Band of Outsiders (1964)
95 min|Comedy, Crime, Drama|05 Aug 1964
7.6Rating: 7.6 / 10 from 27,179 usersMetascore: 93
Two crooks with a fondness for old Hollywood B-movies convince a languages student to help them commit a robbery.

Band of Outsider (Bande à part, 1954) merupakan film drama kriminal arahan sineas besar French New Wave, Jean-Luc Godard. Film ini diadaptasi dari novel kriminal Amerika, Fool’s Gold tulisan Dolores Hitchens. Film ini konon ditulis Godard sendiri tanpa menggunakan naskah yang matang dengan waktu produksi hanya 25 hari. Para pemain dalam Band of Outsider adalah aktor-aktris muda belum ternama, yakni Anna Karina, Sami Frey, dan Claude Brasseur.

Alkisah dua pemuda, Arthur (Brasseur) dan Franz (Frey) dekat dengan seorang gadis muda bernama Odile (Karina). Atas desakan Arthur dan Franz, mereka bertiga akhirnya berniat mencuri uang milik bibi Odile yang disimpan di lemari kamar rumahnya. Entah mengapa Arthur membocorkan rencana tersebut ke pamannya dan ia juga berniat untuk mencuri uang tersebut. Hal ini membuat Arthur mempercepat rencana mereka. Pada hari berikutnya ternyata segalanya berjalan tidak sesuai dengan rencana mereka.

“Bukan materinya yang terpenting namun adalah bagaimana materi tersebut dikemas,” Godard berujar. Hal ini menjadi konsep utama Band of Outsider dimana ia bermain-main dalam nyaris semua aspek baik sisi cerita maupun perangkat sinematik. Seperti tradisi French New Wave lazimnya, Godard menjungkirbalikkan aturan-aturan sinema tradisional yang ada. Dari sisi cerita, Godard berulang-kali menyisipkan adegan-adegan yang sama-sekali tidak berhubungan atau lepas dari plot utama. Adegan-adegan tersebut sifatnya spontan dan lebih berkesan mengulur-ulur waktu. Satu adegan paling dikenal adalah ketika ketiga tokoh utamanya menari di kafe (yang diberi nama “Madison Dance”) yang berdurasi sekitar empat menit. Konon Godard menyuruh tiga pemainnya untuk terus menari hingga mereka lelah. Hal yang sama juga tampak dalam adegan ketika Odile yang tengah berlari meninggalkan rumahnya dipotong oleh beberapa shot yang memperlihatkan Arthur dan Franz yang tengah membaca koran. Satu rangkaian shot ini berdurasi hingga empat menit lamanya sementara sineas lazimnya hanya menggunakan beberapa detik saja.

Baca Juga  Liputan Festival Film Animasi Indonesia 2009

Dari sisi estetik film ini juga amat sangat bervariasi. Godard benar-benar bebas bermain-main dengan semua perangkat sinematik yang ada. Sejak awal pembuka film Godard bermain dengan teknik editing cepat yang secara bergantian memperlihatkan shotshot wajah tiga tokoh utamanya. Sepanjang filmnya, Godard sendiri bertindak sebagai narator (“Voice of God”) yang menjelaskan suasana serta perasaan batin para tokoh utamanya. Satu hal yang jarang dilakukan sineas kebanyakan. Dalam sebuah adegan di kafe, ketika tiga tokoh utama bermain “one minute silence”, Godard secara literal benar-benar meniadakan semua suara yang ada sekitar empat puluh detik. Ilustrasi musik jazz yang mengalun ringan juga sangat pas mengiringi “mood” filmnya serta “mood” kota Paris sendiri. Godard juga memasukkan beberapa sense of humor hingga sikap politiknya ke dalam filmnya. Dalam satu adegan tiga tokoh utama berlarian menyusuri lorong museum Louvre sekedar untuk memecahkan rekor yang dibuat oleh orang Amerika.

Banyak pengamat menilai bahwa Band of Outsider merupakan satu-satunya film Godard yang paling mudah dinikmati penonton serta kaya dengan variasi teknik dan gaya. Band of Outsider juga menginspirasi banyak sineas muda di seluruh dunia, termasuk di antaranya Quentin Tarantino. Tak heran jika Tarantino sangat mengagumi film ini hingga mengabadikan nama studio miliknya A Band Apart.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaRuma Maida, Mencoba Mengangkat Semangat Sumpah Pemuda
Artikel BerikutnyaInglorious Basterds, Cara Tarantino Meruntuhkan Rezim Hitler
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.