212 Warrior (2018)
123 min|Action, Adventure, Comedy|30 Aug 2018
6.9Rating: 6.9 / 10 from 1,616 usersMetascore: N/A
Indonesia, the 16th century, Wiro Sableng, a disciple from a mysterious Warrior named Sinto Gendeng, got a mission from his Master to take down Mahesa Birawa, her former disciple who betrayed her.

Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan segala gegap gempitanya dan suntikan dana US$ 2 juta (sekitar 30 miliar) dari studio besar, Fox International Production, tentunya menjanjikan ekspektasi lebih, terlebih bagi penggemar sosok Wiro Sableng. Film ini diadaptasi dari seri novel populer Wiro Sableng karya Bastian Tito yang ditulis sejak tahun 1967 dan bahkan sudah diadaptasi menjadi serial TV pada era 1990-an. Filmnya sendiri digarap oleh Angga Dwimas Sasongko, dengan dibintangi sederetan pemain bintang, seperti Vino G. Bastian, Sherina Munaf, Marsha Timothy, Yayan Ruhian, Dwi Sasono, hingga Lukman Sardi. Tentu menjadi pertanyaan besar, dengan segala amunisinya ini, akankah film ini bisa menjanjikan sesuatu yang lebih dari kebanyakan film kita saat ini?

Alkisah, Wiro kecil diselamatkan sang guru, Sinto Gendeng, ketika kelompok Mahesa Birawa yang juga mantan muridnya membakar seluruh kampungnya. Dalam bimbingannya, Wiro dilatih menjadi seorang pendekar tangguh dengan berbekal kapak sakti yang bertuliskan angka 212. Sebelum turun gunung, Wiro mendapat perintah dari gurunya untuk membawa Mahesa Birawa kepadanya. Namun, dalam pencariannya, Wiro justru terlibat dalam suatu konflik kerajaan lokal, dan bertemu dengan para pendekar lainnya.

Begitu kisah berjalan hanya 10 menit saja, sudah tampak sajian filmnya ke depan bakal seperti apa. Bicara cerita, aduh, ini memang masih menjadi sisi lemah kebanyakan film kita, tak terkecuali film ini. Saya memang bukan pembaca setia seri novelnya, walau pernah membaca hanya satu dua kali, itu pun sudah lupa. Tak perlu membaca novelnya untuk bisa melihat kelemahan cerita filmnya. Pada segmen pembuka, semua terasa cepat dan memaksa. Banyak pertanyaan tak terjawab. Alur cerita berjalan begitu cepat hingga tak ada waktu untuk bisa masuk ke dalam karakternya. Semua tokohnya dikenalkan dengan tergesa. Hasilnya, semua tokoh bahkan pengadeganan serasa kehilangan roh. Tak jelas ini siapa? Itu siapa?  Satu dewi sakti datang memberi arahan, mengapa tidak ia saja habisi semua kekuatan gelap jika ia sakti? Saya bahkan tak bisa paham penjelasan sang guru soal makna angka 212. Tak pernah ada penjelasan yang cukup untuk segala hal. Lubang plot? Coba hitung saja sendiri jika menonton filmnya. Ini yang membuat menonton film ini begitu melelahkan.

Baca Juga  The Greatest Showman

Bicara soal pencapaian teknis, kurang lebih sama. Pemain bintang macam apapun tak kan bisa berkembang dengan capaian dialog macam itu. Semua terasa kaku dan janggal didengar telinga karena banyak dialog terasa kekinian. Jelas ini tak masuk dengan latar cerita. Lalu, bicara soal koreografi aksinya. Di situ ada Yayan Ruhian. Coba bandingkan sendiri dengan The Raid misalnya, mau komentar apa coba? Jelas tak perlu capaian seperti The Raid, tapi setidaknya bisa dibuat lebih serius sedikit. Satu lagi capaian yang begitu buruk adalah efek visual. Di masa CGI begitu canggih sekarang, efek visual film ini masih terasa tak ubahnya seperti sinetron laga era silam.

Dengan bujet besar serta nama studio Hollywood di opening logo, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dengan segala pencapaian cerita dan estetiknya yang sangat lemah, hanyalah tampak seperti sebuah sinetron mahal. Sudahkan para pembuat filmnya melihat bagaimana kualitas film kita saat ini? Penonton tentu sudah berbeda selera dengan satu-dua dekade lalu, dan kini banyak film produksi anak negeri yang berkualitas bagus. Dengan kualitas film macam ini, bisa jadi menjadi satu langkah mundur bagi industri film kita secara keseluruhan. Tidak ada poin untuk film ini selain karena mampu mengajak studio besar Hollywood untuk menggarap filmnya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaPelajaran dari Film “Searching” untuk Ayah (dan Calon Ayah)
Artikel BerikutnyaThe Cured
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

2 TANGGAPAN

  1. satu kata.. sepakat…. sebagai penggemar berat novel nya, kecewa dengan akting tokoh2 yang diperankan, bayangan sosok Sinto Gendeng, Anggini, Bujang Gila Tapak Sakti, Bidadari Angin Timur sangat jauh dari yg diimajinasikan… dan memang ada beberapa tokoh dari golongan putih yang terlalu maksa buat ditampilkan, apalagi tokoh golongan hitam yang tanpa perkenalan detail langsung mati konyol.. padahal di novel nya mereka mempunyai cerita tersendiri. sangat disayangkan dengan kondisi saat ini yang serba memungkinkan dari segi teknologi, kreatifitas dan budget namun masih belum menyamai dahsyatnya Film Saur Sepuh misalnya atau Wiro Sableng akhir 80an yang diperankan oleh Tony Hidayat…

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.