Lebih dari 6 juta penonton menjadi jawaban sukses Pengabdi Setan 2: Communion yang melibas film pertamanya, Pengabdi Setan (2017) yang meraih 4,2 juta penonton. Walau tidak sebanding dengan sukses fenomenal KKN Desa Penari, 9,2 juta penonton, namun raihan Pengabdi Setan 2 bukan satu hal yang bisa dianggap remeh. Ini berarti genre horor telah memproklamirkan diri sebagai genre nomor satu di negeri ini. Hingga kini, tercatat sembilan film horor meraih angka lebih dari 2 juta penonton. Apakah ini berarti film-film horor Indonesia telah naik kelas? Dari perspektif penonton bioskop tentu saja ya, namun secara kualitas masih banyak hal perlu diperdebatkan.

Sebuah artikel ulasan lokal tentang Asih 2 (2020) menitikberatkan bagaimana film ini menjadi cermin film horor Indonesia yang masih memiliki banyak kelemahan, khususnya segi penceritaan. Semua setuju bahwa secara teknis film-film horor kita, tidak kalah dengan film-film luar, baik Asia maupun Barat. Lalu di tahun 2022 ini, bagaimana dengan KKN Desa Penari dan Ivanna yang meraih sukses besar? Pencapaiannya pun sama. Satu sukses akibat giringan opini publik serta isu yang menyertainya, sementara yang satu sukses karena pencapaian teknis serta sisi brutalnya. Lantas, bagaimana dengan Pengabdi Setan 2: Communion?

Pengabdi Setan 2 kembali digarap oleh sineas kawakan kita, Joko Anwar. Kisahnya melanjutkan seri pertamanya yang berpindah lokasi dari rumah besar tua di pinggir kuburan, ke rumah susun belasan lantai yang lokasinya bekas kuburan. Lokasi bangunan rumah susun atau gedung bertingkat tinggi seperti ini rasanya belum pernah digunakan sebagai lokasi utama cerita film horor kita, paling-paling hanya areal sekolah tetapi tidak pernah bangunan setinggi ini. Setting waktunya, kini bergeser lima tahun dari kisah sebelumnya, yakni 1980-an, di kala Rezim Orde Baru tengah jaya-jayanya, lengkap dengan isu Petrus, (Penembak Misterius).

Artikel ini bukan ingin mengulas tentang sisi cerita dan estetik dari perspektif biasa. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa sisi penceritaan maupun estetiknya, Pengabdi Setan 2 mengadopsi banyak film lain, atau bolehlah kita sebut sebagai “tribute”. Tribute atau homage, hematnya adalah sebuah penghormatan terhadap film lain yang dianggap punya “kualitas” tertentu yang unik, populer, atau monumental yang menjadi “image” film tersebut. Seringkali sebuah tribute dianggap sebagai cara berkelas dan cerdas, melalui penambahan, modifikasi, atau meniru elemen cerita atau unsur estetik yang memiliki kemiripan. Ini bisa berupa cerita, pengadeganan, dialog, properti, setting, kostum, dan lainnya. Sementara di sisi lain, tribute kadang pula bisa diartikan sebagai menjiplak atau mengadopsi mentah dengan melakukan segalanya dengan cara yang tidak kreatif karena minimnya ide.

Dalam Pengabdi Setan 2, bagi penonton yang jeli atau penikmat film horor sejati, banyak sekali temuan unsur “tribute” ini. Lantas, film ini memiliki tribute berkelas ataukah sekadar hanya mengadopsi mentah-mentah?

Jika fasih dengan film horor barat tentu kenal dengan tipikal plot horor: “aliran/sekte sesat” atau “pemuja setan”. Sejak era klasik, plot jenis ini sudah banyak digunakan dengan konsep yang beragam. Konsep plot ini kadang bercampur dengan konsep “anak iblis” atau bahkan ”kesurupan”. Dalam tipikal plot ini lazimnya ada sosok bayi (bisa masih dalam janin), bocah, atau seseorang yang menjadi bakal tubuh inang si “iblis” yang didukung oleh penganut fanatiknya. Sosok protagonis (baca: jagoan) umumnya adalah seseorang yang dekat dengan sosok tersebut, seperti keluarga, kekasih, atau bisa seorang pastur bahkan polisi/detektif. Ending-nya selalu ditutup dengan pertarungan klimaks kejahatan versus kebaikan. Kekalahan pun ada di pihak jahat di mana protagonis berhasil menyekap atau membunuh sang iblis. Tidak jarang, ending pun mengambang dan nasib sang iblis tak jelas. Puluhan bahkan mungkin ratusan film memakai plot ini, contoh saja Rosemary’s Baby, The Omen, End Of Days, hingga yang terbaru Hereditary, Apostle, The Unholy, Son, dan The Long Night.

Dua seri film Pengabdi Setan mengadopsi konsep plot ini, khususnya film kedua. Walau banyak hal masih kabur, namun kisahnya tegas jika ada penganut ajaran sesat di sana, bahkan sang iblis (Raminom) sendiri pun hadir di sana. Si anak setan, Ian (Muhammad Adhiyat), kini perannya semakin jelas bahwa ia tidak memihak keluarganya. Pengembangan kisahnya juga mengisyaratkan bahwa sebagian penghuni di sana (kepala keluarga) adalah pengikut aliran sesat, termasuk sang ayah yang diperankan Bront Palarae, walau ia akhirnya membelot. Gelagat bahwa aliran ini adalah bagian dari sekte global (internasional) terlihat dengan hadirnya sosok orang barat yang ada di foto-foto awal bangunan rumah susun tersebut. Klimaksnya menjadi penanda terbesar tipikal plot ini yang tak berbeda dengan film-film barat lazimnya. Ada gathering besar para pengikutnya, walau motifnya jelas bukan untuk menanti kebangkitan sang iblis, namun seremoni penghakiman untuk para pembelot.

Bicara kuantitas pengadeganan horor atau trik horor (jump scare), Pengabdi Setan 2 adalah rajanya. Biang kerok semua ini jelas adalah setting rumah susun belasan tingkat yang demikian mencekam, di mana tiap sudut ruangnya bisa dieksplorasi secara maksimal oleh sang sineas. Beberapa pengamat mengistilahkan sebagai “ wahana rumah hantu”. Setting ini bak surga bagi sineas film horor. Ibarat, Pengabdi Setan 2 adalah The Raid-nya film horor. Dalam plotnya, para polisi terperangkap dalam gedung berisi ratusan begal dan pimpinannya, dan mereka bisa muncul kapan dan di mana saja. Kini teror tersebut tergantikan oleh arwah penasaran, pocong, dan sang iblis sendiri yang muncul di koridor, kamar, elevator, ruang tangga, bahkan hingga tempat pembuangan sampah yang sempit. Bermodal setting tertutup dan terbatas macam ini, trik horor dan terornya bekerja maksimal.

Puluhan trik horor disajikan dalam set terbatas ini. Perkara seram atau tidak, tentu relatif. Bahasan ini tidak mengarah ke sana, namun adalah bentuk tribute-nya. Sang sineas, entah sadar atau tidak, mengadopsi banyak sekali pengadeganan dan trik horor yang digunakan film-film horor lain.

Satu trik yang dominan adalah permainan cahaya, seperti dilakukan film horor Lights Out dan The Conjuring yang menggunakan trik saklar lampu on-off serta nyala korek api. Walau Pengabdi Setan 2 tidak menggunakan trik yang sama tapi efek gelap-terang tetap sama. Ini terdapat pada adegan di sebuah kamar yang terbaring dua sosok jenasah, dalam kondisi gelap gulita, Toni (Endy Arfian) menyalakan korek api dan sesaat apinya padam. Ketika ia menyalakan lagi, dua sosok mayat terlihat telah bergerak memalingkan muka ke arah kamera. Efek serupa dengan varian berbeda digunakan dalam beberapa momen menjelang klimaks, melalui permainan transisi fade outfade in. Ini memang terasa repetitif walau motivasi adegannya berbeda.

Satu lagi trik horor mengadopsi film horor lokal Makmum. Kali ini jump scare bukan dengan permainan cahaya, melainkan permainan dan pergerakan sudut kamera. Dalam Makmum, sosok protagonis yang tengah melakukan shalat, dibelakangnya sesosok arwah mengikuti gerakannya. Dengan trik mirip, adegan ketika Tari (Ratu Felisha) tengah shalat melalui sudut dan pergerakan kamera terlihat sesosok pocong di belakangnya. Walaupun sudut pengambilannya berbeda dengan Makmum, namun efeknya tetaplah sama.

Baca Juga  Montase FM Discussion on Oscar 2024 Prediction

Satu lagi pengadeganan unik dalam Pengabdi Setan 2, mengingatkan pada opening film horor supernatural klasik, Poltergeist (1982). Dengan berlatar lantunan lagu Rayuan Pulau Kelapa (Penutup siaran TVRI tempo doeloe) kamera bergerak dinamis menyusuri lorong dan kamar rumah susun dari lantai ke lantai hingga menuju kamar Keluarga Suwono dan shot berakhir pada close up layar televisi yang mengakhiri siarannya. Ketika muncul white noise, tak lama muncul sosok sang iblis. Dalam Poltergeist, adegan ini dilatari lagu kebangsaan AS, Star Spangled Banner, dan ketika lagu dan siaran habis, tak lama muncul pula sosok gaib di layar kaca. Ini adalah satu tribute yang paling berkesan, hanya sayangnya, tidak diikuti motif yang jelas mengapa sang iblis hadir di sana? Dalam Poltergeist, motifnya begitu kuat.

Beberapa trik horor yang lazim, juga banyak digunakan dalam Pengabdi Setan 2. Trik-trik ini seringkali kita lihat, seperti contohnya dalam film-film seri The Conjuring. Trik-trik horor konvensional yang sederhana, namun nan efektif, seperti ketukan pintu, benda jatuh atau bergerak sendiri, atau suara alat musik/radio/televisi yang tiba-tiba menyala. Dukungan efek suara seringkali menjadi faktor pendukung utama yang mampu mengagetkan penonton. Ketika tiga rekan Wina (Nafiza Fatia rani) tewas tertimpa elevator, arwah ketiganya menggangu sang gadis cilik dengan menggunakan lemparan koin. Wina pun tergoda untuk bergerak ke arah datangnya koin dan penonton pun menahan nafas. Trik ini sering kita lihat yang lazimnya menggunakan bola atau kelereng.

Trik horor umum lainnya, seperti “bisikan setan” bisa jadi telah digunakan dalam ratusan film horor, baik Barat maupun Asia. Trik sederhana ini mampu memainkan adrenalin penonton karena lazimnya tokohnya terpancing untuk bergerak ke arah suara. Suara voice over macam ini tidak hanya mampu membuat jantung penonton berdebar kencang, namun bisa membuat penonton meloncat dari kursinya, seperti satu adegan ketika Wisnu (Muzakki Ramdhan) membuang sampah di lorong gelap.

Walau ini bukan jump scare, shot penutup filmnya juga mengingatkan pada shot penutup film horor ikonik karya Stanley Kubrick, The Shining (1980). Entah, tribute ini memang disengaja atau tidak. Tampak shot semakin mendekat pada satu foto lawas yang diambil tahun 1955. Gambar memperlihatkan dua sosok muda, Batara (Fachri Akbar) dan Darminah (Asmara Abigail) yang sama penampilannya seperti mereka sekarang. Artinya, mereka tidak pernah menua. Shot yang sama dalam The Shining, memperlihatkan sosok Jack Torrance (Jack Nicholson) pada foto yang diambil tahun 1921. Lagi-lagi, motif shot ini begitu kuat sementara dalam Pengabdi Setan 2 sama sekali belum jelas. Dua sosok ini sejatinya siapa?

Dengan “tribute” yang demikian beragam, baik penceritaan maupun estetik, apakah lantas Pengabdi Setan 2 bisa dikatakan film horor yang bagus?

Satu hal yang pasti, membangun set-up situasi horor seperti ini, jelas bukan perkara mudah. Tidak hanya sekadar set lokasi yang bagus, namun tata cahaya menjadi salah satu teknik dominan karena nyaris separuh durasi cerita, gedung dalam kondisi gelap gulita. Dari perspektif ini saja, filmnya patut diapresiasi tinggi. Joko Anwar telah membangun template setting ideal yang membuka jalan bagi film horor lainnya. Sekali lagi, Pengabdi Setan 2 adalah The Raid-nya genre horor. Secara teknis, untuk para penikmat horor, film ini jelas mampu bersaing dengan film-film di luar sana.

Lantas bagaimana dari sisi penceritaan? Ini satu hal yang kontras dengan pencapaian teknisnya. Banyak hal dalam penceritaan yang tak jelas, belum lagi kejanggalan lainnya yang sulit dinalar akal sehat. Bagi orang yang pernah mengalami era latar kisahnya, rasanya mustahil sebuah bangunan rumah susun (tertutup tanpa bukaan) berlantai 14 untuk target warga menengah ke bawah; berlokasi di pinggiran kota tanpa ada bangunan pendukung lainnya; tanpa studi AMDAL (Analisa Dampak Lingkungan) memadai; bisa dibangun pada era 1980-an. Anggap saja ini bisa ditolerir. Jika kita mengacu pada alur kisahnya, tetap saja banyak hal tak bisa terjawab. Bencana banjir hebat akan datang, warga rusun banyak yang mengungsi, bagaimana mungkin tidak ada peringatan sebelumnya, bahkan beberapa penghuni pun tidak tahu jika sebagian besar warga telah mengungsi. Ini hanya satu contoh kecil saja yang membunuh plot filmnya. Naskahnya tidak mampu mengakomodir situasi ini dengan wajar. Kita bahkan belum membahas kontinuitas alur kisahnya. Jika berdalih akan dijawab pada sekuelnya kelak, ini jelas bukan argumen kuat.

Tampak pada penggunaan konsep plot aliran sesatnya, sejak film pertama, aroma barat sudah terendus kuat. Sasaran penonton lokal bisa jadi adalah target utama, namun tambahan bonus untuk pasar internasional memang menggiurkan. Sang sineas tahu persis akan hal ini. Alhasil, Pengabdi Setan 2 pun makin menjadi dan selera penonton barat terlihat semakin dominan, seperti sudah dijelaskan pada bahasan “tribute” di atas. Elemen lokal sekadar ditempelkan begitu saja melalui sosok pocong tanpa berani mengambil resiko untuk sekadar menggambarkan gaya jalan meloncat-loncat seperti dalam kebanyakan film kita. Jika ada, bisa jadi penonton asing bukannya takut malah tertawa geli. Bahkan nama sang iblis pun berbau latin, “Raminom”, seperti film-film barat lazimnya, contoh saja Mammon (Constantine), Paimon (Hereditary), serta Valak (The Nun).

Orientasi film barat jelas bukan satu hal yang tabu. Mengambil tribute film-film luar pun juga bukan. Ambil esensinya dan jadikan milik kita tanpa harus mengorbankan cerita. Sebuah nilai plus jika bisa mengambil tradisi atau mitos lokal. Ini yang bakal membuat ciri film horor kita berbeda dengan film horor produksi luar. Pengabdi Setan 2: Communion menjadi penegas bahwa secara teknis kita telah mampu memproduksi film horor berkualitas tinggi. Namun, kita mesti banyak berbenah untuk bisa membuat naskah horor yang berkualitas. Kembali ke judul artikel ini, “Pengabdi Setan 2: Communion, Sebuah Tribute Horor untuk Horor?”. Anda bisa menjawabnya sendiri.

 

Sumber data/gambar:

Filmindonesia.or.id

Imdb.com

 

Referensi bacaan/artikel:

Agustinus Dwi Nugroho dan Miftachul Arifin, “Asih 2: Cermin Film Horor Indonesia Kontemporer”, montasefilm.com, 10 Agustus 2021.

Himawan Pratista, Memahami Film Edisi 2, Montase Press, 2018. Edisi Kedua. Hal.233.

Trian Ferianto, “Pengabdi Setan 2″: Film Wahana Hantu dengan Cerita yang Dangkal“, kompasiana.com, 5 Agustus 2022.

 

Referensi Film:

Asih (2018)

Asih 2 (2020)

Constantine (2005)

Danur (2017)

Danur 2: Maddah (2018)

Danur 3: Sunyaruri (2019)

End Of Days (1999)

Hereditary (2018)

Ivanna (2022)

KKN di Desa Penari (2022)

Lights Out (2016)

Makmum (2019)

Pengabdi Setan (1980)

Pengabdi Setan (2017)

Poltergeist (1982)

Rosemary’s Baby (1968)

Son (2021)

Suzzanna: Bernafas dalam Kubur (2018)

The Conjuring (2013)

The Long Night (2022)

The Nun (2018)

The Omen (1976)

The Raid: Redemption (2011)

The Shining (1980)

1
2
Artikel SebelumnyaLook Both Ways
Artikel BerikutnyaSayap-Sayap Patah
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.