”Gaya Tarantino”

Bicara tentang karakteristik film-film Tarantino tidak bisa lepas dari karakter gerakan sinema di Perancis, yaitu Nouvelle Vague atau yang lebih dikenal Fench New Wave. Karakteristik film-film Tarantino memang memiliki banyak kemiripan dengan film-film gerakan ini terutama arahan Jean-Luc Godard. Isi (tema/cerita) bukanlah hal pokok namun adalah bagaimana isi tersebut dikemas. ”Kemasan” adalah gaya serta karakter utama dari film-film Tarantino. Ia selalu mencoba sesuatu yang tidak lazim digunakan dalam film-film mainstream baik genre, struktur dan pengembangan cerita, aksi, dialog, musik, serta lainnya. Film-film Tarantino juga sangat dipengaruhi film-film yang ia tonton terutama di era 60-an dan 70-an. Tarantino juga selalu menyutradarai dan menulis naskah semua filmnya sendiri.

Dari sisi genre, semua film-film Tarantino selalu berkutat dengan aksi kriminal atau gangster, sejak film debutnya, Reservoir Dogs hingga Inglourious Basterds. Nuansa gangster sedikit mengendur hanya pada Deathproof yang mengisahkan seorang stuntman ”maniak” yang suka membunuh gadis-gadis muda. Seperti film-film French New Wave, karakter tokoh-tokoh utama di film-film Tarantino lazimnya juga tipe orang yang bebas, cuek, bertindak semaunya, kasar, serta anti kemapanan. Alhasil karakter-karakter tokoh ini sangat mendukung alur cerita, dialog, serta aksi kekerasan yang menjadi ciri khas Tarantino.

Dari sisi cerita Tarantino menyukai gaya bertutur nonkonvensional, yakni pola plot nonlinier serta multiplot. Pola non-linier tampak dalam film-film seperti, Reservoir Dogs, Pulp Fiction maupun Kill Bill Vol.1. Nyaris dalam semua filmnya, layaknya sebuah novel Tarantino juga suka membagi cerita filmnya menggunakan chapter atau babak, yang seringkali ia beri judul. Seperti contoh dalam Kill Bill Vol 1, ia menamai babaknya, Chapter One: 2 dan Chapter Two: The Blood Splattered Bride, dan seterusnya. Sementara pola multi-plot ia gunakan dalam Reservoir Dogs, Pulp Fiction, dan Jackie Brown.

Dalam semua alur cerita film-film Tarantino, plotnya selalu bersifat spontan (tidak terduga), sering berubah arah secara mendadak, dan seringkali berkesan kompleks namun memiliki penyelesaian yang sangat sederhana (mudah). Tokoh-tokoh ceritanya seringkali terjebak dalam situasi rumit yang mengejutkan dan tidak mereka duga sama sekali. Dalam Reservoir Dogs, aksi perampokan yang menjadi kunci cerita secara mengejutkan justru tidak diperlihatkan sama sekali. Lalu kisahnya yang demikian simpang-siur diakhiri begitu mudahnya pada klimaks cerita. Dalam Pulp Fiction, karakter Jules dan Vincent, beberapa kali terjebak dalam situasi tak terduga, salah satunya ketika mereka tengah makan siang di sebuah restoran tiba-tiba mereka terjebak dalam situasi perampokan.

Salah satu ciri utama film-film Tarantino adalah dialog ekletiknya (tempelan). Dialog-dialog tersebut biasanya berupa dialog ringan ”tak bermutu” yang sama sekali tidak ada hubungan dengan plot utama. Namun begitu justru dialog-dialog ini membantu mendukung karakterisasi tiap tokohnya serta memberikan nuansa komedi dalam film-filmnya. Dalam Reservoir Dogs, pada adegan pembuka memperlihatkan para tokohnya membicarakan hal-hal di luar aksi perampokan, seperti lagu Madonna serta masalah tip. Dalam Pulp Fiction, Jules dan Vincent membicarakan masalah istilah burger ketika mereka tengah berkendaraan. Dalam segmen kedua Deathproof, keempat gadis selama hampir lebih dari setengah jam membicarakan masalah-masalah ringan seperti, laki-laki, liburan, senjata api, hingga film. Masih berhubungan dengan dialog, Tarantino juga teramat sering menyisipkan kata-kata sumpahan kasar dalam semua dialognya yang seringkali memicu kontroversi.

Baca Juga  Emak Ingin Naik Haji

Film-film Tarantino juga dikenal dengan adegan aksi kekerasannya yang sangat brutal. Tokoh-tokoh utamanya yang lazimnya seorang gangster atau kriminil tidak segan-segan menyiksa atau menghabisi nyawa musuh-musuh mereka dengan cara yang sadis. Dalam nyaris semua filmnya, senjata api seringkali ditembakkan ke seseorang dalam jarak yang sangat dekat. Satu adegan brutal yang paling banyak dikecam pengamat adalah adegan penyiksaan polisi dalam Reservoir Dogs. Walau Tarantino tidak menampakkan secara eksplisit namun adegan tersebut mampu membuat jeri orang yang menontonnya. Dalam sebuah sekuen di Kill Bill Vol.1, tokoh utama membantai puluhan yakuza secara brutal dengan pedangnya.

Ciri khas lain dalam film-film Tarantino adalah musik dan lagu yang seringkali menggunakan musik pop dan rock lawas era 70-an dan 80-an. Tarantino juga sering menggunakan pemain-pemain veteran yang telah lewat masa jayanya, sebut saja seperti John Travolta, David Carradine, hingga Kurt Russel. Dalam beberapa filmnya, seperti seri Kill Bill dan Deathproof, Tarantino mencoba lebih jauh berujicoba menggunakan beberapa teknik sinematografi dan editing. Dalam film-film ini Tarantino dalam beberapa adegan menggunakan teknik hitam-putih, sudut serta pergerakan kamera yang lebih dinamis, ritmik editing, serta lainnya. Ada hal unik dari sisi sudut kamera, dalam semua film-filmnya pasti terdapat sebuah POV (point of view) shot dari dalam bagasi mobil.

Dalam produksi filmnya, Tarantino juga sering berkolaborasi dengan orang-orang yang sama. Lawrence Bender dan Sally Menke tercatat adalah orang yang paling sering terlibat dalam produksi film-film Tarantino. Bersama Bender, Tarantino membentuk perusahaan produksi A Band Apart dan Bender selalu menjadi produser semua film-film Tarantino. Tarantino juga mempercayakan penuh Sally Menke sebagai editor semua film yang ia garap. Mengapa editor wanita? Menke memiliki sentuhan feminin yang dianggap Tarantino memberikan sentuhan berbeda serta warna lain pada filmnya. Sementara sobat lamanya, Robert Avary juga beberapa-kali membantu Tarantino menulis naskah beberapa filmnya. Sementara aktor dan aktris seperti Samuel L. Jackson, Uma Thurman, Michael Madsen, Harvei Keitel, serta Tim Roth tercatat adalah para pemain yang paling sering bermain dalam film-film Tarantino.

When people ask me if I went to film school I tell them, No, I went to films” ujar Tarantino. Awal karirnya sebagai penjaga rental video, ia selalu mengamati film-film apa yang disukai para peminjam, ini menginspirasinya kelak untuk menjadi seorang sutradara serta pula karakter film-filmnya. Film-film Tarantino murni adalah sebuah kemasan yang lepas dari isu moral, etika, serta sosial. Melalui pendekatannya Tarantino terbukti telah memberikan sumbangsih berharga bagi dunia perfilman serta mampu membangkitlan gairah film independen. Melalui film-filmnya, Tarantino mencoba mengatakan pada kita bahwa tidak ada batasan sama sekali dalam mengembangkan sinema.

Febrian Andhika
Himawan Pratista

1
2
3
Artikel SebelumnyaReservoir Dogs, Gangster Modern Ala Tarantino
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses