Sutradara: Asep Kusdinar
Produser: Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo
Pemain: Dimas Anggara, Michelle Ziudith, Adila Fitri, Dion Wiyoko, Ramzi
Penulis Skenario: Tisa TS, Sukhdev Singh
Rumah Produksi: Screenplay Production
Tanggal Rilis: 4 Februari 2016
Durasi: 90 menit

London Love Story diangkat dari novel karangan Tisa Ts dengan judul sama. Kisah percintaan remaja dengan setting yang memperlihatkan keindahan kota yang jauh dari negeri sendiri ternyata masih digemari penonton. Hal ini terbukti dengan membludaknya penonton pada hari pertama rilisnya hingga pekan pertama.

Cinta bukanlah cinta jika menyerah… Kisah cinta yang begitu emosional ini dimulai ketika Dave (Dimas Anggara) belum bisa melupakan gadis yang ia cintai meskipun ia telah menikmati kehidupannya yang penuh dengan kesenangan di kota London untuk melanjutkan kuliah. Suatu malam Dave bertemu dengan Adele (Adila Fitri) yang hendak bunuh diri karena kegagalan cintanya. Mereka pun menjadi semakin dekat dan tumbuhlah perasaan suka Adele kepada Dave. Di sisi lain, teman dekat Adele yakni Bima (Dion Wiyoko) berusaha mengejar pujaan hatinya, Caramel (Michelle Ziudith) yang ternyata belum bisa move on dari cinta lamanya. Kisah romantis penuh tangis pun dimulai demi mengetahui siapa sebenarnya cinta sejati dua pujaan hati ini.

Film ini mengunggulkan romantisme yang salah satunya terukir melalui dialognya. Dialog yang romantis ini mungkin saja memang mampu membuat penikmatnya merasa terhanyut dan terbawa perasaan jika dibaca melalui novelnya. Tetapi sayangnya, keindahan kata-kata tersebut tidak mampu disajikan dengan baik melalui filmnya sehingga justru tampak seperti kata-kata gombal murahan belaka. Berbagai faktor yang mempengaruhi kegagalan romantisme tersebut. Pertama, akting dari para pemain yang belum cukup baik. Untuk melakukan adegan seperti bercanda dan bermanja-manja, dua pemeran utama, Dimas Anggara dan Michelle Ziudith sudah cukup baik membawakannya, namun ketika mereka mengucapkan dialog yang romantis – yang seharusnya membuat penonton terbawa perasaan – mereka tampak kaku atau setidaknya terlihat sekali bahwa tidak terbiasa mengucapkan kata-kata manis tingkat tinggi seperti itu. Dalam mengungkapkan perasaan dan alasannya tentang hubungan percintaan yang menjadi topik utama cerita, aktor dan aktris pun tidak bisa menampilkannya secara natural. Ada pemeran yang membawakannya dengan akting yang berlebihan dan ada pemeran lain yang membawakannya dengan kurang pendalaman sehingga tampak kaku. Begitu juga dengan adegan-adegan yang seharusnya ditampilkan dengan maksimal untuk menggambarkan begitu sempurnanya sosok Caramel sebagai perempuan pujaan hati. Tidak maksimalnya adegan-adegan ini tampak seperti proses pembuatan film yang ‘asal jadi’ saja. Kehadiran Dion Wiyoko yang diunggulkan pun tidak memberikan kontribusi yang penting. Untung saja, kehadiran Ramzi mampu memberikan hiburan selain karena karakternya yang memang memberikan sentuhan humor, aktingnya memang cukup baik berkaitan juga dengan pengalamannya yang lebih banyak dibandingkan dengan pemeran-pemeran lain.

Baca Juga  Mengejar Embun ke Eropa

Lagu Percayalah yang dinyanyikan oleh Afgan Syahreza dan Raisa yang menjadi soundtrack adalah salah satu daya jual film ini. Lagu ini memiliki peran penting dalam filmnya. Selain diputar berulang-kali, terdapat adegan dimana dua pemeran utama juga menyanyikan lagu ini namun sekalipun begitu tidak mampu membangkitkan mood film. Selain lagu tema yang menjadi unggulan, formula yang tampak sekali menjadi daya jual adalah setting. Setelah kehadiran beberapa film Indonesia sebelumnya mengumbar keindahan kota-kota wisata luar negeri yang begitu cantik, London Love Story tampaknya mencoba menyeimbangkan porsi tampilan setting dengan menyajikan juga keindahan Pulau Dewata. Tetapi, banyaknya porsi sajian keindahan kota justru mengganggu karena terdapat insert yang berulang kali disuguhkan tanpa adanya relevansi dengan adegan dan jalan cerita sehingga terkesan hanya tempelan saja.

Mengangkat novel laris dengan menggunakan setting yang menjual mimpi, kemewahan serta kehidupan hedonis, masih menjadi strategi utama kebanyakan film Indonesia belakangan ini. Tetapi, kenikmatan visual yang ditampilkan termasuk keunggulan fisik para pemeran hanya membuat penonton (setidaknya penulis) merasa sangat lelah mengikuti cerita yang berdurasi 90 menit karena adanya kelemahan di berbagai aspek. Kalau boleh jujur, meskipun tampak pesimis, film Indonesia belum bisa menyajikan adegan-adegan romantis nan dramatis seperti yang terdapat film-film Korea.

Watch Video Trailer

Artikel SebelumnyaPride and Prejudice and Zombies
Artikel BerikutnyaDeadpool
Menonton film sebagai sumber semangat dan hiburan. Mendalami ilmu sosial dan politik dan tertarik pada isu perempuan serta hak asasi manusia. Saat ini telah menyelesaikan studi magisternya dan menjadi akademisi ilmu komunikasi di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.