Film yang disutradarai oleh Olla Atta Adonara bergenre biografi ini mengisahkan sosok bernama Walidah (Nyai Ahmad Dahlan) dari masa ke masa. Tokoh ini adalah istri dari Ahmad Dahlan, pendiri dari Muhammadiyah. Kisah hidupnya dimulai dari ia remaja sekitar tahun 1890 dengan latar kisah di Kauman, Yogyakarta. Walidah (Tika Bravani) adalah anak seorang Kyai terhormat dan berpengaruh pada masanya. Ia sangatlah pandai mengaji dan mengajar. Kepedulian terhadap lingkungan pun sudah tampak sejak ia kecil. Ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan seorang Kyai bernama Darwis atau yang kita kenal sebagai Ahmad Dahlan. Bersama sang suami, Walidah membuat gerakan-gerakan yang nantinya berkembang menjadi organisasi Muhammadiyah serta Aisyiyah sebagai perserikatan perempuan.

Kelemahan utama plot filmnya terletak pada cerita filmnya yang datar dan tanpa konflik berarti sehingga momen demi momen berjalan membosankan. Apa yang disajikan sang sineas adalah cuplikan peristiwa singkat yang kronologis mengikuti perjalanan hidup sang tokoh tanpa ada kedalaman cerita dan bumbu dramatik yang kuat. Terlebih peristiwa ini hanya didominasi penggunaan setting yang berada di seputar kediaman sang tokoh. Sang sineas memang boleh-boleh saja mengakali sulitnya mengemas artistik era tersebut dengan lebih banyak menggunakan adegan interior, namun setidaknya mampu memaksimalkannya untuk membuat cerita lebih hidup dan menarik. Tempo film yang sudah lambat ditambah pula oleh dialog-dialognya yang cenderung menceramahi.

Latar utama masalah seperti penjajahan dan isu kesetaraan gender hanya disampaikan secara verbal, tanpa adanya visualisasi adegan yang berarti sehingga tak bisa kita rasakan menjadi persoalan serius pada masa tersebut. Padahal masalah-masalah tersebut menjadi motif penggerak alur cerita. Sebagai film biografi sendiri, film ini belum mampu menampakkan sang tokoh sebagai sosok besar dan berpengaruh yang notabene bergelar pahlawan nasional. Sebagai contoh saja film Tjoet Nja’ Dhien (1988) yang mampu menggambarkan peran kuncinya sebagai sosok pahlawan perempuan dalam perjuangannya melawan Belanda.

Baca Juga  Surat Cinta Untuk Kartini

Secara teknis tidak banyak masalah, namun kejanggalan paling menonjol tampak pada make-up karakter yang terlihat relatif sama dari waktu ke waktu. Walaupun secara teknis pengambilan gambar sudah mapan dengan ilustrasi musik yang juga sudah baik, namun dengan konten yang digarap kurang matang, pencapaiannya estetiknya menjadi sia-sia. Riset tentu menjadi hal utama dalam film bergenre biografi dalam pembuatan konsepnya, sehingga pengolahan plot serta interpretasi visual bisa menjadi lebih matang. Film biografi tidak hanya menyajikan fakta tentang kisah perjalanan hidup sang tokoh saja, namun bagaimana kisah hidup sang tokoh yang inspiratif memberikan pesan tentang nilai-nilai dan kehidupan, serta menyajikannya dengan menarik.
WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaBaby Driver
Artikel BerikutnyaGintama
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.