Film Noir, Genre atau Gaya?

Istilah noir [noa:] kerap kali digunakan untuk menyebut suatu jenis film tertentu. Entah film noir atau neo-noirs. Apa sebenarnya film noir? Kata noir sendiri berasal dari bahasa Perancis yang bermakna gelap, hitam atau suram. Istilah film noir pertama kali digunakan oleh kritikus asal Perancis untuk mengistilahkan film-film kriminal-detektif produksi Amerika yang membanjiri bioskop-bioskop Perancis selepas Perang Dunia Kedua. Dalam perkembangannya film noir kerap kali diperdebatkan antara sebuah genre ataukah gaya. Jika dibandingkan dengan genre lainnya film noir memang lebih memiliki karakter tema serta gaya yang unik dalam membangun mood-nya. Film noir disebut genre bisa jadi lebih karena popularitasnya ketimbang unsur estetiknya. Film noir sendiri sebenarnya merupakan turunan dari genre kriminal-gangster yang sangat populer di Amerika pada era 30-an.

Dalam perkembangan beberapa faktor internal dan eksternal banyak memotivasi lahirnya film noir. Pengaruh paling kuat adalah munculnya novel-novel detektif Amerika pada akhir era 20-an. Para penulis seperti Dashiell Hammet, Raymond Chandler, James M. Cain serta W.S. Burnett memberikan warna baru bagi novel bertema detektif menjadi lebih keras dan sinikal. Novel-novel mereka kelak banyak diadaptasi ke layar lebar. Sementara unsur estetik film noir terutama banyak dipengaruhi oleh sinema ekspresionisme yang dibawa oleh sineas-sineas Jerman yang hijrah ke Amerika. Bahkan hingga sutradara ekspresionis ternama sekelas Fritz Lang pun nantinya memproduksi film noir. Pengaruh gaya ekspresionis kelak tampak pada tata cahaya terutama penggunaan bayangan serta kontras antara gelap-terang. Suasana ketidakpastian dan pesimisme menjelang Perang Dunia Kedua ditambah faktor-faktor sosial di Amerika kala itu seperti, korupsi di kepolisian, mafia politik, perdagangan obat terlarang, protistusi, hingga munculnya gang-gang kriminal turut mempercepat munculnya film noir.

Awal kemunculan film noir pertama dianggap oleh beberapa kalangan adalah film kelas dua, Stranger on The Third Floor (1940) arahan Boris Ingster. Namun adalah The Maltese Falcon (1941) arahan John Huston yang secara tema dan estetik dianggap secara utuh memakai semua elemen film noir. Film ini diadaptasi dari novel detektif berjudul sama karya Dashiell Hammet. Humprey Bogart yang bermain prima sebagai detektif Sam Spade semakin mengukuhkan namanya menjadi salah satu bintang papan atas Hollywood. Setelah sukses Falcon, film-film noir pun membanjiri pasaran. Namun studio-studio besar Hollywood pada awalnya masih belum berani mengambil resiko. Produksi film noir pada awalnya termasuk Falcon, menggunakan standar bujet yang rendah. Hal ini tampak melalui banyaknya syuting dalam studio, jumlah karakter serta figuran yang kecil, serta menggunakan sutradara belum dikenal. Dalam perkembangan sejumlah bintang dan sutradara besar ikut meramaikan produksi film noir selama hampir dua dekade ke depan.<

Sutradara-sutradara imigran asal Jerman menjadi motor perkembangan film noir. Mereka banyak memproduksi film noir berpengaruh, seperti Fritz Lang melalui Woman in the Window (1944) dan Scarlett Street (1945), Otto Preminger memproduksi Laura (1944), Billy Wilder mengarahkan Double Indemnity (1944), serta Robert Siodmak melalui Phantom Lady (1944), The Suspect (1944) dan The Killers (1945). Adapun nama-nama besar lainnya yang turut berpartisipasi antara lain, Howard Hawks melalui filmnya The Big Sleep (1944), Orson Welles melalui The Lady from Shanghay (1948), Michael Curtiz melalui Mildred Pierce (1945), Alfred Hitchcock melalui Shadow of Doubt (1943) dan Notorious (1945), serta John Huston melalui Asphalt Jungle (1950). Sementara film-film noir berpengaruh lainnya, This Gun For Hire (1942) arahan Frank Tuttle, Out of the Past (1947) arahan Jacques Tourneur, Detour (1945) arahan Edgar G. Ulmer, Gilda (1946) arahan Charles Vidor, serta The Third Man (1949) arahan Carol Reed.<

Sesuai dengan maknanya, gelap atau suram, film noir menggun
akan tema serta aspek estetik yang mendukung mood tersebut. Mood film noir terbentuk dari rasa sinis, pesimis, keraguan serta aspek sisi gelap manusia lainnya. Tema umumnya tidak lepas dari misteri dan teka-teki. Alur cerita biasanya kompleks serta membingungkan. Cerita bisa berubah arah kapan saja tanpa bisa kita tebak. Film noir umumnya tidak lepas dari tindak kriminal, seperti pembunuhan, korupsi, pemerasan, serta pula upaya penyelidikan dari pihak tertentu, seperti polisi, detektif, petugas asuransi, veteran dan lainnya. Karakter pria umumnya sinis, keras, obsesif serta delusionis seperti figur aktor Robert Mitchum, Fred MacMurray dan Humphrey Bogart. Sementara karakter wanita [diistilahkan: femme fatale] umumnya berpenampilan menarik, berambut pirang, manipulatif, bermuka dua, serta misterius seperti sosok Mary Astor, Veronica Lake, Jane Greer, Barbara Stanwyck, dan Lana Turner. Kisah umumnya berakhir non happy ending serta terkadang tidak jelas (ambigu). Film noir juga kerap kali menggunakan narasi untuk menuntun alur cerita serta sering menggunakan kilas balik.

Baca Juga  Nagabonar Versus Nagabonar Jadi 2

Secara teknis film noir banyak menggunakan unsur setting, tata cahaya, serta sinematografi untuk membangun mood “suram”-nya. Setting film noir umumnya di kota besar dan paling dominan adalah malam hari. Baik setting eksterior maupun interior menggunakan tata cahaya temaram yang kontras antara gelap-terang (low-key lighting). Penggunaan efek bayangan tampak begitu dominan. Setting eksterior yang menjadi ciri khas film noir adalah gang-gang gelap, jalanan (aspal) yang licin dan basah lengkap dengan cahaya neon yang berkedip-kedip. Sementara setting interior umumnya mengambil lokasi di kamar hotel, kantor, bar, apartemen, atau gudang. Setting interior kerap kali dipenuhi asap rokok yang tebal. Unsur sinematografi diwakili oleh penggunaan teknik deep-focus (fokus yang tajam pada foreground maupun background), sudut kamera high-angle serta low-angle, serta komposisi yang tidak seimbang.

Film noir sangat populer terutama pada dekade 40-an di masa dan pasca Perang Dunia Kedua. Hollywood mampu merespon sinisme masyarakat Amerika pada era ini secara efektif melalui film noir. Pamor film noir mulai menurun menjelang akhir dekade 50-an. Namun beberapa film noir berkualitas berhasil diproduksi diantaranya, Angel Face (1952) arahan Otto Preminger, The Big Heat (1955) arahan Fritz Lang, serta Kiss Me Deadly (1955) arahan Robert Aldrich. Beberapa faktor menjadi penyebab popularitas film noir mulai menurun pada dekade 50-an ini, yakni munculnya televisi, era emas genre fiksi-ilmiah, akhir era sistem studio, serta semakin sejahteranya masyarakat Amerika sehingga memilih hiburan yang lebih ringan. Banyak pengamat menganggap akhir era film noir ditandai melalui salah satu karya terbaik Orson Welles, Touch of Evils (1958). Pada dekade-dekade mendatang beberapa pembuat film mencoba menghidupkan kembali jiwa film noir dan beberapa diantara mereka berhasil. Semangat film noir juga dianggap banyak kalangan sangat mempengaruhi karakteristik film independen yang mulai berkembang pada era ini.

Setelah berakhirnya era film noir, film-film yang bertendensi memakai tema serta gaya yang sama diistilahkan pengamat sebagai film post-noirs atau neo-noirs. Karakteristik film noir tampak kembali dalam The Naked Kiss (1966) arahan Sam Fuller, The Long Goodbye (1973) arahan Robert Altman, serta yang dinilai terbaik adalah Chinatown (1974) arahan Roman Polansky. Film-film neo-noirs yang menonjol pada dekade selanjutnya diantaranya, Body Heat (1981), The Blue Velvet (1986), The Grifters (1990), The Millers Crossing (1990), The Usual Suspect (1995), L.A Confidential (1997), The Man Who Wasn’t There (2001), serta Mulholland Dr. (2001), serta Black Dahlia (2007). David Lynch serta Coen Bersaudara tercatat sebagai sutradara yang kerap kali memproduksi film berjenis ini. Dalam perkembangan, karakter film noir juga tampak pada genre fiksi-ilmiah, seperti Alien (1979), Blade Runner (1982), The Terminator (1984), Johny Mnemonic (1995), Dark City (1998), hingga The Matrix (1999). Film adaptasi komik karya Frank Miller, Sin City (2005) karya Robert Rodriguez merupakan kombinasi antara neo-noirs dengan komputer grafis yang sangat unik. Film ini memakai hampir seluruh elemen tema maupun estetik film noir orisinilnya.

Artikel SebelumnyaThe Maltese Falcon, Pelopor Film Noir
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.