Kombinasi horor dan pasca bencana lazimnya didominasi tema zombi, namun Arcadian sedikit berbeda. Arcadian adalah film horor post-apocalypse yang digarap sineas belum dikenal, Ben Brewer. Uniknya, dibintangi nama-nama besar, sebut saja Nicholas Cage, Jaeden Martell, dan Maxwell Jenkins. Cage sendiri juga bertindak sebagai produser.  Berbekal nama besar para pemainnya, mampukah Arcadian memberikan sesuatu bagi subgenrenya?

Dikisahkan di masa depan, bumi diserang oleh ras monster yang memusnahkan sebagian besar umat manusia. Manusia kini hanya menyisahkan segelintir penyintas yang hidup terisolasi secara mandiri. Mereka keluar di siang hari dan bersembunyi di malam hari di mana para monster beraksi mencari mangsanya. Plotnya terfokus pada seorang ayah, Paul (Cage) dan dua putra remajanya, Joseph (Martell) dan Thomas (Jenkins). Mereka tinggal pada bangunan peternakan di wilayah pedesaan terisolir, bersama beberapa tetangga mereka yang jaraknya berjauhan. Suatu ketika, Thomas bermain ke peternakan lain, dan malamnya ia tak kembali. Sang ayah pun mencoba mencari Thomas dan menemukan putranya, namun Paul terluka parah. Joseph dan Thomas, tanpa sang ayah, harus bertahan hidup dari para monster yang kali ini rupanya punya cara untuk bisa masuk ke dalam bangunan.

Film pasca bencana (post apocalypse) memang kadang bisa rumit. Arcadia banyak mengingatkan pada A Quiet Place yang tidak dijelaskan dari mana enerji listrik berasal, tanpa suara. Sementara asal muasal sang monster, bisa jadi bakal dipaparkan dalam seri ketiganya kelak. Dalam kisah Arcadia, asal sang monster dan bagaimana mereka bisa di bumi atau bermutasi, memang tidak dijelaskan. Tidak dijelaskan pula bagaimana Paul bisa membesarkan sendiri kedua putranya selama 15 tahun dalam situasi yang demikian luar biasa? Memang terasa sedikit lepas nalar, namun ini masih dimungkinkan mengingat bahan makanan (domba) dan air masih melimpah, sekalipun tanpa listrik. Kita pun tidak tahu apa yang terjadi di luar sana (wilayah kota) dan berapa banyak penyintas karena alat komunikasi tidak dimungkinkan.

Baca Juga  Space Sweepers

Secara teknis, film ini juga tidak terlihat mapan jika dibandingkan level produksi A Quiet Place, khususnya tampak dari penggunaan handheld camera yang kadang terlihat kasar. Setting pun terhitung minimalis dengan pencapaian CGI yang biasa. Sang monster (mirip serigala) jarang ditampakkan secara dekat dan jelas, seringkali hanya sekelebat ke sana kemari dan itu pun tidak terlihat meyakinkan. Aksi-aksinya pun tidak heboh, hanya kucing-kucingan biasa, dengan sedikit efek visual di sana-sini. Adegan ledakan besar klimaks pun secara cerdik menggunakan perspektif shot yang tidak biasa untuk meminimalisir efek visual. Para pemain adalah satu-satunya pencapaian yang terhitung baik, dan Cage mampu memimpin para kasting muda ini dengan karismanya, khususnya Jaeden Martel yang memiliki potensi besar ke depan.

Untuk pencapaian genre dan premisnya, Arcadian terhitung rata-rata, namun tertolong oleh penampilan kasting besarnya dan subteks yang menjadi penekanan kisahnya. Melalui konsepnya terlihat bahwa film ini sesungguhnya tidak berkisah tentang monster atau survival, namun adalah keluarga. Sejak awal jelas terlihat jika film ini bicara soal orang tua dan anaknya di usia puber yang cenderung berontak. Melalui absennya sang ayah, kedua putranya seolah diberi pelajaran berharga tentang hidup ketika mereka tidak menuruti kehendak orang tua. Dalam perspektif anak remaja, kadang orang tua bak “monster” mengerikan dan cerewet yang selalu mencari kesalahan mereka. Dalam perspektif lain, orang tua pun kelak harus melepas anaknya untuk mandiri.

Dalam sebuah adegan, diperlihatkan satu tali panjang yang digunakan orang tua untuk mengikat anak balitanya agar tak bisa bermain jauh. Dalam shot akhir pun, tampak, bahwa tali tersebut akhirnya putus yang diikatkan pada kendaraan yang ditumpangi para “balita” yang kini tengah beranjak dewasa dan lepas dari orang tua mereka. Pesan menyentuh yang sesungguhnya klise, namun melalui kemasan cerita demikian unik, sering kali mampu mengangkat tinggi filmnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
70 %
Artikel SebelumnyaNew Release: Memahami Film: Pengantar Naratif!
Artikel BerikutnyaKingdom of the Planet of the Apes
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.