Negara India kita kenal dengan keragaman budayanya. Tercatat belasan bahasa lokal yang diakui disana, seperti Hindi, Tamil, Bengali, dan sebagainya, itu pun belum termasuk sub-bahasa mereka. Di India juga terdapat beragam agama dan aliran kepercayaan lainnya, yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen, Yahudi, Zen, Sikh, dan lainnya. Perfilman India sendiri merupakan salah satu yang tertua di Asia yang dibagi atas beberapa wilayah industri sesuai dengan bahasa lokal yang mereka gunakan, yakni Hindi, Bengali, Tamil, Marathi, Telugu, dan belasan lainnya. Industri film Hindi adalah yang terbesar di India yang berpusat di kota Mumbai (dulu Bombay), atau lebih sering kita kenal dengan Bollywood. Tampak dari sejarah sinema India dari masa ke masa kita dapat melihat bagaimana kultur lokal mempengaruhi pencapaian naratif dan estetik film serta industri film mereka secara keseluruhan.

Awal Perkembangan Sinema India

Film pertama kali diperkenalkan di India pada tanggal 7 Juli 1986 melalui film-film pendek garapan Lumiere Bersaudara. Setelahnya film berkembang subur dengan dibangunnya tempat eksibisi film di kota-kota besar di India, seperti Madras (Chennai), Mumbai, dan Calcutta. Setelah beberapa tahun para pembuat film memproduksi film pendek dan dokumenter pendek, akhirnya pada tahun 1913 diproduksi film panjang pertama mereka, berjudul Raja Harishchandra. Sang sineas, Dadasaheb Phalke, konon terinspirasi dari film biblikal barat, Life of Christ, dan mencoba mengadopsinya ke budaya India. “…kita bisa membuat film tentang Rama dan Khrisna” ujar Phalke yang juga penganut Hindu. Raja Harishchandra berkisah tentang Raja Khrisna yang mengorbankan kekuasaan dan keluarganya untuk membaktikan dirinya sepenuhnya pada Sang Pencipta. Film ini sukses komersil dan unsur mitologis kelak menjadi dasar bagi perfilman India hingga kini. Atas jasanya bagi dunia perfilman, Phalke kini dianggap sebagai Bapak Sinema India.
Pada dekade 20-an, industri film secara bertahap mulai berkembang di hampir semua kota-kota besar di India, seperti Mumbai, Calcutta, dan Madras. Mumbai, sejak tahun 1925 telah berkembang menjadi pusat industri film terbesar di India. Pada dekade berikutnya studio-studio film baru mulai bermunculan dan lambat laun mereka mulai mengadopsi sistem studio Hollywood. Sukses komersil film-film mereka membuat para pemilik studio mampu memperbarui teknologi, infrastruktur, serta membangun teater-teater baru. Ketika teknologi suara datang, film bicara dengan cepat menggantikan film bisu. Tercatat Alam Ara (1931) garapan Ardeshir Irani sebagai film bicara pertama India. Film bicara berdurasi lebih dari dua jam ini penuh dengan lagu dan tari yang kelak merubah industri sinema India secara menyeluruh. Mengapa musikal? Karena hampir di seluruh aspek kehidupan (ritual) masyarakat India tidak pernah lepas dari unsur musik, lagu, dan tari.

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaPather Panchali, Film Neorealisme ala Bengali
Artikel BerikutnyaDari Redaksi mOntase
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.