Pather Panchali (1955)
125 min|Drama|26 Aug 1955
8.2Rating: 8.2 / 10 from 39,423 usersMetascore: N/A
Impoverished priest Harihar Ray, dreaming of a better life for himself and his family, leaves his rural Bengal village in search of work.

Pather Panchali (1955) adalah film pembuka dari trilogi Apu yang merupakan garapan sutradara besar India, Satyajit Ray. Naskah film ini diadaptasi dari novel klasik Bengali berjudul sama karya Bibhutibhushan Bandopadhyay. Film berbujet minim ini konon diproduksi selama tiga tahun lebih akibat kendala finansial. Film ini juga menggunakan banyak pemain amatir serta kru yang belum berpengalaman. Hebatnya, film ini kelak dianggap banyak pengamat sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa serta mengukuhkan Ray sebagai salah satu sineas dunia paling berpengaruh.

Kisah filmnya berlatar tahun 1920-an di sebuah dusun terpencil di wilayah Bengali, India. Cerita film terpusat pada sebuah keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sang ayah adalah seorang pendeta dan penyair yang tidak berpenghasilan tetap. Sementara sang ibu kesehariannya ditinggal oleh sang suami ditemani oleh dua anaknya, Durga dan Apu, juga kakak iparnya, Bibi Indir. Cerita film secara sederhana hanya mengikuti suka duka perjalanan kehidupan keluarga tersebut dalam menjalani keseharian dengan dominan melalui sudut pandang Durga dan Apu.

Seperti juga The Bicycle Thieves yang menjadi film inspirasi utama Ray, Pather Phancali juga sama-sama mengangkat tema kemiskinan. Plot mengalir tanpa masalah dan konflik yang jelas. Tak ada karakter antagonis dan protagonis. Kadang sang ibu pun bisa menjelma sebagai karakter “jahat” jika ia tengah kesal. Semua aksi dan tindakan tokoh-tokohnya semata-mata dilandasi masalah kemiskinan. Sang ibu demikian frustasi karena suaminya tidak mampu menafkahi keluarganya sementara ia sendiri harus memberi makan putra-putrinya ditambah kondisi tempat tinggal yang rusak berat. Kekesalan sang ibu seringkali ia tumpahkan ke Bibi Indir. Sementara Durga sejak kecil sering mencuri buah tetangganya tanpa sepengetahuan ibunya. Seperti lazimnya film-film neorealis, Pather Phancali memiliki ending powerful yang sangat mengenaskan seolah melengkapi mimpi buruk keluarga tersebut.

Baca Juga  Train to Busan

Satu hal yang istimewa adalah Ray beserta mayoritas krunya yang sama sekali belum berpengalaman ternyata mampu memproduksi sebuah film dengan kualitas estetik demikian tinggi. Sinematografer Subratha Mitra adalah seorang fotografer yang sebelumnya bahkan belum pernah menyentuh kamera film namun shot-shot-nya bisa disandingkan dengan karya-karya sineas sekelas Orson Welles dan William Wyler. Mitra menyukai efek kedalaman gambar melalui permainan bidang foreground dan background. Teknik ini seringkali efektif memberikan efek keterasingan (“jarak”) antara satu karakter dengan karakter lainnya atau dengan lingkungannya. Ray dan Mitra pernah bekerja bersama sineas besar Perancis, Jean Renoir. Pengaruh sang mentor tampak melalui pergerakan kamera (terutama panning) yang efektif dan dinamis. Dari sisi pemain, semua karakter bermain gemilang, terutama sang ibu yang diperankan oleh pemain amatir, Karuna Banerjee, serta sang bibi berwajah “seram” yang diperankan aktris gaek, Chunibala Devi. Satu lagi pencapaian estetik yang tak kalah pentingnya adalah ilustrasi musik menyentuh yang diaransemen oleh pemain sitar, Ravi Shankar.

Pather Phancali bukankan semata-mata film tentang kemiskinan namun lebih jauh berbicara tentang kehidupan, yakni ketulusan, cinta, kesetiaan, kelahiran, serta kematian. Kereta api menjadi simbol kerasnya kehidupan bagi seorang Apu yang kelak semakin “mendekat” di dua film berikutnya.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaLagaan, Film Masala Berselera Barat
Artikel BerikutnyaSekilas Sinema India
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.