Setelah absen selama hampir enam tahun, baru pada tahun 2003, Tarantino memproduksi film aksi-kriminal, Kill Bill Vol.1, yang berlanjut dengan sekuelnya, Kill Bill Vol.2 di awal tahun berikutnya. Awalnya film ini akan dirilis satu film namun dipecah menjadi dua karena durasi total sekitar empat jam. Dalam dua film ini Tarantino memadukan beberapa genre sekaligus yakni, silat Hong Kong, samurai (Chanbara), hingga spaghetti westerns. Tidak seperti film-film Tarantino sebelumnya Kill Bill mengambil lokasi syuting di banyak wilayah dan negara, seperti California, Texas, Beijing, Hong Kong, Tokyo, hingga Mexico.

Melalui Kill Bill Vol.1, Tarantino tidak hanya bereksperimen melalui teknik naratif namun juga bahasa sinematik. Gaya khas Tarantino, yakni pola nonlinier, aksi brutal, serta lagu dan musik 70-an masih ia gunakan namun kali ini sineas mencoba lebih jauh bermain-main dengan teknik sinematografi dan editing. Gerak kamera dan sudut kamera jauh lebih dinamis dan bervariasi dari film-film sebelumnya. Teknik editing pun semakin cepat dan bervariasi terutama pada adegan aksi pertarungan. Dalam satu segmen cerita, Tarantino bahkan menggunakan teknik animasi gaya Jepang (anime). Tidak seperti film-film sebelumnya, Kill Bill Vol.1 adalah film garapan Tarantino yang paling banyak mengumbar adegan pembantaian berdarah dengan ekstra brutal. Sayang, dialog tempelan khasnya dalam film ini tidak ia gunakan.

Berbeda dengan film pertamanya, Kill Bill Vol.2 lebih mengutamakan sisi dramatik ketimbang aksinya. Bahkan pada adegan klimaks akhir pun kita tidak melihat adegan aksi pertarungan seru seperti halnya di film pertama. Tarantino juga kali ini menuturkan ceritanya secara linier dengan tempo yang lebih lambat sangat jauh berbeda dengan seri pertamanya. Perbedaan gaya dan tempo yang sangat kontras dalam film kedua memperlihatkan seolah kedua film ini dibuat oleh sineas yang berbeda. Sekalipun begitu tercatat dua film ini menuai sukses komersil luar biasa. Hanya dengan bujet produksi masing-masing sekitar $30juta, dua film ini mampu meraih lebih dari total $400 juta pada rilisnya baik domestik maupun internasional. Tarantino sendiri berniat membuat sekuel ketiga, sepuluh tahun setelah seri kedua dirilis.

Bersama karibnya, Robert Rodriguez, Tarantino membuat dua seri film (double feature) yang mereka beri judul, Grindhouse (2007). Ide ini terinsipirasi mereka dari poster film double feature klasik era 50-an yang berisi dua film. Grindhouse sendiri diinspirasi dari nama bioskop-bioskop era silam yang hanya memutar film-film kelas B. Rodriguez membuat film pertama yang berjudul Planet Terror dimana Tarantino sendiri mendapat peran kecil dalam filmnya. Sementara Tarantino membuat film kedua, yakni Deathproof. Dua film ini memang dikemas dengan unik layaknya film aksi kelas B dengan gambar yang sengaja dibuat cacat, menyajikan beberapa iklan (film) fiktif, hingga ”missing reel”. Deathproof sendiri sangat berbeda dengan film-film garapan Tarantino sebelumnya. Gaya khasnya yang dominan masih muncul yakni dialog-dialog tempelan, aksi brutal, serta lagu dan musik lawas. Tarantino juga menunjukkan kepiawaiannya membuat adegan ”car chase” yang sangat seru dan menegangkan. Dalam film ini untuk pertama kalinya juga Tarantino bertindak sebagai sinematografer. Sekalipun dua film ini mendapat respon positif dari kritikus namun gagal secara komersil.

Baca Juga  Serigala Terakhir, Mau Bicara Soal Gaya

Inglourious Basterds (2009) merupakan film garapan Tarantino yang belum lama ini rilis. Film ini terinspirasi Tarantino dari film perang tahun 1978, Inglorious Bastards namun sang sineas sendiri tidak pernah menganggap filmnya sebuah remake. Untuk pertama kalinya dalam filmnya, Tarantino mengkasting bintang papan atas Hollywood, Brad Pitt. Kisah filmnya yang juga berlatar masa silam (Perang Dunia Kedua) juga merupakan sebuah hal yang baru bagi Tarantino. Hampir semua gaya khasnya juga ia munculkankan dalam film ini. Selain dipuji banyak pengamat juga film ini juga merupakan film garapan Tarantino yang paling sukses secara komersil dengan meraih pendapatan lebih dari $300 juta di seluruh dunia.

Sepanjang karirnya, Tarantino juga tidak hanya berprofesi sebagai sutradara dan penulis naskah namun juga seorang aktor. Tarantino tercatat sering muncul dalam film-filmnya sendiri serta film-film garapan sobatnya, Robert Rodriguez. Tarantino juga tercatat pernah terlibat dalam produksi film seri televisi (satu episode) sebagai sutradara, seperti ER dan CSI: Crime Scene Investigation. Tarantino juga seringkali memproduseri film-film garapan rekannya sendiri seperti From Dusk Till Dawn bersama dua sekuelnya, Hostel dan sebuah sekuelnya, serta Hell Ride.

1
2
3
Artikel SebelumnyaReservoir Dogs, Gangster Modern Ala Tarantino
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses