James Bond hingga adalah salah satu ikon fenomenal dalam sejarah industri film. Sejak era 60-an hingga kini telah 23 film James Bond diproduksi dan telah meraih total $ 5 bilyun menjadikan seri ini adalah salah satu yang tersukses sepanjang sejarah sinema. Orang kebanyakan menilai film-film James Bond adalah film aksi semata namun faktanya lebih dari ini. Karakter James Bond atau agen 007 menjadi simbol yang lebih besar dari namanya sendiri. Film-film James Bond menjadi sebuah gaya dan memiliki tradisi serta konsep yang nyaris sama dari film ke film sekalipun para pembuatnya berbeda.

Era Sean Connery

Karakter James Bond diambil dari novel karya penulis Inggris, Ian Fleming yang muncul pertama kali tahun 1953. Karakter ini diinspirasi dari kehidupan Fleming sendiri yang sebelumnya adalah seorang perwira badan intelejen angkatan laut Inggris. Pengalamannya ini yang membuat novel James Bond memiliki kedalaman dan detil cerita yang mengagumkan. Fleming pertama kali menulis novel Bond, Casino Royale di tahun 1953. Novelnya laku keras di Inggris dan berlanjut dengan sebelas novel Bond lainnya. Tercatat Octopussy and The Living Daylights (1966) adalah karya terakhirnya, dan dirilis setelah Fleming wafat akibat serangan jantung. Sepeninggal Fleming, puluhan novel Bond masih dilanjutkan oleh beberapa penulis lain hingga kini.

Awal kemunculan James Bond di medium film ditandai dengan kolaborasi antara dua produser, Harry Saltzman dan Albert R. Broccoli. Setelah United Artist (UA) memberikan lampu hijau, Saltzman dan Broccoli membentuk dua perusahaan, yakni Danjaq dan Eon Productions pada tahun 1961. Danjaq adalah pemegang hak cipta James Bond sementara Eon adalah studio yang memproduksi filmnya. Saltzman dan Broccoli awalnya menginginkan novel Thunderball untuk difilmkan terlebih dulu namun karena masalah legalitas akhirnya dipilih Dr.No. Sineas Inggris, Terence Young dipilih menjadi sutradara karena dianggap mampu menerjemahkan James Bond secara sempurna karena ia mengerti benar seluk-beluk karakter Bond.

Pencarian aktor untuk karakter James Bond juga bukan hal mudah. Saltzman dan Broccoli awalnya menginginkan bintang besar Hollywood, Cary Grant untuk peran ini namun gagal karena sang bintang hanya mau bermain dalam satu film saja. Dana Broccoli, istri Broccoli menyarankan peran ini sangat pas diperankan aktor muda asal Skotlandia, Sean Connery. Setelah bertemu dengan sang aktor, Saltzman dan Broccoli akhirnya memutuskan untuk mengkasting Connery. Fleming sendiri awalnya ragu-ragu dengan pilihan ini namun segalanya berubah setelah sukses filmnya. Kasting penting lainnya adalah Ursula Andress yang bermain sebagai wanita pendamping Bond. Joseph Wiseman dipilih Saltzman untuk menjadi tokoh antagonis, Dr. No. Lalu dua kasting penting lainnya, adalah Bernard Lee dan Loius Maxwell sebagai M dan sekretaris M, Miss Money Penny, mereka bermain hingga film-film Bond mendatang.

Dengan bujet sebesar $1 juta dari UA, Dr. No (1962) akhirnya diproduksi dan hasilnya sukses luar biasa dengan meraih hampir $60 juta di seluruh dunia. Sean Connery yang semula banyak diragukan penampilannya ternyata bermain karismatik sebagai agen 007 dengan segala sikap, gaya, selera, dan attitude-nya. Tradisi film James Bond yang kelak turun-temurun nyaris seluruhnya telah tersaji di film ini seperti, gun barrel sequence, opening title yang khas lengkap dengan musik tema Bond yang melegenda garapan John Barry, lalu setting yang megah, hingga ruang kantor M dan sekretarisnya. Film ini juga dikenang dengan entrance sosok Bond dengan kata-kata abadi, “Bond, James Bond”. Sukses film ini juga mempopulerkan genre spionase (agen rahasia) dan tentu saja novelnya yang semakin laris. Connery menjadi simbol ikon maskulin baru dan Ursula Andress hingga kini disebut-sebut “ best Bond girl” dan bikini yang dikenakannya memiliki dampak besar pada fashion pada masa ini.

Sukses Dr. No membuat UA menyetujui produksi sekuelnya, From Russia with Love (1962) dengan bujet $2 juta. Gaji Connery melonjak jauh plus bonus. Terence Young masih duduk di bangku sutradara. Plotnya kini menampilkan musuh besar Bond, Ernst Blonfeld, pimpinan kelompok SPECTRE. Bond Girl kali ini menampilkan runner up miss universe asal italia, Daniela Bianchi. Selain karakter M dan Monney Penny yang telah muncul sebelumnya kini karakter Q muncul diperankan Desmond Llwelyn, membawakan gadget canggih khas Bond. Llwelyn kelak bermain sebagai Q hingga film Bond era 90-an. From Russia with Love juga menetapkan tradisi film-film Bond, seperti adegan pre-opening credit, opening title sequence bertema “wanita”, musik dan lagu tema dengan lirik yang khusus untuk filmnya, adegan aksi klimaks yang seru plus adegan aksi kejutan pasca klimaks, lalu pada end credit tertulis “James Bond will Return”. Banyak pengamat berpandangan From Russia with Love adalah salah satu film Bond yang terbaik. Secara komersil pun film ini melebihi pendapatan Dr. No, yakni hampir $80 juta.

Goldfinger (1964) adalah film Bond ketiga yang dibintangi Sean Connery dan kali ini disutradarai Guy Hamilton. Film ini tercatat adalah film blockbuster Bond pertama dengan bujet besar pada masanya, yakni $3 juta. Setting cerita yang dominan di Amerika dinilai untuk menarik penonton disana dan nyatanya sukses besar dengan meraih total $124,9 juta. Goldfinger membawa pengaruh besar pada film-film Bond berikutnya dengan lebih menitikberatkan pada gadget yang serba canggih. Film ini untuk pertama kalinya menampilkan mobil super modern, Aston Martin DB5 yang anti peluru serta dilengkapi senapan mesin, kursi pelontar, alat “GPS”, dan lainnya. Goldfinger juga semakin membakukan format Bond, seperti lagu tema yang dibawakan pada opening credit, opening sekuen yang tidak berhubungan dengan plot utama, dapur gadget Q, antagonis karismatik bersama asistennya yang kuat secara fisik, bond girl yang dibunuh musuh di separuh awal, kalimat legendaris “shaken, not stirred”, serta sedikit unsur komedi. Bersama From Russia with Love, Goldfinger dianggap hingga kini adalah dua film Bond terbaik. James Bond menjadi fenomena baru dalam industri film, genre spionase khususnya.

Baca Juga  The Spy Who Loved Me, Formula Sukses Tradisi Bond

Setelah ini film-film James Bond nyaris selalu tipikal dengan pola plot yang sama dan segala gaya dan atribut sinematiknya. Bedanya adalah gagdet yang lebih canggih, musuh yang lebih ambisius, adegan aksi yang lebih seru, Bond girls yang seksi serta dukungan bujet produksi yang semakin besar. Thunderball (1965), film Bond keempat Connery, menghabiskan $11 juta namun secara fantastis meraih $141 juta. Jika angka ini disesuaikan nilai inflasi kini maka tercatat film ini meraih hampir $1 bilyun, penghasilan terbesar yang diraih film James Bond manapun. Sepertiga durasi filmnya menampilkan sekuen aksi dalam air yang dikoreografi dengan sangat baik. Film ini juga tercatat sebagai film terakhir yang disutradari Terence Young. Thunderball juga tercatat film Bond pertama yang mampu meraih piala Oscar, yakni untuk efek visual terbaik.

Saltzman dan Broccoli menghadapi masalah besar sebelum film kelima Bond diproduksi. Connery mengaku lelah bermain sebagai Bond namun dua produser tersebut akhirnya mampu kembali menarik sang bintang setelah menaikkan upah sang bintang, disaat bersamaan mereka juga mulai mencari opsi aktor lain untuk Bond berikutnya. You Only Live Twice (1967) disutradarai oleh Lewis Gilbert dengan bujet $9.5 juta. Film ini tercatat adalah film Bond pertama yang plotnya banyak mengabaikan novel Fleming dengan mereduksi karakter dan lokasi cerita di novelnya. Film ini tercatat film Bond pertama yang dominan menggunakan satu wilayah negara dalam kisahnya, yakni Jepang. Namun film ini tercatat untuk pertama kalinya menggunakan setting megah berskala kolosal. Nuansa dan budaya Jepang menjiwai filmnya bahkan hingga ke musik dan lagu temanya. Film ini sendiri sukses besar dengan meraih $111 juta di seluruh dunia. Di tahun yang sama juga dirilis film Bond lainnya produksi non EON, Casino Royale, merupakan komedi satir tidak seperti film-film Bond produksi EON.

Connery yang memang sudah tak berminat lagi bermain sebagai Bond membuat Saltzman dan Broccoli kelimpungan mencari penggantinya. Beberapa nama disebut namun akhirnya dipilih aktor dan model asal Australia, Goerge Lazenby. Editor lima film Bond sebelumnya, Peter R. Hunt dipercaya menjadi sutradara untuk film berikutnya, On Her Majesty’s Secret Service (1969/OHMSS). Saltzman dan Broccoli menginginkan Bond kembali ke novelnya dengan pendekatan yang lebih realistik. Gadget khas Bond minim digunakan, adegan aksi seru baru mulai muncul pada sepertiga akhir film, lalu kental unsur roman. Dalam kisahnya Bond benar-benar jatuh hati pada seorang gadis dan menikahinya. Ending-nya pun benar-benar dramatik menjadikan OHMSS adalah film Bond yang paling “gelap” dan dramatik hingga kelak Casino Royale (2006). Sekalipun plotnya dianggap berani karena menampilkan non happy ending namun Lazenby dianggap menjadi titik lemah karena pengalaman aktingnya yang minim. Lazenby sendiri yang ditawari kontrak untuk enam film bond berikutnya menolak bermain kembali. Film ini juga tercatat sebagai film Bond yang paling rendah pendapatan kotornya.

Kurang suksesnya OHMSS serta kepergian Lezenby membuat duo produser Bond menginginkan kembalinya kejayaan film Bond seperti era Goldfinger. Connery “dipaksa” kembali bermain sebagai Bond dengan menuruti fee monumental yang diinginkan sang bintang, yakni £ 1.25 juta (saat ini setara £ 20 juta). Ini adalah penampilan terakhir Connery sebagai James Bond produksi EON Productions. Film ketujuh Bond, Diamonds Are Forever (1971) kembali mempercayakan sutradara Golfinger, Guy Hamilton dengan bujet produksi, $7.2 juta. Ini adalah plot film Bond terakhir yang menampilkan tokoh antagonis utama, Blofeld bersama SPECTRE. Sekali pun film ini sukses komersil namun banyak pengamat menganggap ini adalah salah satu film Bond yang terburuk, terutama karena tone filmnya yang tidak serius.

Next: Era Roger Moore

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaFrom Russia With Love
Artikel BerikutnyaDari Redaksi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.