Sebagai seorang backpacker ada 2 hal utama yang paling ditakuti, yang pertama adalah sakit, siapa yang nyaman menikmati indahnya suatu negara jika kita merasakan sakit?, semua serba terasa hampa, tanpa arti. Yang ke dua tentu saja jika dalam perjalanan kita dirampok atau barang-barang kita dicuri orang. Kebayang bagaimana kalutnya jika berada di negara yang baru pertama kali kita datangi dan tiba-tiba saja uang, passport, dan benda penting lainnya dirampok, untung saja nyawa kita tidak ikut raib. Bisa jadi kasus seperti ini sering menimpa para backpacker, apalagi jika kejahatan tersebut terorganisir, layaknya mafia di Italia ala film Godfather atau kelompok elit yang gemar menyiksa manusia seperti dalam film Hostel. Apa jadinya?
Nah, perjalanan saya kali ini dari kota Jenewa menuju kota Novara Italia yang dikenal dunia melalui ketangguhan sepak bolanya dan sebagai kiblat mode di kota Milan, tapi juga tak akan dilupakan orang sebagai sarangnya mafia. Siapa yang akan menyangkal jika mafia-mafia sejenis Don Corleone dulunya banyak terdapat di Sisilia?, itulah yang mendasari Mario Puzo menciptakan masterpiece-nya. Uniknya jika diperhatikan bentuk Negara Italia dalam peta dunia bagaikan sebuah sepatu yang akan menendang pulau Sisilia, bak sebuah pulau buangan yang ingin di tendangnya jauh-jauh.
Adalah Leonard, Pria paruh baya yang saya temui di dalam pemberhentian di sebuah centrum, masih di bibir garis kota Swiss dekat Italia. Pria klimis yang dengan senang hati membagi kisahnya tentang mafia, yang baginya bagaikan sebuah kisah dengan dua sisi, tentu saja hal ini bagi pemerintah Italia harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, namun menurut pria itu mafia sekarang ini tidaklah seperti mafia-mafia jaman dahulu yang dengan brutal membunuh sana-sini atau saling berkelahi berebut kekuasaan. Boleh dibilang era mafia dewasa ini di Italia sudah lebih profesional. Mereka menguasai jaringan peredaran narkotika yang bukan hanya di Italia namun juga lintas negara. Tidak heran bila Leonard dengan satire-nya mengatakan jika saja mafia Italia memberikan pajak kepada negara atas usaha yang mereka kelola, maka dipastikan pajak yang mereka berikan jauh lebih besar dari pajak yang disetor oleh perusahaan-perusahaan berkembang atau maju di Italia sana, hal ini menggambarkan betapa usaha gelap yang dilakoni mafia setempat sudah sedemikian kuatnya. Yang menarik adalah di kota asalnya, Cagliari dan beberapa kota lainnya, tidak sedikit masyarakat sekitar yang berempati lantaran banyak yang telah diberikan oleh para mafia itu untuk kesejahteraan kaum marginal di kota tersebut.
Bagi saya pribadi istilah kelompok-kelompok yang mengorganisir gerakan “kiri” seperti itu memang erat nuansanya dengan negara-negara lain selain Italia, yaitu Cina yang terkenal akan gangsternya, atau jepang akan yakuza-nya, dan masih belum lepas dalam ingatan saya, betapa trilogi Infernal Affairs yang dilakoni Tony Leung dan Andy Lau masih menyimpan chemistry yang begitu kuat, berbeda rasanya ketika Hollywood menterjemahkan film tersebut dalam The Departed. Amerika yang tidak memiliki kultur khas ala kelompok yang terorganisir macam itu (hanya kasus east coast kontra west coast saja), akhirnya gagal total mengadaptasi cerita tersebut. Saya sampai tidak merasakan bagaimana “kengerian” yang dialami Tony Leung ketika harus berlakon menjadi bagian dari anggota para gangster, sementara ia juga mata-mata pihak kepolisian, walhasil Leonardo di Caprio serasa kalah level jauh dibandingkan kesuksesan peran yang dicapai oleh Tony Leung yang banyak diganjar penghargaan pada festival-festival dunia atas perannya tersebut.
Film Korea rupanya juga tidak kalah dalam mengupas kehidupan para gangster negaranya dengan kemasan yang jauh dari kesan “gelap”. Ambilah judul My Wife is Gangster yang kini sampai pada sekuel ke tiganya, dan lagi-lagi Hollywoodian pun tak luput mencoba mengadaptasi cerita tersebut, entah apakah akan berjudul sama atau tidak, sampai saat ini saya belum mendengar reveal dari pihak bersangkutan mengenai adaptasi film tersebut.
Jika perbincangan ini kita alihkan ke film Indonesia, yaitu tentang aksi para gangster yang diangkat dalam film oleh para sineas kita, ambil contoh Gerbang 13 atau Bad Wolves, entah mengapa hal ini masih lebih baik daripada film-film horor kita yang sudah over supplied. Bukan bermaksud mengecilkan mutu film gangster tersebut, hanya saja eksplorasi yang dilakukan masih sangat dangkal, tidak lebih baik daripada film Heart sekalipun saya memberi rating tiga dari lima bintang. Apa pasal? Ya… bisa jadi karena pola cerita dan bertuturnya benar-benar tidak masuk akal dengan realita masyarakat sebenarnya (gangster bermobil yang menghujani peluru sana-sini di keramaian). Bukan saya menutup adanya berbagai kemungkinan aspek dan mempersempit ruang imaji, hanya saja kita berbicara pada masalah kelayakan dan wacana realita, bukankah film merupakan refleksi budaya suatu negara?
Berpisah dalam setiap petualangan dengan orang-orang yang kita temui merupakan hal bluesy setiap kali kita merasa cocok dan nyaman pada mereka, tidak heran acap kali kita pun menutup pertemuan itu se elegan dan semanis mungkin agar kelak bukan cuma saya namun orang yang saya temui pun memiliki kesan yang serupa, impressif.
Bagi saya perpisahan dengan Leonard yang masih sempat bertanya akan rasa penasarannya pada mafia atau gangster di Indonesia, membuat kening saya berkerut, bukan karena ingin menutup perpisahan hari itu se-elegan mungkin dengan jawaban yang mengena, namun merasa dilematis dalam menjawab.
“Kami juga memiliki mafia yang sangat membudaya dan kuat akarnya, hanya sayangnya sineas kami masih menerjemahkan esensi mafia pada sudut pandang brutal, anarkis, dan baku tembak. Karena sejatinya mafia di negara kami adalah mafia peradilan, mafia hutan, mafia hasil tambang, dan kami menyebutnya mafia berkerah putih, bukankah patologi semacam itu juga digolongkan mafia?”
“Au Revoir” saya melambai meninggalkan Leonard dan kota Jenewa.
Andre Budiman