Sound of Metal (2019)
120 min|Drama, Music|04 Dec 2020
7.7Rating: 7.7 / 10 from 143,840 usersMetascore: 82
A heavy metal drummer's life is turned upside down when he begins to lose his hearing and he must confront a future filled with silence.

Tak sedikit sosok protagonis utama yang memiliki gangguan pada pendengaran (tunarungu) masuk dalam medium film. Beberapa di antaranya yang banyak diapresiasi pengamat, sebut saja Children of the Lesser God, It’s All Gone Pete Tong, hingga Baby Driver. Pete Tong rasanya adalah yang paling mendekati dengan Sound of Metal hanya bedanya tokoh utamanya adalah seorang DJ. Sound of Metal diarahkan oleh sineas pendatang baru Darius Marder dengan mengkasting nama-nama tenar, yakni rapper dan aktor Inggris, Riz Mahrez serta Olivia Cooke.

Ruben Stone (Mahrez) adalah seorang drumer grup metal dengan vokalis kekasihnya sendiri, Lulu (Cooke). Akrab dengan suara bervolume super keras, suatu hari Ruben merasa ada yang tak beres dengan pendengarannya. Dokter pun menganjurkan untuk mundur dari semua aktivitas yang akan memperparah pendengarannya. Frustasi dan emosional akhirnya membawa Ruben masuk ke dalam komunitas tunarungu setelah sang pacar memaksanya. Kehidupan malam dan hingar bingar yang dulu akrab dengan Ruben, kini berubah drastis di kehidupan barunya.

Kisah macam ini yang biasanya akrab dengan sisi biografi, kini rupanya tidak. Ini mengejutkan, karena naskahnya sendiri tidak lantas over dramatik dalam bahkan cenderung natural layaknya biopic. Kisahnya memang bisa mengarah ke mana saja. Sound of Metal bukan kisah tentang seorang musikus jenius sekelas Beethoven yang akhirnya tunarungu lalu menemukan karya masterpiece-nya, namun adalah bagaimana sang protagonis mencoba berdamai dengan kondisinya. Sebuah proses yang panjang serta melelahkan, dan sang sineas pun mengakhiri filmnya dengan begitu indah dan sinematik.

Baca Juga  The Nest

Di luar pencapaian mengesankan dari sang bintang, Mahrez yang tampil begitu ekspresif, Sound of Metal adalah satu contoh ideal bagaimana suara (efek suara) bisa dieksplorasi sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan naratifnya. Banyak momen silence dalam filmnya dan ini tentu bisa membuat penonton awam tak merasa nyaman. Suara subyektif mewakili kuping Ruben yang telah cacat sehingga kita sungguh dibuat frustasi karena seolah ikut merasakan penderitaannya. Hampir sepanjang filmnya kita bisa merasakan dan mendengar apa yang Ruben rasakan dan dengar. Jika kamu menonton film ini hanya dengan audio sistem seadanya, rasanya tak akan bisa maksimal menikmati film ini. Bioskop adalah yang paling ideal. Suara atmosfir (ambience) dan efek suara sungguh berperan penting dalam membentuk film ini.

Sound of Metal merupakan pengalaman estetik unik dari sosok protagonis tunarungu dengan penampilan memukau dari Riz Ahmed. Tak hanya kisahnya yang menggugah, namun secara estetik, Sound of Metal adalah bisa dibilang adalah salah satu film paling sinematik dari aspek suara. Kisahnya memberi pelajaran berharga untuk bisa melihat batasan fisik tubuh yang kita miliki untuk tidak larut dalam ambisi tubuh yang berlebihan. Tubuh akan menjerit jika kita terus memaksanya. Ruben memahaminya dengan jalan yang berliku dan penuh penderitaan. Kita pun kini hidup di situasi yang sulit dan semoga kelak kita bisa memetik pelajaran dari pengalaman luar biasa ini. Stay safe and Healthy!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaGenerasi 90-an Melankolia
Artikel BerikutnyaMonsters of Man
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.