Soegija (2012)
115 min|Biography, Drama, History|07 Jun 2012
6.3Rating: 6.3 / 10 from 142 usersMetascore: N/A
This movie follows the story of Dutch East Indies' (now Indonesia) first indigenous bishop, Albertus Soegijapranata SJ, from his inauguration until the end of Indonesia's independence war (1940-1949).

Soegija adalah film biografi garapan sutradara Garin Nugroho yang selama ini kita kenal selalu memproduksi film-film nonmainstream. Konon ini adalah film termahal yang pernah diproduksi oleh sang sutradara. Tidak seperti karya-karya Garin sebelumnya yang sangat sepi pengunjung kali ini lumayan sukses menjadikan Soegija adalah film sang sineas yang terlaris.

Plot utama berkisah tentang perjalanan hidup dan sepak terjang uskup Soegijapranata, (Nirwan Dewanto) adalah uskup pribumi pertama yang tercatat sebagai pahlawan nasional karena jasa-jasanya memperjuangkan kemerdekaan. Plot filmnya juga mengisahkan beberapa karakter di seputar tokoh utama. Mariyem (Annisa Hertami Kusumastuti) adalah seorang perawat yang kehilangan kakaknya ketika Jepang datang. Sementara Ling-ling (Andrea Reva) adalah anak perempuan Cina yang ibunya dibawa tentara Jepang. Menariknya, cerita film ini juga mengambil sudut pandang karakter “musuh”, yakni Hendrick (Wouter Braaf), kapten Belanda yang kejam serta seorang perwira Jepang, Nobozuki (Noboyuki Zuzuki).

Layaknya film biografi kebanyakan, film ini belum bisa dikatakan sebagai 100% biografi. Hal yang utama tampak dalam film ini mestinya adalah seberapa besar pengaruh dan usaha sang tokoh terhadap sejarah perjuangan bangsa kita namun ini tidak terlihat banyak dalam filmnya. Sepanjang film, karakter Soegija muncul tidak dominan dan nyaris setara dengan karakter-karakter pendukung lainnya sehingga mengaburkan sosok sang tokoh. Diperlihatkan sang tokoh selalu menulis kata-kata yang bijak dalam buku hariannya namun tak ada visualisasi dalam cerita filmnya. Seolah-olah kata-kata itu hanya terkatakan saja tanpa ada tindakan nyata. Faktanya Soegija sangat aktif dalam usaha diplomasi dalam negeri dan luar negeri melalui tulisan-tulisan di surat kabar asing namun ini semua tak tampak dalam filmnya. Pada penutup filmnya terdapat ilustrasi berupa foto-foto asli dari sang tokoh, ini terasa jauh lebih berkesan ketimbang kisah filmnya secara keseluruhan.

Baca Juga  Ketika Cinta Bertasbih

Sekali pun tidak seperti lazimnya film-film Garin namun gaya sang sineas masih terlihat kental dalam filmnya. Banyak shot-nya menggunakan teknik long take dan dalam beberapa adegannya seringkali karakter-karakternya melakukan monolog di depan kamera, seperti karakter Pak Besut. Aspek lagu dan musik juga dominan menjadikan film ini layaknya musikal. Seringkali karakter-karakternya seolah bernyanyi dan berdialog langsung pada kita. Ilustrasi musik menyentuh yang dibesut Djaduk Ferianto juga sangat baik mendukung tiap adegannya. Seperti kebanyakan film-film sang sineas, kisah filmnya ini juga seolah terpisah antar adegan. Kontinuiti cerita terasa longgar. Ditambah dominasi musik dan lagu yang memang enak dinikmati menjadikan kita hanyut dan lupa pada drama sesungguhnya. Sebagai film biografi, Soegija tidak mampu meninggalkan kesan mendalam dan menyentuh karena penggambaran karakter sang tokoh yang minim serta pendekatan estetiknya yang terlalu berlebihan.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaRestorasi Lewat Djam Malam
Artikel BerikutnyaLewat Djam Malam, Sisi Kelam Mantan Pejuang
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.