Apa yang membuat satu film drama roman dapat menarik perhatian pada saat ini ialah tawaran keunikannya. Jason Iskandar melihat peluang itu. Dia lantas bermain-main dengan ide “akhirat dua sejoli beda agama” lewat Akhirat: A Love Story sebagai sutradara sekaligus penulis. Selain menjadi debut sang sutradara, film drama roman fantasi ini juga menjadi debut film panjang Studio Antelope. Setelah dalam waktu yang cukup lama berkutat dengan film-film pendek, juga dengan sutradara yang sama. Film yang dibantu distribusinya oleh BASE Entertainment ini diperankan oleh sejumlah nama populer, mulai dari Adipati Dolken, Della Dartyan, Verdi Solaiman, Ayu Dyah Pasha, Nungki Kusumastuti, dan Arswendy Bening Swara. Apa memangnya tawaran dari drama roman yang kali ini?
Kisahnya sendiri seputar romansa asmara antara Mentari (Della Dartyan) dan Timur (Adipati Dolken), seorang ilustrator handal dan akuntan biasa. Dua insan beda agama dengan latar belakang keluarga yang enggan menerima satu sama lain. Ketika dihadapkan pada persimpangan jalan, mereka bertekad menerobos larangan demi restu dari ibu masing-masing, Rahayu (Ayu Dyah Pasha) dan Selma (Nungki Kusumastuti). Namun, mereka malah memasuki alam transisi melalui sebuah peristiwa. Di sana, keduanya lantas bertemu kenyataan yang sukar mereka terima.
Film-film bertempo lambat memang bak pisau bermata dua. Bisa menjadi bagus dengan segala motivasi yang mendukung tempo tersebut, namun berkemungkinan jadi buruk karena terasa membosankan. Akhirat: A Love Story berada di persimpangan keduanya. Pada momen tertentu, menonton adegan demi adegan beserta lompatan-lompatan di antara satu sama lain cukup sukar dinikmati dengan duduk tenang. Dalam artian, penonton menjadi tidak sepenuhnya bisa dibuat “tanpa sadar” berdiam diri di kursinya menikmati tayangan. Banyak geraknya penonton pada akhirnya bukan karena perasaan yang menyatu ke dalam film, tetapi karena tidak betah berlama-lama duduk tenang. Kadang ihwal tempo lambat semacam ini boleh jadi sebuah dilema, karena ada kalanya diperlukan dalam film bergenre drama.
Menyoal tempo lambat Akhirat: A Love Story pun rasa-rasanya sulit untuk dimaklumi, ketika sesekali justru rasa bosanlah yang diterima oleh penonton. Sebab tensi dramatiknya sendiri tidak menunjukkan level kenaikan yang memadai saat muncul konflik-konflik bahkan dalam klimaks. Walhasil, kurva dramatik Akhirat: A Love Story boleh dikatakan lebih banyak terasa landai. Sebab ketika terjadi kenaikan pun tidak signifikan. Boleh jadi signifikan menurut sineasnya, namun sayang tidak tersampaikan dengan baik ke penontonnya.
Kendati demikian Akhirat: A Love Story masih punya potensinya sendiri. Film drama roman dengan pengemasan yang tidak sekadar perkara cinta di dunia, melainkan berkonflik pula di akhirat. Mungkin lebih tepat bila disebut alam transisi, bila mempertimbangkan bagaimana film menghadirkan “alam” ini. Namun meski mengangkat topik “akhirat dari sepasang kekasih beda keyakinan”, nyatanya seiring kisah berjalan poin pentingnya tidak mengarah ke sana. Dari setiap adegan dan dialog dari kedua tokoh utamanya, seolah Akhirat: A Love Story membicarakan akhirat sebagaimana judulnya, padahal inti ceritanya adalah keyakinan atas pilihan, terhadap seseorang, maupun atas keinginan.
Kecenderungan cerita yang tersampaikan berbeda dengan gembar-gembor filmnya pula yang kemudian berdampak pada eksplorasi “akhirat”-nya. Salah satu yang paling kentara adalah perkara setting. Penonton tahu betul titik balik kedua tokoh mulai menghadapi masalah-masalah yang lebih rumit ada di bagian mana. Namun latar tempat yang dihadirkan nyatanya tidak ada perbedaan besar dengan dunia pada umumnya. Kecuali soal menembus benda atau orang, kultur ziarah di pemakaman orang Tionghoa, keberadaan ‘jembatan’, dan konsep hantu gentayangan. Beberapa kali sejumlah setting akhirat yang ditampilkan memang tampak berbeda dari dunia biasa lewat teknis-teknis dalam aspek sinematografi, efek visual, dan editing. Namun selain hal-hal ini, sisanya mudah dijumpai dalam film-film drama roman pada umumnya.
Akhirat: A Love Story sebagai proyek debut sineas dan perusahaannya tampak bergelimang euforia dengan idenya, namun pada akhirnya kewalahan juga. Di satu sisi hadir dengan applause untuk debutnya, tetapi di sisi lain pulang membawa banyak catatan. Setidaknya aspek-aspek lain dalam Akhirat: A Love Story cukup membantu menutup celah. Sebut saja akting para tokoh terutama Della dan Dolken sebagai tokoh utama, level sensitivitas isu yang dibawakan, serta sejumlah perbedaan yang dihadirkan melalui “akhirat” versinya. Terbilang “cukup” untuk sebuah debut. Walau akan sulit bila dikomparasikan dengan film seangkatan yang rilis di bioskop berbarengan, yakni Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.