini. Beberapa teman yang sudah menonton film ini pun sempat menyarankan untuk membeli tisu sebelum ke bioskop. Ternyata memang benar, konflik demi konflik tiada hentinya terus menerus membombardir di sepanjang film. Mulai dari abah kecelakaan kerja yang mengharuskan Euis dan Emak berjualan opak, konflik Euis dan teman temannya, Masalah pribadi Abah dengan rasa bersalahnya, bahkan hingga di penghujung film pun, konflik kecil Ara sempat muncul sebagai penutup film. Beberapa momen dramatik terasa menyentuh, chemistry mereka sebagai keluarga muncul dengan baik, cuma masalahnya solusi yang ditawarkan di setiap konfliknya terkesan terlalu mudah. Intinya saling memaafkan ataupun mengikhlaskan satu sama lain. Sebenarnya ini tidak masalah dan justru menjadi pesan yang baik, sayangnya porsi konflik yang terlalu banyak membuat kita merasa jenuh, dan plot cerita jad menjadi terlalu mudah untuk ditebak. Bumbu humor juga cukup dominan kita jumpai di film ini. Kehadiran Asri Welas, Abdurrahman Arif, bahkan Rinngo sendiri pun dengan baik membawakan unsur komedi di sepanjang film. Hanya saja, terkadang terasa agak janggal ketika lelucon muncul di momen yang kurang tepat.
Akting seluruh pemainya cukup baik, chemistry antara Abah, Emak, Euis, dan Ara terjalin dengan baik. Selain itu dialog yang simple tak terkesan berlebihan juga sangat mendukung setiap karakter di film ini. Alunan soundtrack manis sepanjang filmnya pun menjadi nilai plus tersendiri. Terlebih ketika soundtrack ikonik keluarga cemara mengalun manis menjelang akhir film.
Selain semua yang telah saya bahas, ada satu hal yang sedikit mengganggu di film ini, yaitu ketika munculnya brand salah satu transportasi online. Memang secara naratif hal tersebut bisa jadi masuk akal karena salah satu mata pencaharian abah adalah sebagai driver transportasi online. Hanya saja di beberapa adegan terasa kurang pas dan cenderung dipaksakan.
Keluarga Cemara adalah sebuah film yang sarat akan nilai-nilai keluarga. Bukan hanya dalam lingkup kecil keluarga, tetapi lebih luas lagi masyarakat yang berkehidupan dengan menjujung tinggi nilai kekeluargaan. Bagi para penggemar Keluarga Cemara, film ini tentunya mampu membawa penggemarnya untuk kembali bernostalgia dengan Abah dan keluarganya. Namun, bagi mereka yang berharap lebih, film ini tidak lebih baik dari versi sinetronnya.
WATCH TRAILER