Ari Sihasale memang seolah merupakan sosok jelmaan malaikat dalam dunia perfilman. Kontribusinya menciptakan film yang bermutu dengan tema anak-anak ditengah maraknya film-film rendah dari sisi kualitas dan moral. Setelah Denias, King, Tanah Air Beta, dan Serdadu Kumbang, kali ini sineas kembali mengangkat tema kisah anak-anak Papua. Film ini mengisahkan persahabatan anak-anak dari dua desa yakni Mazmur (Simson Sikoway), Thomas (Abetnego Yogibalom), Agnes (Maria Resubun), Suryani (Frisca Waromi), dan Yokim (Razz Manobi). Berbulan-bulan mereka tidak bersekolah, karena sang guru sedang berada di luar kota dan tak ada guru pengganti. Keseharian mereka diisi dengan bermain dan bernyanyi. Namun tiba-tiba terjadi pertikaian antar kampung hingga mereka harus kehilangan orang-orang terdekat mereka.
Ide cerita film ini sungguh mulia dengan memberikan pesan moral tentang pendidikan, kasih sayang, dan persaudaraan. Namun, banyaknya sub plot cerita tidak memberikan fokus yang jelas. Cerita berjalan lambat dan bertele-tele tanpa penyelesaian konflik yang jelas. Pada awal film, penonton mampu dibuat tersentuh dengan kondisi anak-anak di wilayah terpencil yang tidak mendapatkan pendidikan selayaknya. Lalu berikutnya soal kemiskinan, kekerasan, dan pertikaian ditampilkan secara beruntun tanpa adanya kedalaman cerita sehingga adegan demi adegan lewat begitu saja. Penulis naskah terlihat kurang mampu menyampaikan dengan baik ide cerita dan konflik demi konflik yang ingin ditampilkan. Kisahnya hanya menggiring kita bahwa konflik dan masalah di wilayah ini tidak seindah alam Papua.
Ringgo Agus Rahman dan Laura Basuki yang telah memiliki cukup pengalaman juga tak mampu memberikan sentuhan akting yang kuat. Bahkan karakter mereka dalam film ini tidak begitu menonjol lebih tepatnya tidak penting. Sementara Lukman Sardi cukup memberikan kontribusi akting yang bagus. Pemain-pemain cilik lokal seperti Simson, Putri Nere, dan Paul Korwa bermain baik sehingga cukup menutupi kekurangan pemain lainnya. Di aspek musik, lagu “Aku Papua” yang dilantunkan manis oleh Edo Kondologit mendukung mood cerita yang dibangun. Melalui setting yang menawarkan keindahan alam serta tata sinematografi mampu mengalihkan kebosanan penonton karena alur kisah yang lambat. Meskipun film ini memiliki banyak kekurangan disana sini namun tetap menjadikan film ini menghibur untuk mengisi liburan sekolah. Salah satu film karya sineas yang layak diapresiasi karena tetap setia untuk kepentingan anak-anak dan pesan moral yang mendidik. Sungguh naif memang, hanya sebuah lagu yang dilantunkan anak-anak yang masih lugu dapat menyelesaikan masalah orang dewasa yang demikian pelik. Namanya juga film anak-anak.
WATCH TRAILER