Sejauh mana seseorang mampu berjuang menerima dan mengikhlaskan, lalu bangkit dari kesedihan atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga akibat kecelakaan? Perbedaan cepat-lambat kemampuan seseorang mengikhlaskan dituangkan dalam Generasi 90-an Melankolia, yang diarahkan sekaligus ditulis sendiri skenarionya oleh Mohammad Irfan Ramlyke. Film drama keluarga yang juga mengandung adaptasi dari buku Generasi 90-an karya Marcella F.P. ini diproduksi oleh Tony Mulani Films dan Visinema Pictures. Sejumlah nama pemerannya antara lain, Aghniny Haque, Taskya Namya, Jennifer Coppen, Gunawan Sudrajat, Marcella Zalianty, dan Wafda Saifan.

Sebuah keluarga kecil senantiasa menjalani kehidupan bahagia yang tampak lancar dan saling menyayangi di suatu perkotaan. Kesenangan mereka atas kehidupan yang seolah akan berlangsung tanpa guncangan sampai masa tua, sirna dalam sekejab mata, saat muncul berita kecelakaan pesawat. Walhasil, orang-orang yang terbiasa hidup bahagia dari hari ke hari pun kebingungan dalam menyikapinya. Mulai dari sang ayah (Gunawan Sudrajat) dengan ketidaktahuannya tentang perasaan istrinya; ibu (Marcella Zalianty) yang tanpa sadar lebih banyak menghabiskan waktunya memperjuangkan keadilan; anak mereka (Ari Irham) yang malah mencari ‘penenang’ ketidakstabilan emosi dalam usia transisi (18 tahun); juga pacar (Jennifer Coppen) dan sahabat kakaknya (Taskya Namya) yang hanya bisa menuruti serta memaklumi kemauannya. Mereka semua, tidak tahu sikap yang tepat saat tragedi menimpa salah seorang anggota keluarga mereka.

Tak ada hubungannya antara Generasi 90-an dengan kondisi yang disebut sebagai “melankolia”. Sekalipun sang sutradara sempat menjelaskan keterkaitannya, tetap saja benang merah yang jelas tak ditemukan di antara keduanya. Walau memang konten lagu-lagu dari band teratas khas 90-an menjadi latar musik dalam Generasi 90-an Melankolia, namun film yang tercipta dengan beragam macam campuran konten ini rasanya adalah buah “pemanfaatan” keberadaan nama-nama terkenal yang sudah terlebih dulu ada, seperti buku Generasi 90-an dari Marcella F.P. dan lagu Sephia dari Sheila on 7.

Generasi 90-an Melankolia mengandung banyak hal yang ingin disampaikan dalam satu cerita film panjang. Topik-topik seputar Sephia dan percintaannya; seorang anak berusia transisi remaja ke dewasa awal yang tanggung dan tak bisa mengontrol emosi labilnya; dan sepasang orang tua yang lupa bahwa mereka punya dua anak dimampatkan secukup-cukupnya, sehingga yang tersisa tinggal potongan-potongan kecil dari mereka semua. Malahan film yang dibuka dengan tensi tinggi pada awal-awal babak ini, menggulirkan cerita tentang “bagaimana cara melalui keterpurukan dan kesedihan mendalam, akibat ada anggota keluarga yang menjadi korban kecelakaan pesawat?” pada sebagian besar kisahnya.

Baca Juga  I Love You from 38.000 Feet

Visinema sendiri punya ciri khas deep talk yang tak pernah gagal membawa rasa haru atau sedih. Film-filmnya acapkali meletakkan dialog dengan kalimat minim bertabur jeda, dalam cara bertutur penuh penghayatan pada sejumlah adegannya. Hampir seluruh film produksinya melakukan ini, seperti Keluarga Cemara, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, Eggnoid, Surat dari Praha, kedua film Filosofi Kopi serta Love for Sale juga memiliki itu. Keberhasilannya lalu ditingkatkan oleh kualitas akting para pemain. Demikian pula yang terjadi dalam Generasi 90-an Melankolia ini.

Kedalaman emosional yang kali ini dibangun bukan menggunakan konfrontasi temperamen antartokoh atau selalu diwarnai adegan marah-marah, melainkan aksi saling diam. Para sineas film ini cenderung memaksimalkan kekuatan ekspresi –terutama mata—para tokoh, baik saat sendirian maupun tengah bersama orang lain. Seakan-akan aura ketakutan selalu melingkupi satu sama lain untuk bisa bebas melisankan isi pikiran masing-masing. Sederhananya, mereka takut salah bicara. Keengganan karena khawatir akan memperkeruh suasana lewat ekspresi para tokoh semacam ini, terasa jelas pula dalam cara mereka berdialog. Deretan cara bertutur para tokoh inilah yang menyimbolkan adanya “kebingungan” menyikapi keadaan, yang pada akhirnya diungkap secara verbal oleh ibu Abby (Marcella Zalianty) ke putranya.

Dengan kedalaman dramatisasinya, Generasi 90-an Melankolia tak banyak mengeksplorasi keragaman unsur sinematik. Selain artistik, musik, akting, aspek pengambilan gambarnya terbilang menarik karena mengandung variasi visual untuk menyimbolkan satu hal, yakni jarak tokoh Abby dengan kedua orang tuanya pascatragedi kecelakaan pesawat. Walau pada akhirnya sang ibu menyatakan keberadaan jarak ini langsung kepada Abby, namun sebenarnya tanda-tanda kerenggangan itu sudah dibeberkan berulangkali jauh sebelum ‘pengakuan’ darinya.

Generasi 90-an Melankolia adalah gabungan dari empat inti cerita, yaitu mereka yang lahir sebagai generasi tahun 90-an, topik tentang melankolia, menjawab pertanyaan seputar “apa saja yang dilakukan keluarga korban kecelakaan pesawat”, serta kisah Sephia. Tindakan ini memang efektif dalam efisiensi langkah memfilmkan banyak ide sekaligus, tetapi pada saat yang sama juga merugikan sebab timbul kesan cocoklogi di sana. Seolah-olah, beragam cara ditempuh agar sebisa mungkin keempatnya dapat memiliki satu benang merah. Nyatanya, judul film ini saja sudah menunjukkan dua identitas yang berbeda. Lagipula kisah filmnya lebih banyak berisi persoalan melankolia. Topik tentang generasi 90-an tak kerap diangkat, kecuali sebatas pengantar perkenalan tokoh Abby dan Indah dan segala detail latar belakang mereka yang lahir pada tahun 90-an.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaRentang Kisah
Artikel BerikutnyaThe Sound of Metal
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.