Premis singkat, namun dengan masalah yang berputar-putar hingga titik penyelesaiannya. Kira-kira demikianlah Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang diarahkan dan ditulis oleh Edwin. Film adaptasi novel karya Eka Kurniawan yang berhasil menyabet penghargaan Golden Leopard Award dari Locarno Film Festival. Sang empunya buku juga turut andil dalam mengolah naskah film ini. Berbekal genre drama, roman, dan aksi, film produksi Palari Films, Phoenix Films, dan Kaninga Pictures ini diperankan oleh Marthino Lio, Ladya Cheryl, Reza Rahadian, Ratu Felisha, Djenar Maesa Ayu, Piet Pagau, dan Christine Hakim. Banyak yang dapat digali dari film dengan aktor-aktris totalitasnya. Namun benarkah sebagus itu?
Kehidupan bebas pada era 1980-an akhir hingga awal 1990-an melahirkan karakteristik pemuda-pemudi yang nekat pada waktu itu. Dua di antaranya ialah Ajo Kawir (Marthino Lio) dan Iteung (Ladya Cheryl). Dua insan saling cinta meski sang pria tak bisa memuaskan hasrat bersama, karena ada masalah pada alat vitalnya. Sudah begitu ada pula kehadiran Budi Baik (Reza Rahadian), kawan seperguruan Iteung yang tak rela pada hubungannya dengan Ajo. Ajo sendiri tak percaya diri akan cinta akibat kekurangannya. Jadi ia terus mencari kesempatan agar bisa berkelahi dan tak takut mati, hingga mempertemukannya dengan seorang sosok penting yang berbahaya.
Film-film bertemakan tempo dulu memang punya sisi unggulnya sendiri. Lazimnya ialah pada aspek-aspek pemilihan setting dan artistik yang mengisi di sana. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas memperlihatkan artistik yang terbilang baik. Dari segi kostum yang “tidak tampak baru beli”, juga property–property yang dihadirkan ke dalam layar. Setting pun demikian. Terutama ketika Ajo dan Iteung terlibat perkelahian pada pertemuan pertama di jalur truk tambang. Kendati ada beragam tawaran lain juga dalam film ini. Bukan hanya sebatas setting dan artistik semata, namun juga totalitas para pemain, dialek, serta topik-topik dalam sejumlah perbincangannya. Meskipun untuk perkara yang terakhir disebutkan ternyata beberapa kali ‘mengancam’ penceritaan.
Ihwal totalitas terutama dalam adegan-adegan perkelahian, rasanya Lio dan Cheryl selalu menampilkan keseriusan mereka. Walau harus berulang kali membanting badan (dalam artian harfiah). Pemain lain pun tidak kalah dengan mereka saat membawakan peran masing-masing. Sebut saja sang aktris kawakan Christine Hakim untuk perannya di segmen awal. Begitu pula Reza di salah satu adegan dengan “sebuah” property. Cheryl sendiri tampaknya sudah terlanjur melekat di film-film Edwin. Sebelum penampilannya untuk yang kali ketiga dalam film ini, ia pernah terlibat dalam dua film Edwin lainnya, yakni Postcards from the Zoo dan Babi Buta yang Ingin Terbang.
Menyoal gaya dalam film, nyatanya sang sutradara pun memang sudah sedari lama dikenal dengan karya-karya berciri khas tersendiri. Sebut saja Postcards from the Zoo dan Babi Buta yang Ingin Terbang. Sebelum kemudian muncul Posesif dan Aruna & Lidahnya yang lebih ‘ramah’ untuk target penonton bioskop. Kendati telah melewati dua film yang disebut terakhir, tampaknya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas melakukan mix & match terhadap gaya sang sineas. Tidak dapat dipungkiri juga campur tangan sang empunya buku, Eka Kurniawan, dalam pembuatan naskah sedikit-banyak pasti memengaruhi. Boleh jadi ‘isi kepala’ mereka berdua sebetulnya sama.
Kalau untuk kelemahan, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, topik-topik yang diangkat dalam film ini tak jarang ‘membahayakan’. Membahayakan dalam artian, penonton cukup sukar mengingat seluruh tokoh yang terlibat disertai julukan masing-masing dan relasi dengan tokoh lain. Ini tak lain disebabkan oleh terlalu banyaknya informasi yang disampaikan lewat subplot-subplot di samping problem inti Ajo dan Iteung. Walhasil sejumlah nama-nama tokoh, ciri khas identitas mereka, relasi dengan tokoh lain, serta konflik yang melingkupi nama mereka tidak benar-benar membekas di ingatan.
Mestinya wajar bagi tokoh-tokoh sentral, maupun sosok-sosok yang mengiringi perjalanan tokoh utama untuk diingat juga. Namun, siapa yang masih bisa menjelaskan dengan baik peran dari misalnya si Rona Merah (Ayu)? Siapa yang masih ingat dengan nama pria buta (Cecep) yang dipenjara bersama Ajo? Apa hubungan keduanya dengan Paman Gembul (Piet)? Muncul dari mana sosok Jelita (Felisha)? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya, saking terlalu banyak informasi dari setiap subplot yang ada. Pada akhirnya hanya dua hal yang tertangkap dari semua penampilan para tokohnya. Pertama, keempatnya adalah orang-orang penting dan berbahaya. Kedua, tokoh utama terlibat dengan mereka. Sudah, hanya sampai di situ saja.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas berjuang dengan “kampanye”-nya, namun pada akhirnya ada terlalu banyak yang disampaikan. Sisi positif film ini memang tampak dari keunikannya, selaras pula barangkali dengan gairah dan semangat dari karya sumbernya. Sayangnya film ini kurang maksimal dalam mempertimbangkan jumlah informasinya. Penonton memang bisa dengan mudah terpukau dengan konsep dan gagasan film ini. Juga dengan kehadiran Ajo, Iteung, dan Budi, ataupun peran Mak Jerot lewat akting seorang Christine Hakim. Sementara sisa-sisa tokoh lainnya dikenal ala kadarnya saja.