Greta Gerwick memang dikenal dengan film-film feminisme berkualitas tinggi, sebut saja Lady Bird hingga Little Woman. Ketika Gerwick menggarap Barbie, seolah sang sineas mulai kompromi dengan idealismenya, namun faktanya salah besar. Barbie adalah film komedi fantasi yang diangkat dari boneka mainan populer buatan Mattel. Kisah debut feature sosok Barbie ini tidak memiliki relasi cerita dengan ratusan seri animasinya yang digandrungi anak-anak. Filmnya dibintangi sederetan nama besar, seperti Margot Robbie, Ryan Gosling, America Ferrera, Kate McKinnon, Michael Cera, Ariana Greenblatt, Issa Rae, Rhea Perlman, Helen Mirren, hingga Will Ferrell. Akankah Barbie mampu memberi kejutan melalui sentuhan emas sang sineas?
Barbie (Robbie) tinggal di Barbieland di mana para Barbie dan para Ken merayakan nikmatnya hidup dengan berpesta nonstop. Suatu ketika, Barbie mengalami krisis eksistensial di mana ia mulai mempertanyakan banyak hal tentang tujuan dan makna hidupnya. Barbie pun bertekad untuk mencari jawaban di dunia nyata dengan ditemani Ken (Gosling). Bukan jawaban yang ia temui, namun justru kekacauan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hidupnya. Sebaliknya, Ken justru melihat kenyataan bahwa kaum laki-laki ternyata memiliki potensi superior ketimbang kaum perempuan. Di saat bersamaan, Mattel, pabrik boneka pencipta Barbie sontak panik menyadari jika ada satu bonekanya yang lepas ke dunia nyata.
Siapa menyangka kisah boneka mainan anak ini tidak seperti yang kebanyakan orang pikir. Kisah film ini jelas jauh dari target genrenya (anak/remaja perempuan) yang lebih dari separuh mengisi bangku-bangku dalam teater sewaktu menonton. Gelagat ini sebenarnya sudah tertangkap bagi penikmat film-film garapan Gerwick yang senada mengusung gagasan feminisme. Gerwick “mengelabui” penonton melalui bungkus luar filmnya dengan gemerlap warna pink bersama tokoh protagonisnya yang dikenal di seluruh antero bumi. Secara cerdas dan brilian, sang sineas memanfaatkan karakter boneka polos ini sebagai studi kasus bertema perempuan yang digagasnya. Mengherankan, Mattel memberi lampu hijau untuk proyek ini. Ini bukan The Lego Movie (2014) yang jelas-jelas menjual produknya.
Barbie bukan film yang mudah untuk diulas karena ide dan gagasannya. Segmen pembukanya yang brilian bisa kita gunakan sebagai titik pijak untuk menggambarkan konsep cerita filmnya. Bagi para cinephile tentu tak sulit untuk mengenali tribute pengadeganan “the dawn of men” yang mengambil dari opening film sci-fi 2001: A Space Oddysey (1968) karya Stanley Kubrick. Gerwick secara cerdik tidak hanya mengambil mentah-mentah adegan ini, namun juga esensi kisahnya.
Space Oddysey mengisahkan bagaimana umat manusia berevolusi dari kera hingga jutaan tahun kemudian menciptakan kecerdasan buatan yang mampu berpikir dan bertindak sesuai kehendaknya. Barbie sederhananya hanya mengubah kisah ini menjadi evolusi kaum perempuan. Dari krisis eksistensialime, konsep patriarki, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, hingga kuasa atas tubuh. Sosok Barbie adalah karakter polos yang sempurna untuk menggagas konsep ini dari A hingga Z. Gerwick dengan begitu detil mengemas konsep ini melalui pengadeganan, dialog, akting, setting, lagu, tribute, serta segala aspek sinematiknya. Ibarat sang sineas merangkum sejarah feminisme dalam durasi kurang dari dua jam hanya dengan karakter boneka mainan. Tidak ada yang lebih brilian dari ini.
Barbie di luar dugaan bukanlah sebuah film cerita kebanyakan, namun adalah sebuah konsep/gagasan tentang feminisme yang mampu dikemas dengan brilian oleh sang sineas. Barbie sejatinya bukanlah film box-office, namun adalah film-art yang dibungkus dengan gimmick box-office. Kejeniusan sang sineas adalah kunci keberhasilan film ini dengan naskah yang ia tulis bersama penulis kawakan Noah Baumbach. Sehari lalu Oppenheimer dirilis dengan segala capaian naratif dan estetiknya, kini siapa sangka Barbie dengan segala pesona estetiknya memiliki pesan yang dalam pula. Kita tinggal menanti, dua film masterpiece ini untuk bersaing di ajang festival film bergengsi tahun depan. Tidak ada yang lebih hebat selain para sineas berbakat dibalik produksi film ini. Kedua sineas ini tercatat sebagai aset berharga yang dimiliki medium film bagi perkembangan seni film di masa mendatang.