Woman with a Turban (2009)
131 min|Drama|15 Jan 2009
6.7Rating: 6.7 / 10 from 163 usersMetascore: N/A
The story of a woman sacrifice and struggle, as a child as well as a mother and a wife, in the environment of the clerics' family in the Islamic Boarding School because she received unfair approval.

Perempuan Berkalung Sorban adalah film drama religi besutan sutradara Hanung Bramantyo yang didasarkan atas novel berjudul sama karya Abidah Elkhalieqy. Film ini dibintangi oleh Revalina S. Temat, Oka Antara, Reza Rahadian, Joshua Pandelaky, Widyawati, Francine Roosenda, dan Cici Tegal. Pada awal rilisnya, film ini memicu kontroversi terkait kekerasan yang dimunculkan dalam filmnya.

Cerita berkutat seputar kehidupan seorang gadis muda, Anisa (Revalina) di lingkungan santri yang menggunakan norma agama untuk mengekang kebebasan wanita. Dalam perkembangan, Anisa dipaksa menikah dengan Samsudin (Reza Rahadian) yang teryata malah memperlakukan Anisa layaknya binatang. Anisa lalu difitnah berzina dengan seorang pemuda bernama, Khudori (Oka Antara). Ia akhirnya bercerai dengan suaminya dan menikah dengan Khudori. Cerita lalu berkembang pada usaha Anisa untuk memperjuangkan kebebasan para santri wanita di pesantren Al Huda.

Tidak ubahnya film-film religi kita yang kini marak, keseluruhan cerita layaknya seri sinetron, terlalu datar dan mudah untuk ditebak. Banyak adegan tampak dipaksakan dan seringkali logika dikesampingkan sehingga terlihat mengada-ada. Satu contoh ketika adegan pemilihan ketua kelas. Setelah Anisa dinyatakan menang secara demokratis mendadak keputusan dianulir dengan argumen Anisa adalah seorang wanita. Jika memang hanya laki-laki saja yang boleh jadi pemimpin, mengapa sejak awal Anisa dicalonkan? Ending cerita juga terlihat dipaksakan. Agak janggal melihat para Kyai yang telah mumpuni ilmu agamanya bisa dengan mudahnya dipengaruhi oleh omongan Anisa yang sebelumnya selalu dianggap angin lalu oleh mereka. Lalu masalah hutang kakak Anisa juga masih belum jelas? Lalu bagaimana nasib pesantren? Setelah sadar mengapa pula kakak Anisa masih memilih jalan kekerasan (memukuli Samsudin) untuk menyelesaikan masalah?

Baca Juga  PSP: Gaya Mahasiswa

Para santri lelaki secara umum digambarkan sebagai sosok ortodoks yang keras seolah tanpa memiliki rasa welas asih terhadap sesama. Benar dan salah secara gamblang hanya diukur semata-mata melalui norma-norma agama. Unsur-unsur kekerasan yang diperlihatkan dalam filmnya juga tampak berlebihan sehingga tidak heran jika film ini mengundang banyak kontroversi dari kaum ulama di negeri ini. Seperti contohnya, kain sorban yang digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak kekerasan juga ketika Samsudin memaksakan Anisa untuk berhubungan badan saat istrinya datang bulan. Walau semua bisa saja terjadi namun penggambaran dalam filmnya memang sedikit berlebihan.

Dari segi estetik pencapaian paling menonjol adalah visualisasi panorama alam yang indah. Narasi berbentuk puisi seperti di awal film sebenarnya cukup baik mendukung mood filmnya namun sayang setelahnya tidak lagi digunakan. Pemilihan atau rancangan setting filmnya juga sangat buruk sehingga tidak mampu memberi kesan waktu yang menjadi latar cerita filmnya. Para pemain yang sering menggunakan dialek “kota” jelas tidak mendukung latar pedesaan dalam cerita filmnya. Pesan yang ingin disampaikan adalah kaum perempuan harus memperjuangkan kebebasannya tanpa harus selalu bergantung pada kaum laki-laki. Setiap orang termasuk juga film ini berhak atas kebebasan tapi bukan berarti tanpa batasan. Lalu tolak ukur apa yang bisa menjadi batasan kebebasan? Norma agama adalah salah satunya.

Febrian Andhika
Raja Reymon

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaAll About Eve
Artikel BerikutnyaWakil Rakyat, Komedi Satir yang Gagal
Febrian Andhika lahir di Nganjuk, 18 Februari 1987. Ia mulai serius mendalam film sejak kuliah di Akademi Film di Yogyakarta. Sejak tahun 2008, ia bergabung bersama Komunitas Film Montase, dan aktif menulis ulasan film untuk Buletin Montase hingga kini montasefilm.com. Ia terlibat dalam semua produksi awal film-film pendek Montase Productions, seperti Grabag, Labirin, 05:55, Superboy, hingga Journey to the Darkness. Superboy (2014) adalah film debut sutradaranya bersama Montase Productions yang meraih naskah dan tata suara terbaik di Ajang Festival Film Indie Yogyakarta 2014, dan menjadi runner up di ajang Festival Video Edukasi 2014. Sejak tahun 2013 bekerja di stasiun TV swasta MNC TV, dan tahun 2015 menjadi editor di stasiun TV Swasta, Metro TV. Di sela kesibukan pekerjaannya, ia menyempatkan untuk menggarap, The Letter (2016), yang merupakan film keduanya bersama Montase Productions. Film ini menjadi finalis dalam ajang Festival Sinema Australia Indonesia 2018.

2 TANGGAPAN

  1. Benernya ni film berlatar daerah mana? Katanya gontor kan di ponorogo tapi tdk ada laut.
    Di sebut jombang, tp tdk ad laut.
    Ngawi jg sama tdk ada laut.
    Latar daerah mana seh ga jelas

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.