Biografi dan Film-film Tarantino

Quentin Tarantino lahir pada tanggal 27 Maret 1963 di Knoxville, Tennessee Amerika Serikat. Tarantino merupakan anak dari seorang perawat bernama Connie McHugh Zastoupil, serta ayahnya bernama Tony Tarantino yang merupakan seorang aktor dan musisi amatir. Tarantino tumbuh besar di Los Angeles dan sejak saat inilah mulai tertarik dengan film. Di umur 15 tahun, Tarantino keluar dari sekolah dan melanjutkan pendidikannya di sekolah akting di James Best Theatre Company. Karena kegemarannya pada film, pada umur 22 tahun Tarantino juga sempat bekerja di sebuah tempat persewaan video di daerah Manhattan, dimana ia bertemu dengan Roger Avary, yang nantinya mereka berdua sering berkolaborasi untuk menulis beberapa naskah film seperti True Romance, dan Pulp Fiction. Saat bekerja di sana, Tarantino bersama Avary banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi film. Tak heran jika Tarantino memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang film. Tarantino kemudian meneruskan sekolah akting di Allen Garfield’s Actors’ Shelter, Beverly Hills, dengan konsentrasi pada penulisan naskah film.

Tarantino memulai karir di dunia film setelah bertemu dengan Lawrence Bender. Pada tahun 1987, Bender membujuknya untuk menulis naskah serta menjadi sutradara film tersebut yang berjudul My Best Friend’s Birthday. Hanya sayangnya, film ini gagal diselesaikan akibat musibah kebakaran di laboratorium saat proses editing. Tarantino menjual naskah filmnya ini dan kelak menjadi dasar naskah film True Romance (1993) yang digarap oleh Tony Scott. Tarantino juga menulis naskah keduanya untuk film Natural Born Killers (1994) yang kelak digarap sutradara kawakan Oliver Stone.

Di tahun 1992, Kembali bersama Bender, Tarantino memulai debut sutradaranya melalui film kriminal Reservoir Dogs. Film berbujet minim dengan dibintangi aktor-aktor kelas dua ini berkisah tentang perampokan oleh sekelompok gangster namun uniknya aksi perampokannya sendiri tidak pernah diperlihatkan. Meski tidak dipromosikan secara besar-besaran namun film ini mampu meraih hasil cukup baik bahkan hingga luar Amerika. Di Inggris misalnya, film ini meraih 6,5 juta Poundsterling. Popularitas film ini kelak akan semakin terangkat setelah sukses film kedua Tarantino, Pulp Fiction. Film ini juga mendapat perhatian di Sundance Film Festival, karena gaya filmnya yang khas, yakni plot nonlinier, aksi kekerasan yang vulgar, budaya pop amerika yang kental, serta dialog-dialog tempelan yang tidak berhubungan dengan plot filmnya. Gaya ini menjadi trademark tersendiri dalam film-filmnya kelak.

Dalam perkembangan juga bersama Bender, Tarantino membuat perusahaan produksi sendiri yang ia beri nama A Band Apart. Nama ini diambil dari film gerakan French New Wave, yakni Bande à part (1964/Band of Outsiders) garapan Jean-Luc Goddard yang filmnya sangat mempengaruhi Tarantino dan rekan-rekannya. Logo perusahaannya sendiri juga mencuplik gambar dari film debutnya, Reservoir Dogs. Tercatat nama-nama besar di dunia film turut bergabung dalam perusahaan ini, sebut saja Robert Rodriguez yang juga sobat kental Tarantino, John Woo, Darren Aranofsky, Tim Burton, hingga Luc Besson.

Sukses Reservoir Dogs membuat Tarantino banyak didekati studio-studio besar untuk menggarap proyek film-film mereka. Namun tidak digubrisnya, ia justru sibuk menggarap naskah film keduanya. Bersama perusahaan barunya dengan menggandeng studio Miramax, Tarantino memproduksi Pulp Fiction. Konon sederet nama-nama besar yang terlibat dalam film, seperti John Travolta, Bruce Willis, Samuel L. Jackson, Ving Rhames, dan Uma Thurman rela digaji rendah. Tercatat Willis adalah bintang paling top yang ikut dalam proyek ini. Diluar dugaan, Pulp Fiction sukses luar biasa. Secara mengejutkan Pulp Fiction mampu meraup pendapatan kotor mencapai lebih dari $200juta di seluruh dunia bandingkan dengan bujet produksinya yang hanya $8,5 juta. Di Amerika sendiri, Pulp Fiction tercatat sebagai film independen pertama yang meraup pendapatan diatas $100juta. Bahkan hingga saat ini pun Pulp Fiction masih tercatat sebagai film independen terlaris sepanjang masa.

Baca Juga  Perjaka Terakhir, Satu Lagi Komedi Konyol

Pulp Fiction juga sukses secara kritik dengan mampu menyabet piala Oscar untuk naskah orisinil terbaik dengan tujuh nominasi termasuk Film Terbaik. Sukses film ini juga mampu mengangkat pamor bintang-bintang veteran seperti, Bruce Willis dan John Travolta. Pulp Fiction sendiri kembali dikemas dengan gaya khas Tarantino, yakni pola plot non-linier, aksi kekerasan vulgar, budaya pop lokal, lagu dan musik 70-an, hingga dialog tempelannya. Sukses Pulp Fiction mampu membangkitkan kembali gairah film independen di dunia serta menginspirasi banyak film setelahnya. Oleh banyak pengamat film ini dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. (baca ulasan Pulp Fiction di Buletin Montase edisi 7/Film Independen).

Tahun berikutnya Tarantino terlibat dalam produksi film unik, Four Rooms (1995) dimana ia menggarap satu segmen cerita dari empat segmen dalam filmnya. Sohibnya, Robert Rodriuez juga menggarap satu diantaranya. Tarantino menulis, menyutradarai, dan membintangi segmen cerita yang berjudul The Man from Hollywood. Dalam film ini, Tarantino juga bereuni kembali dengan Bruce Willis. Di tahun yang sama, Tarantino juga bermain sebagai aktor dalam dua film yang digarap Rodriguez, yakni Desperado (1995) dan From Dusk Till Dawn (1995). Dalam film yang kedua Tarantino bahkan menulis naskah filmnya sekaligus mendapat peran pembantu utama.

Di tahun 1997, Tarantino memproduksi film ketiganya, Jackie Brown, yang naskahnya ditulisnya sendiri didasarkan novel Rum Punch karya Elmore Leonard. Film ini merupakan tribute Tarantino terhadap film-film kulit hitam (blaxploitation) era 70-an. Film ini dibintangi sederet nama-nama besar seperti Robert De Niro, Pam Grier, Robert Forster, Bridget Fonda, Michael Keaton, serta Samuel L. Jackson. Meskipun tidak sesukses Pulp Fiction namun Jakcie Brown masih mampu terbilang sukses di pasaran, baik dari sisi komersil maupun kritik. Film ini mampu meraih nominasi Oscar untuk aktor pembantu terbaik (Robert Forster), serta dua nominasi Golden Globe. Sedikit berbeda dengan gaya di dua film sebelumnya, srruktur linier di film ini lebih dominan. Tercatat hanya sekali struktur ”nonlinier” digunakan, yakni menjelang sekuen akhir dan dialog tempelan yang menjadi khasnya, juga tidak dominan seperti dua film sebelumnya.

1
2
3
Artikel SebelumnyaReservoir Dogs, Gangster Modern Ala Tarantino
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.