The Artist menjadi film bisu pertama yang meraih Oscar film terbaik sejak penyelenggaraan Oscar pertama, 84 tahun lalu, memenangkan film bisu, Wings (1928).
Menarik bagaimana film bisu bisa mencuri perhatian masyarakat kontemporer yang sudah ramah dengan sinema 3D. Banyak yang menganggap The Artist adalah sebuah surat cinta pada era film bisu.
Di tengah hangatnya pembicaraan soal The Artist rasanya pas bila kita menengok perkembangan film bisu di tanah air. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, negeri kita yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda tak ketinggalan dengan perkembangan teknologi baru bernama: sinema.
Hanya berselang 5 tahun setelah Lumiere Bersaudara mempertunjukkan film pertama kalinya di Paris, Perancis, masyarakat Batavia (nama Jakarta ketika itu) pada Desember 1900 sudah menikmati pertunjukan film. Waktu itu, di Tanah Abang Kebon Jahe (Manage), warga Batavia nonton gambar idoep “Sri Baginda Maharatu Belanda bersama Pangeran Hertog Hendrick memasuki ibukota negeri Belanda, Den Haag.”
Pada tahun-tahun permulaan ini, bioskop belum punya tempat tetap. Pemutaran berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti menyewa gedung milik Kapten Cina Tan Boen Koei. Yang sederhana diputar di lapangan terbuka seperti di lapangan Mangga Besar atau di los pasar Tanah Abang. Pertunjukan di alam terbuka karcisnya biasanya lebih murah. Bagus jeleknya proyektor film juga menentukan harga karcis. Tempat duduk pria dan wanita dipisah.
Seiring waktu, mulai ada pengusaha yang masuk bisnis bioskop. Selain bioskop keliling juga ada gedung yang khusus memutar film. Sesudah film punya gedung permanen, muncul bioskop sesuai kelas ekonomi dan status masyarakat yang beda-beda. Di setiap kota besar, ada bioskop yang khusus bagi kalangan Eropa saja. Di Jakarta ada bioskop Deca Park, di Bandung ada di Gedung Concordia. Di Jakarta juga, di seberang masjid Istiqlal sekarang ada bioskop Capitol yang merupakan bioskop kelas satu. Selain itu, di Pasar Senen, ada bioskop Kramat Theater yang merupakan bioskop kelas 2. Lalu ada juga bioskop kelas 3 bernama Rialto di Pasar Senen.Untuk orang kelas bawah, lebih asyik nonton film ke bioskop kelas 3, karena mereka tak perlu jaim (jaga image).
Seiring waktu pula, tontonan yang ada bukan hanya film dokumentasi. Tapi juga film cerita. Semuanya film bisu alias tak bicara. Di majalah Intisari tahun 1977, wartawan sekaligus sineas era sebelum kemerdekaan Tanu TRH bercerita di bagian utara Kota, benedenstad, di kalangan kelas bawah, kebanyakan diputar film-film action terutama film-film western (cowboy). Sedang di bioskop kalangan atas, di wilayah selatan kota, bovenstad, lebih disukai film drama.
Aktor kesayangan penonton yang suka film action masa itu adalah Eddie Polo, Tom Mix, Harry Cabot, dan Hoot Gibson. Eddie Polo di masyarakat sini digelari Si Mata Banteng. Eddie Polo juga disebut sebagai “Raja dari segala jago seri”.
Seri? Maksudnya? Ah, ini dia. Film-film action itu berseri. Lebih tepatnya lagi, menurut ukuran zaman kiwari tergolong film pendek. Film-film Eddie Polo juga tak diedarkan, atau tepatnya diiklan dengan judul Inggris. Judulnya dialih-bahasakan biar bisa diterima masyarakat luas. Umpamanya, film Rasia Ampat yang diputar September 1923 menyajikan seri ke-23 dan 24. Mengecek situs imdb yang dimaksud seri jagoan Eddie Polo mungkin saat yang bersangkutan memainkan karakter Cyclone Smith sampai berkali-kali dalam serangkaian film pendek.
Seperti ditulis Misbach Yusa Biran di buku Bikin Film di Jawa 1900-1950 (terbit 2009), importir film masa itu tak mau bikin pusing pelanggannya dengan memberi judul asli berbahasa asing. Cukup beri judul yang menarik, orang pasti datang. Untuk film action berisi perkelahian diberi judul Oedjan Djotosan. Film yang banyak berisi kejar-kejaran mobil diberi judul Adoe Mobil. Ada juga film yang tidak mengandung action, diberi judul Ditoeloeng Singa, tapi hanya bertahan sehari karena bioskop sepi.
Selain film Barat, masyarakat Batavia, terutama yang tinggal di daerah pecinan, juga akrab dengan film-film dari negeri Tiongkok. Pada 1923 di Batavia sudah ada importir film Cina. Di buku yang ditulis Misbach dicontohkan iklan importir film Cina yang mewartakan sudah menerima rupa-rupa film-film yang diimpornya dari Tiongkok. Film-film Tiongkok itu “Ada memberi pemandangan keloetjoean dan keheranan jang ada dimaenkan oleh acteur totok jang sudah terkenal.” Ia menyebut judul-judul film yang diimpornya dalam bahasa Melayu: “Akalnja Satoe Tukang Kajoe akan Mendapatkan Isteri”, “Oepahnja Anak jang Berbakti”, ‘Charlie Chaplin Tiongkok”, “Pemandangan Indah di Gunung Tai San”, “Mantoe yang Terseksa”. Apa judul-judul asli film-film itu tak diketahui.
Tak hanya jadi penonton, kita juga lantas membuat film. Film cerita pertama yang dibuat di Hindia Belanda adalah Loetoeng Kasaroeng tahun 1926. Pembuatnya masih orang asing (L. Heuveldorp dan G. Krugers). Dicatat di buku Katalog Film yang ditulis JB Kristanto, walau pembuatnya orang asing, ini film cerita pertama di Indonesia yang menampilkan cerita asli Indonesia. Duo Heuveldorp dan Krugers masih membuat film setahun kemudian, Euis Atjih. Pada 1928, Wong Bersaudara menyelesaikan pekerjaan film yang semula dibuat sineas Amerika, Len H. Ross. Filmnya berjudul Lily van Java (1928). Pembuat filmnya memproklamirkan perusahaan film mereka sebagai “kongsie pembikinan film pertama di Indonesia.”
Sampai tahun 1930 film yang dibuat di tanah air bisu. Film suara dibuat G. Krugers pada 1931 berjudul Atma De Vischer. Selain Krugers, sineas yang juga membuat film suara dengan alat percobaan seadanya adalah The Teng Chun lewat filmnya Boenga Roos dari Tjikembang (1931). Pengerjaan film dilakukannya seorang diri. Ia juru kamera, sutradara, penulis, dan lain sebagainya. Alat perekam suara yang digunakan pun hasil otak-atik sendiri.
Hasilnya kurang memuaskan. Karena suaranya buruk, film ini dikritik habis oleh kritikus film/wartawan masa itu Andjar Asmara di koran Tjahaja Timoer. Menurut Teng Chun, seperti dikutip Misbach, kegagalan filmnya karena suaranya buruk dan sangat berisik.
Tapi ia tidak ambruk oleh kegagalannya. Teng Chun kemudian membuktikan jadi pengusaha film yang berhasil hingga Jepang datang. Misbach mencatat, faktor penting film Teng Chun adalah kelahiran “film bicara”. Era film bisu tamat di tahun itu.