sympathy for the devil

Beberapa kali kita melihat para pembuat film mengeksplorasi kasting dan setting yang minim dalam kendaraan roda empat. Namun baru kali ini separuh produksinya dilakukan di studio LED berlayar raksasa. Seri The Mandalorian sebelumnya telah melakukan cara produksi yang sama. Sympathy for the Devil adalah film thriller minimalis arahan Yuval Adler. Film berdurasi 90 menit ini dibintangi Nicolas Cage dan Joel Kinnaman. Sympathy of the Devil tercatat adalah film feature pertama yang menggunakan teknologi layar LED studio Vū di Kota Las Vegas.

Seorang laki-laki (Kinnaman) bergegas ke rumah sakit karena istrinya akan segera melahirkan di sebuah RS di Las Vegas. Di tempat parkir, mendadak seorang laki-laki misterius (Cage) mengancam akan membunuhnya jika tidak mengantarnya ke sebuah tempat. Sang sopir pun tak tahu harus berbuat apa selain menuruti keinginan penumpang misterius tersebut. Pria itu bahkan tak segan-segan membunuh siapa pun yang menghalangi niatnya. Seorang polisi pun menjadi korban kebrutalannya. Belakangan diketahui, bahwa pria tersebut rupanya tidak memilih sang sopir secara acak.

Walau kisahnya didominasi oleh dua karakter dan setting terbatas (60% di dalam mobil), namun kisahnya mampu membangun intensitas ketegangan dan misteri secara simultan. Motif sang penumpang misterius ini dan polahnya yang “edan” menjadi alasan utama mengapa kisahnya begitu mengusik kita. Berjalannya cerita, secuil demi secuil, misteri mulai terungkap, dan momen ini pun disajikan melalui pengadeganan heboh di kedai makan. Pada akhirnya, tak banyak kisah yang ditawarkan, selain permainan memukau sang bintang. Cage memang selalu bermain ekspresif ketika berperan sebagai sosok “jahat” ketimbang jagoan, sebut saja Face Off, Willy’s Wonderland, Pig, hingga Reinfield baru lalu.

Baca Juga  Game Night

Sympathy for the Devil adalah sebuah kisah thriller minimalis dengan dominasi permainan akting mengesankan Nicolas Cage. Film ini memang terasa sebagai eksperiman untuk menguji coba kemampuan studio indoor tempat lokasi produksinya. Hasilnya memang luar biasa. Sewaktu menonton, kita tidak akan menyadari jika nyaris semua shot-nya dilakukan dalam studio indoor berlatar layar raksasa. Konon teknologi ini mampu menyingkat waktu dan bujet produksinya. Walau untuk ke depan, kita tentu berharap kisah yang lebih kompleks dengan setting yang lebih bervariasi. Seri The Mandalorian terbukti mampu melakukannya dengan sempurna walau dilakukan di studio yang berbeda.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaParadise
Artikel BerikutnyaRevenant
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.