Tiga Dara (1956)

115 min|Comedy, Drama, Musical|N/A
7.9Rating: 7.9 / 10 from 544 usersMetascore: N/A
A family's attempt at matchmaking their oldest daughter and the conflicts that follow.

Tiga Dara adalah sebuah film klasik Indonesia yang rilis pada tahun 1956. Film yang bergenre roman, komedi dan musikal ini adalah karya sutradara Usmar Ismail yang juga sering dijuluki sebagai bapak perfilman nasional. Film klasik ini bisa kita nikmati saat ini karena hasil restorasi 4K sehingga kita bisa melihat hasilnya yang sangat baik dengan format standar kini di gedung bioskop.

Tiga Dara bercerita tentang tiga gadis bersaudara yang telah dewasa. Mereka adalah Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mikke Wijaya), dan Nenny (Indriati Iskak). Mereka tinggal bersama sang Nenek (Fifi Young) dan ayahnya (Hasan Sanusi). Ibu mereka telah tiada dan sejak itulah sang nenek dan Nunung yang ikut membantu merawat kedua adiknya. Di usia yang semakin bertambah sang nenek ingin melihat cucu pertamanya menikah dan bahagia. Dengan berbagai cara si nenek meminta pada anaknya untuk mencarikan jodoh untuk Nunung. Namun tak semudah yang dibayangkan, Nunung yang lebih suka di rumah ketimbang bersosialisasi di luar membuat ia tak banyak teman ataupun pacar. Situasi menjadi berubah ketika tanpa sengaja Nunung bertemu seorang pemuda bernama Toto (Rendra Karno).

Plot film ini sangatlah sederhana. Dengan kesederhanaan plotnya membuat alur cerita yang dibangun terlihat cukup fokus pada permasalahan. Background masalah yang terfokus pada kesendirian Nunung ditunjukkan di awal film dengan proporsi waktu cukup lama. Hal ini terlihat pada setengah jam pertama alur ceritanya agak terlihat sedikit membosankan dan terlihat datar memperlihatkan keseharian para tokohnya. Lamanya adegan sebenarnya juga dipengaruhi oleh faktor musikal yang menjadi genre filmnya. Konflik mulai muncul ketika Nunung tak sengaja ditabrak oleh Toto dengan skuternya di persimpangan jalan. Disinilah awal ketertarikan kisah mereka berdua. Pertemuan mereka menjadi konflik yang muncul sebagai penggerak cerita filmnya.

Setelah konflik utama muncul, cerita lebih fokus pada bagaimana Toto usaha mendekati Nunung. Nunung yang sok jual mahal dan masih marah dengan Toto karena membuat kakinya memar membuat Toto tak mudah untuk mendekati Nunung. Persoalan tak berhenti di situ karena Nana yang juga terpikat dengan Toto membuat masalah semakin kompleks.  Di sinilah intensitas dramatik mulai meningkat. Bumbu komedi sangat kental sekali terlihat pada adegan-adegan serta dialognya. Dialog-dialog antar pemain mampu melarutkan suasana dan terlihat realistik. Sang nenek, ayah, dan Nenny yang kadang melucu menjadikan tone filmnya hidup. Klimaks cerita ditampilkan begitu menarik dan berujung pada ending yang manis.

Baca Juga  Senior

Film era 50-an yang masih memiliki aspek rasio 4:3 (fullscreen) serta belum menggunakan unsur warna serta capaian kualitas suara yang belum sempurna menjadi sebuah petanda bahwa capaian teknologi perfilman Indonesia masih pada tataran seperti itu pada eranya. Namun terlepas itu semua penggunaan aspek teknik untuk memvisualkan filmnya tergolong sudah cukup mapan. Pengambilan gambar yang dominan secara interior memang lebih memudahkan dan tampaknya sineas juga ingin menggali aspek akting para pemain yang juga berhasil. Hampir semua tokohnya berakting natural dan tidak kaku.

Kekuatan akting ini ditunjukkan dengan pengambilan gambar dengan teknik long take seperti pada adegan awal pembicaraan sang Nenek dan ayah. Pengambilan gambar juga terlihat begitu matang dengan shot-shot yang dominan statis. Pergerakan kamera dipakai di beberapa adegan seperti ketika akan menekankan aspek dramatik dengan menggunakan pergerakan lensa maju ke depan dengan frame semakin merapat mendekati objek (zoom in). Unsur musikal dalam filmnya memang dominan maka tak heran satu-satunya penghargaan yang diraih di ajang FFI tahun 1960 ini adalah untuk musik terbaik. Beberapa nomor lagu yang dinyanyikan para pemainnya cukup memberikan nuansa romantis. Seperti pada adegan Toto yang menyanyikan lagu ketika ingin berkenalan dengan Nunung dan “suara hati nunung yang kesepian di kala ia di Bandung “, ia menyanyikan senandung lagu yang menyentuh perasaan.

Film yang diproduksi oleh Perfini (Perusahaan Film Nasional) ini menjadi salah satu film yang cukup laku di pasaran di eranya. Usmar Ismail sebagai sang sutradara juga terkenal dengan film-filmnya seperti Darah dan Doa (1950) dan Lewat Djam Malam (1954). Bahkan film Lewat Djam Malam (1954) sendiri pernah direstorasi dan pernah diputar pula di bioskop regular pada tahun 2012. Gerakan restorasi dan penanyangan kembali di bioskop reguler menjadi gerakan yang sangat baik untuk memperkenalkan film klasik Indonesia. Konon kabarnya FFI 2016 ini akan mengangkat tema tentang “Restorasi”. Semoga gerakan dan semangat ini tidak hanya berhenti pada wacana saja namun muncul semacam gerakan untuk merestorasi film-film klasik yang berkualitas. Minimal satu tahun sekali masyarakat kita bisa disuguhkan film-film klasik yang telah direstorasi di bioskop-bioskop regular.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaLights Out
Artikel BerikutnyaDarth Vader Muncul dalam Trailer #2 Rogue One
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.