Little Women adalah kisah klasik dari novel berjudul sama (1868) karya Louisa May Alcott yang telah diadaptasi dalam banyak medium, seperti pertunjukan, film, hingga televisi. Novel klasik ini sendiri telah diadaptasi dalam medium film sebanyak 7 kali, sejak era film bisu hingga kini. Adaptasi terbarunya digarap oleh sineas muda berbakat, Greta Gerwig sebagai sutradara sekaligus penulis naskahnya. Film berbujet US$ 40 juta ini dibintangi oleh sederetan bintang muda dan senior, yakni Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Laura Dern, Timothee Chalamet, Chris Cooper, hingga Meryl Streep. Film ini telah banyak mendapat pujian pengamat film dengan puncaknya meraih 6 nominasi Academy Awards tahun ini, melalui film, naskah adaptasi, aktris utama, aktris pendukung, dan kostum terbaik.
Film ini sendiri berlatar tahun 1868 mengisahkan empat bersaudari kakak beradik, Jo, Meg, Amy, serta Beth dari masa remaja hingga mereka dewasa. Plotnya mengisahkan suka duka kehidupan mereka yang disajikan secara bergantian, antara masa lalu (remaja) dan kini. Di sela-sela kehidupan mereka, keluarga kaya raya yang juga bertetangga dekat, terdapat Laurie, seorang bocah lelaki yang meramaikan kehidupan asmara di antara mereka.
Saya sendiri rasanya pernah menonton film klasiknya 20 tahun silam, entah film adaptasi yang mana, dan jujur saja, saya sama sekali tidak bisa mengingat apapun tentang kisahnya, selain hanya kilasan adegan. Mungkin saat itu, film ini tidak berkesan ketimbang film klasik populer lainnya. Bahkan versi tahun 1994 pun sudah lupa. Komparasi juga rasanya kini tak perlu untuk menilai film istimewa macam ini. Saya justru melihat banyak kesamaan cerita dengan Pride & Prejudice (2005) yang diperankan oleh Keira Knighley yang filmnya juga sama-sama dinominasikan banyak (empat) Piala Oscar. Dua film ini memang sama-sama bagusnya.
Kekuatan Little Woman salah satunya jelas karena permainan struktur plotnya. Pola kilas-balik, masa lalu dan kini sepanjang film adalah yang membuatnya menjadi sangat menarik untuk ditonton. Kadang, jika penonton tak awas, bisa membaca keliru latar waktunya karena batasnya tipis antara dua masa tersebut. Sosok karakternya juga kadang sulit dibedakan karena pemainnya sama, kecuali pembeda melalui setting, kostum, serta rias wajah. Potong silang antara dua masa waktunya, sering kali pula hanya berupa kilasan kecil hingga satu adegan penuh. Intensitas drama semakin memuncak menjelang babak ketiga hingga klimaks yang rada terasa klise untuk genrenya. Gerwig yang juga menulis naskahnya memang sangat brilian mengemas filmnya, baik cerita maupun estetik. Gaya penyutradaraan dan tone estetik “Ladybird” yang unik, terasa sekali dalam Little Woman.
Kekuatan Little Women lainnya jelas ada pada permainan akting para kastingnya. Sang “ladybird” Saoirse Ronan tentu menjadi perhatian utama sebagai sosok yang independen, bebas, dan enerjik, nyaris mirip dengan karakternya dalam Ladybird. Ronan, saya pikir saat ini adalah salah satu bintang muda bertalenta akting terbaik yang mampu membuat peran sulit menjadi terlihat mudah. Sementara “Harmione” (Watson) yang cantik memang bermain tidak buruk, namun perannya memang tidak seenerjik Ronan. Saya justru terkesan pada akting Forence Pugh (Amy) yang sosoknya terkadang rada “edan” seperti karakternya dalam Midsommar. Saya tertawa geli ketika ia membakar surat Jo, diikuti adegan perkelahiannya dengan saudarinya, mimik mukanya sungguh mirip dengan sosoknya dalam Midsommar. Sosok Amy dewasa yang sangat berbeda menunjukkan kualitas akting Pugh yang sesungguhnya. Dengan peran yang pas kelak, karirnya bisa melejit jauh dari sekarang.
Little Woman merupakan adaptasi brilian melalui naskah serta talenta sang sineas dengan dukungan penuh para kastingnya yang menawan serta pesan kuat tentang keluarga dan kehidupan yang seolah tak pernah ada matinya dari masa ke masa. Film yang teramat hangat ini mengingatkan banyak pada kita, apa yang telah kita miliki dan apa yang hilang dalam hidup kita. Ego kadang membutakan kita untuk melihat apa yang seharusnya kita syukuri. Penderitaan, kebahagiaan, cinta, serta kehilangan hanyalah kelak sebuah memori di masa lalu yang bakal hilang ditelan waktu. “Andai hidupku ini sebuah novel, alangkah mudahnya mengubah cerita”, keluh Jo pada sang ibu. Jo tidak tahu, jawabannya sebenarnya sudah ada di mana ia berada sekarang. Klise memang, namun Little Woman mampu menyajikannya dengan cara yang berkelas dan boleh saya bilang, menyentuh. Jangat lewatkan film istimewa ini untuk menontonnya di bioskop, bisa jadi dalam beberapa hari akan hilang dari penayangan.
Film little woman menyentuh bangeet, kebetulan aku juga lg berjuang untuk nulis cerita dan karakter Jo relate banget sama aku.