Setelah enam tahun absen James Bond muncul melalui reebot, Casino Royale, menggunakan pendekatan berbeda dengan tradisi Bond sebelumnya. Bond masih muda, dan pada awal sekuen pembukanya kita bisa melihat bagaimana ia bersusah payah ketika pertama kali membunuh untuk mendapatkan status 007. “Well you needn’t worry ,the second is..” Bang! “Yes.. considerably”, ujar Bond ringan. Sebuah sudut pandang yang sangat menarik, terutama bagi para fans sejati Bond, setelah sekian lama sejak Dr.No (Connery) hingga Die Another Day (Brosnan) selalu menampilkan sosok Bond yang telah matang secara mental. Casino Royale singkatnya adalah pelajaran kecil buat Bond untuk tidak memasukkan hati dan perasaan serta tidak mempercayai siapapun dalam tugasnya. Namun justru sisi manusiawi Bond inilah yang menjadi kekuatan terbesar filmnya.

Di awal kisahnya diperlihatkan sosok Bond yang dingin hingga ia bertemu dengan Vesper yang cerdas dan jelita. “Don’t worry, you’re not my tipe” kata Bond dingin, namun sejalan cerita dan kedekatannya dengan Vesper perasaan Bond pun berubah. Saking besar rasa cintanya, Bond bahkan memutuskan untuk keluar dari MI6 dan memilih hidup normal bersama Vesper. Tak disangka Vesper masih menyimpan rahasia dan terpaksa mengkhianati Bond. Vesper akhirnya tewas tragis dipelukan Bond dan sang jagoan hanya bisa meratapi wanita yang sangat dicintainya. Sikap Bond berubah setelah ini. “Jobs done.. the b*tch is dead” ujar Bond dingin pada M. Adegan akhir memperlihatkan Bond yang seolah baru terlahir kembali. Sosok yang keras dan dingin, sambil mengucapkan kalimat ikonik, “the name is Bond.. James Bond” dengan iringan musik tema Bond yang baru muncul hanya pada momen ini.

Film James Bond berikutnya, Quantum of Solace, konsepnya sama sekali tidak seperti yang kita antisipasi. Fans Bond yang berharap kisah konvensional yang menjadi tradisi filmnya ternyata hanya tinggal harapan. Quantum of Solace rupanya adalah kelanjutan kisah dari Casino Royale. Bahkan sekuen awal film ini pun benar-benar menyambung dari scene akhir film sebelumnya. Inti plotnya adalah menguak organisasi misterius yang mendalangi semua aksi yang belum terjawab di film sebelumnya. Plot ini juga menjadi media bagi pematangan karakter Bond yang rupanya masih trauma dengan kisah cintanya dengan Vesper. Sosok James Bond sejati yang berkesan telah terbentuk pada akhir film Casino Royale ternyata hanya sesaat pada momen itu saja.

Tanpa mematuhi arahan M, Bond dengan membabi buta, emosional, dan brutal, menghabisi semua petunjuk yang ada. Walau akhirnya ia memang menemukan dalang organisasi yang ia cari namun prosedur yang digunakan tak lazim bagi agen sekelas Bond. Seorang kritikus mengatakan James Bond bukan Jason Bourne yang menggunakan cara fisik untuk mendapatkan apa yang ia mau. Opini ini ada benarnya. Quantum of Solace adalah film aksi murni yang alurnya bergerak dengan cepat. Hal yang tak biasa bagi kebanyakan film Bond. Tidak salah jika ada yang menyebut Bond semata hanya melakukan aksi balas dendam setelah semua yang terjadi pada Vesper. Namun jika kita melihat dari beberapa sisi, Bond sejatinya melakukan semuanya ini dengan kesadaran dan penuh perhitungan sekalipun menyalahi prosedur. Seringkali dewi keberuntungan berpihak padanya sehingga ia terlepas dari maut. Intinya, dengan caranya, Bond telah melakukan tugasnya dengan baik. Kalung milik Vesper yang ia buang pada adegan akhir, menjadi bukti bahwa ia telah melupakan kekasihnya.

Baca Juga  Perahu Kertas 2, Hanya sekedar “Berlabuh”

Fans yang berharap Bond kembali seperti tradisi filmnya bisa jadi kecewa pada film Bond berikutnya, Skyfall. Film ini berbeda sama sekali dengan dua film sebelumnya. Tidak seperti kebanyakan film Bond, Skyfall lebih menitikberatkan pada aspek drama ketimbang aksi. Plotnya pun tidak menyambung dengan dua film sebelumnya. Skyfall berdiri sendiri dengan gaya dan pendekatannya seolah me-reebot kembali dua kisah Bond sebelumnya, bahkan boleh dikatakan me-reebot semua film Bond yang pernah ada. Kematian dan kelahiran menjadi esensi pokok film Bond ke-23 ini. Skyfall menjadi film yang sempurna untuk merayakan lima puluh tahun seri franchise populer di dunia ini.

Skyfall dibuka dengan sekuen aksi seru yang berujung pada “kematian” Bond. Lagu tema yang dibawakan syahdu oleh Adele mengiringi kemasan grafis title sequence pembuka film yang juga bernuansa “kematian”. Setelah waktu berselang, Bond keluar dari persembunyiannya disaat keberadaan MI6 diujung tanduk terancam bubar. Sisi menarik kisahnya justru disini, bukan pada sosok Bond (sosok yang telah matang setelah dua film sebelumnya) namun pada organisasi MI6, khususnya sosok M, serta masa silamnya yang jaya dan kelam. Sisi manusiawi justru muncul pada hubungan Bond dengan M, lalu M dengan tokoh peran antagonisnya, yakni Raoul Silva, yang diperankan karismatik oleh Javier Bardem. Konflik MI6 dan M dengan Silva menjadi penghubung antara masa lalu dan kini, baik M maupun ikon “James Bond” sendiri.

Separuh awal plot setelah sekuen pembuka berjalan lambat dan cenderung membosankan karena segala sesuatunya yang serba masih tak jelas. Kisahnya menjadi semakin menarik ketika Silva muncul dan tempo plot pun menjadi cepat. Bond menjadi satu-satunya sosok pelindung M ketika dengan semua teknologi dan kecerdasan yang mereka (MI6) miliki tak mampu melawan Silva. Bond bersama M kembali ke masa lalu mereka, bahkan mengendarai Aston Martin DB5 yang menjadi simbol era jaya mereka. Skyfall menjadi benteng terakhir untuk melawan Silva. Skyfall dan Aston Martin DB5 akhirnya luluh lantak namun Bond tidak pernah menyerah. “Do you see what comes of all this running around, Mr. Bond? All this jumping and fighting, it’s exhausting!” ujar Silva. Dalam sebuah momen dramatik, Silva akhirnya takluk namun Bond harus kehilangan M.

Ucapan Silva seolah mengolok sosok James Bond sebagai ikon populer yang telah “old fashion”. M dalam pernyataannya menyatakan keberadaan MI6 kini justru dibutuhkan lebih dari sebelumnya karena sosok musuh yang semakin kabur, entah lawan atau kawan. Pernyataan M secara tak langsung menjawab relevansi keberadaan sosok James Bond sebagai ikon kultural masa kini. Secara brilian, Skyfall tidak hanya berdiri sendiri sebagai salah satu film Bond terbaik namun juga sekaligus sebagai tribute bagi seluruh film Bond yang mewakili masanya. Pada adegan akhir kita disajikan sebuah adegan template yang menjadi tradisi film-film Bond era silam. Ketika M menanyakan apakah ia siap menerima misi selanjutnya, Bond menjawab sambil tersenyum, “with pleasure sir..”. James Bond baru telah terlahir kembali.

Artikel SebelumnyaBest Bond Girls
Artikel BerikutnyaThe Spy Who Loved Me, Formula Sukses Tradisi Bond
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.