Ada sebuah film kecil, namun penting sedang tayang di bioskop. Judulnya Searching. Dari sebuah bacaan tentang di balik pembuatan filmnya, saya ketahui semula filmnya bakal diberi judul “search”. Dua kata itu sama-sama berarti mencari. Tapi secara gramatikal “searching” menandakan aktivitas pencarian sedang dilakukan, sedangkan “search” berarti kata kerja semata.

Menonton filmmya, tak heran kata “search” sempat dipilih jadi alternatif judul. Film debutan sutradara keturunan India-Amerika Aneesh Chaganty ini, bertutur lewat layar komputer di depan kita, penontonnya. Sepanjang durasi film yang kita lihat adalah layar desktop Windows, iMac, halaman hasil pencarian Google, Instagram, Facebook, Youtube, halaman web situs berita TV, hingga sebuah aplikasi media sosial berbagi video live. Di setiap situs, aplikasi web atau komputer, jamak terdapat kotak pencarian alias “search”. Mengetikkan kata kunci di kotak itu disebut “searching”.

Di film Searching, yang paling banyak diketik di kotak pencarian adalah “Margot Kim”. Margot (diperankan Michelle La) tak pulang ke rumah setelah terakhir kali mengabarkan sedang belajar kelompok di rumah teman pada ayahnya, David Kim (John Cho). Margot hilang. Apakah ia diculik? Atau, kabur dari rumah?

Ada dua hal penting untuk dibincangkan soal film Searching, format filmnya dan kandungan filmnya. Formatnya yang 100 persen menuturkan kisah lewat layar komputer. Ini bukan kali pertama dilakukan Hollywood, tentu. Muasalnya bisa ditelusuri hingga ke sub-genre mockumentary alias film dokumenter bohongan, kisah fiktif dituturkan sebagaimana lazimnya tayangan dokumenter. Contoh paling jenius dan jenaka untuk itu adalah This Is Spinal Tap (1984) karya Rob Reiner.

Menginjak dekade berikut lahir gaya baru, found footage alias cerita dituturkan dari hasil rekaman video. Film horor The Blair Witch Project (1999) dan Paranormal Activity (2007) jadi contoh jelas buat jenis ini. Belakangan, found footage dirasa klise. Sekuel-sekuel Paranormal Activity, misalnya, tak menawarkan kebaruan lagi seperti yang pertama.

Gaya Bertutur Web 2.0

Saat Internet bergerak menuju Web 2.0 yang ditandai pengguna aktif mencipta konten dan berinteraksi dengan pengguna lain maka tinggal menunggu waktu, ada sineas bertutur sesuai perkembangan era baru tersebut. Sekali lagi Searching bukan yang pertama. Film horor Unfriended, rilisan 2014, juga menuturkan cerita dari layar komputer. Sesosok hantu membalas dendam pada teman- teman sekolah yang dianggap bertanggung jawab atas kematiannya lewat sebuah chatting room video Skype.

Penerimaan kritikus pada Unfriended terbelah. Sebagian menyukai variasi inovasi teknisnya, sebagian lagi mengatakan horor yang dibangun sama saja dengan film jenis found footage lain. Yang jelas, film ini tampak kesulitan membangun suasana mencekam yang konstan selama 90 menit plus dengan mengandalkan layar computer sepenuhnya. Di sini, layar komputer membatasi gerak bertutur.

Searching tak menemukan kendala itu. Film ini lancar membangun cerita serta membelokkan kisah pada tikungan yang tak terduga selayaknya sebuah thriller yang dibuat dengan gaya konvensional. Seperti mengupas bawang, fakta dibuka selapis demi selapis. Penonton diaduk emosinya menebak siapa penjahat sebenarnya dan nasib Margot Kim sesungguhnya. Ketegangan serta kelokan cerita Searching, tak kalah dari Gone Girl (2014) bikinan David Fincher berdasar novel Gillian Flynn.

Baca Juga  Fenomena Dilan 1990, Film Roman Remaja Terlaris.

Emosi menjadi titik poin kedua yang jadi keunggulan film ini: pesannya. Searching dibuka dengan layar desktop Windows berisi momen-momen yang dibagi Keluarga David Kim. Mulai dari kelahiran Margot, masa kecilnya, ketika ia masuk sekolah, les piano, olahraga bareng istri, istri David kena kanker, istrinya dirawat, hingga akhirnya sang istri meninggal. Seperti kebanyakan orang zaman kita, semua momen itu—video, foto dan kalender—tersimpan di komputer. Oleh karena itu sejak awal filmnya terasa dekat dengan kita, penontonnya.

Momen pembuka Searching itu sedikit banyak juga mengingatkan pada pembuka film Up bikinan Pixar. Di Up, emosi penonton diaduk dengan kisah pembuka perjalanan cinta Ellie dan Carl dari kecil, menikah, hidup bahagia berdua, mimpi punya rumah di tepi terjun, sampai Ellie meninggal di usia tua. Pembuka Searching juga membuktikan, lewat kenangan-kenangan yang kita simpan di komputer maupun media sosial, setiap orang punya momen ala Up-nya masing-masing.

Pelajaran untuk Ayah (dan Calon Ayah)

Di luar pencapaian teknisnya, film ini jadi penting lantaran memberi penonton bahan untuk direnungkan usai nonton. Terutama mereka yang sudah berstatus orangtua atau yang hendak jadi calon ayah/ibu.

Setelah Margot hilang tanpa kabar, sang ayah, David Kim mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia yakin putrinya korban penculikan. David mengorek keterangan dari teman-teman Margot di Facebook-nya, mengulik unggahan foto sang putri di Instagram hingga mendapati putrinya sering curhat di sebuah aplikasi video online. Dari apa yang diketahuinya, sang putri bukan sosok yang dikenalnya selama ini meski mereka tinggal satu atap.

Margot ternyata sudah enam bulan tak ikut les piano walau selama itu pula ia terus minta iuran untuk les. Uangnya ia taruh di rekening pribadi. Di hari ia hilang, Margot diketahui menarik semua uang itu. Mobil yang ia kemudikan terekam kamera pergi keluar kota. Mendapati kenyataan itu, sang ayah bergumam sedih, “Saya ternyata tak mengenal putri saya.”

Film ini mengajak kita merenungkan pertanyaan, sampai di mana orangtua bisa mengontrol setiap aktivitas anaknya? Mungkinkah seorang ayah atau ibu bisa tahu sepenuhnya kepribadian anaknya yang tengah beranjak remaja di luar rumah?

Kita sering dengar ada orangtua tak percaya begitu mendapati anak mereka ikut tawuran, jadi pelaku cabul atau jadi radikal, karena sepengetahuan mereka di rumah anak-anak mereka berperilaku baik.

Detektif polisi (diperankan Debra Messing) yang menangani kasus Margot menasihati, “Itu bukan sepenuhnya salah Anda.”  Mungkin film ini benar. Kita takkan pernah tahu, dan itu bukan salah kita, orangtuanya. Yang salah adalah ketika kita, sebagai orangtua atau calon orangtua kelak, tak ada buat anak-anak kita ketika mereka membutuhkannya. Inilah pesan utama Searching buat saya. Di filmnya kita melihat orangtua melakukan apa saja demi sang anak, mencari anaknya yang hilang dan menghindarkan anaknya dari jerat hukum.

Artikel SebelumnyaRilis Bond 25 Bakal Mundur
Artikel BerikutnyaWiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.